Sunday, 1 June 2014

Presiden Harapanku - Presiden Oh... Presiden

Berbicara mengenai presiden, saya tiba-tiba teringat dengan dua negeri yang memiliki presiden dengan karakter yang berbeda, dengan citra dan kenaturalan khas masing-masing. Negeri yang pertama adalah negeri Rajawali. Negeri ini memiliki seorang presiden yang oleh orang rakyatnya dijuluki “Raden Revolusi”. Sesuai dengan julukannya, presiden negeri Rajawali ini memiliki karakter yang kuat, pemikiran yang revolusioner dan ambisi yang meletup-letup tak tertadah.

            Hal luar biasa dari presiden negeri Rajawali ini adalah kelugasan alamiah yang tak pernah dibuat-buat, apalagi dilakukan sebagai pencitraan. Presiden yang dimana setiap bulir kalimat dari mulutnya selalu dinanti oleh berjuta rakyatnya, tiap patri keputusannya mampu membungkam investor kapitalis, tiap tebasan tangannya mampu menyelamatkan muka negeri dari injakan negeri lain. Apakah dia seorang pemimpin sempurna? Tentu tidak. Selalu ada celah dalam jejak lintang manusia, demikian juga dengan seorang presiden.

            Negeri yang kedua adalah negeri Kasuari. Negeri yang dipimpin oleh presiden yang oleh rakyatnya dijuluki “Prabu Pembangunan”. Luar biasa nian presiden negeri ini. Dia adalah seorang presiden visioner dengan sudut pandang progresif, bertangan dingin dan cool. Saking cool nya, lirikan mata dan sunggingan senyumnya dapat berdefinisi ratusan makna, menimbulkan sensasi antara kengerian dengan harapan akan kemajuan baru.

Hal lain mengenai beliau adalah sosok yang taat dengan protokol, namun gagasannya menyeruak tanpa batas dan diluar pranalar rakyat. Sesuai dengan julukannya, presiden satu ini adalah seorang kreator dan seorang pembangun pondasi fundamental perekonomian negeri. Apakah presiden ini perfect? Jawabannya sama, tentu saja tidak. Selalu ada titik hitam ditengahnya, selalu ada nila setitik dalam rekap kehidupan manusia.
Lalu ada satu negeri yang memasuki fase “bimbang” alias fase pembaruan pemimpin. Namanya negeri Garuda, negeri Nusantara yang luas, indah dan kaya. Negeri ini sedang tertatih-tatih menuju kedigdayaan reformasi, sedang menyusun partikel demokrasi yang masih rancu dan belum tegap. Namun walau begitu progresifitas negeri ini dalam mematangkan ideologi patut diacungi jempol. Katanya, negeri Garuda ini sedang dipersiapkan untuk kembali menjadi macan Asia yang sesungguhnya.

Tentunya untuk menjadi penguasa benua merupakan visi yang tidak mudah. Sebelum bermimpi merengkuh Mars, kita harus bermimpi merangkul Bulan dahulu. Kita harus rela tercabik diatas tanah pecundang sebelum bertengger diatas podium kemenangan. Lalu, apakah yang negeri Garuda ini butuhkan? Tentu saja seorang pemimpin yang spektakuler dan lugas. Ibaratnya, seribu singa bila dipimpin oleh seekor kerbau maka semuanya akan melenguh. Tapi seribu kerbau bila dipimpin seekor singa, maka semuanya akan mengaum garang tanpa sangsi.

Harga Diri Harga Mati!       
Yang pertama dan mungkin menjadi hal utama yang dibutuhkan oleh negeri Garuda ini adalah sebuah harga diri yang menancap kuat yang tak akan bisa tercabut oleh siapapun. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang “berani” dengan negeri lain. Berani menghunus pedang demi setitik kesucian pertiwi, berani “bertetes darah” demi kesatuan nusantara. Terdengar seperti retorika memang, tapi percayalah, negeri yang besar adalah negeri yang lugas lagi berprinsip.

Untuk hal ini negeri Garuda harus mau belajar dari negeri Rajawali. Pemimpin negeri tersebut yang dijuluki “Raden Revolusi” ini tidak bisa berkompromi untuk urusan prinsip. Bila tidak suka, maka beliau akan berkata tidak suka.

Pernah suatu waktu presiden negeri Rajawali merasa tidak suka dengan negeri Malaya yang dianggapnya sebagai boneka negeri barat. Persemakmuran yang mengandung affair semacam itu ditentang habis-habisan oleh presiden kala itu. Bahkan dengan lantang dan tanpa sungkan sang presiden meluncurkan protes keras. Hanya protes, hanya mengecam? Tentu tidak. Sang presiden benar-benar mengekspresikan kegeramannya dengan membawa negeri Rajawali keluar dari organisasi dunia. Alih-alih menjadi terpojok, sang presiden malah membawa wajah negeri Rajawali ke podium global dan menunjukkan bahwa negerinya adalah negeri besar yang tak takut apapun.

Lalu ditangan presiden tersebut, negeri Rajawali menjadi bangsa tegas yang benar-benar mengebiri dominasi dan kesemena-menaan bangsa lain di tanah negerinya. Investor asing tak bisa menguasai “lumbung emas” di tanah negeri Rajawali kecuali hanya sepuluh persennya saja, tidak akan bisa lebih walau hanya dalam mimpi!
Mungkin presiden baru negeri Garuda nanti tidak harus sama plek dengan presiden negeri Rajawali. Namun ada baiknya calon presiden nanti mengambil nilai kelugasan dan kepercayaan diri bangsa yang begitu hebat dan luar biasa dalam diri seorang “Raden Revolusi” tersebut. Percayalah, bangsa yang kuat adalah bangsa yang berani, merasa mandiri dan memiliki kepercayaan diri yang besar. Bila masih ada rasa “sungkan” atau rasa takut dengan negeri lain, bila dibiarkan itu akan menggerogoti keperkasaan bangsa.

Tidak Menggebu-gebu Menjadi Pemimpin
Apa maksudnya? Bagaimana jadinya bila orang yang tidak terlalu antusias menjadi pemimpin malah yang seharusnya dipilih? Tentu saja, seseorang yang memiliki kapabilitas tinggi dalam memimpin namun dia tidak terlalu berambisi terpilih menjadi pemimpin, adalah seorang natural yang tak perlu disangsikan lagi ketulusannya. Orang-orang semacam ini menganggap jabatan atau kepemimpinan adalah suatu amanah berat yang tak layak dipermainkan, apalagi diperebutkan.

Orang yang tidak menggebu-gebu untuk terpilih menjadi pemimpin selalu menyadari bahwa tiap jengkal area yang menjadi otoritas seorang pemimpin, akan menjadi bagian dari urat nadinya, menjadi darah dan kehidupannya. Justru orang-orang yang sangat ambisius untuk dipilih menjadi pemimpin lah yang patut dipertanyakan. Mengapa mereka begitu menggebu-gebu untuk mengemban tugas akbar yang tiap rinci persoalannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan kelak. 

Untuk urusan ini kita patut belajar banyak dari sistem pemerintahan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin (pemerintahan khalifah sesudah nabi Muhammad). Alih-alih berusaha menampakkan dan menonjolkan sebagai bentuk kampanye kepada umat, para sahabat pilihan nabi Muhammad pada saat itu malah was-was bila ditunjuk sebagai pemimpin. Mereka sangat cemas, gelisah dan takut bila pilihan estafet kepemimpinan jatuh kepada diri mereka.

Bahkan salah satu khalifah terbaik pada sistem pemerintahan islam, yaitu Umar bin Khattab  (Umar ibn Khattab) merenung murung dengan hati sedih ketika dirinya ditunjuk sebagai khalifah pengganti Abu Bakar oleh Abu Bakar sendiri melalui wasiat sebelum beliau meninggal dunia. Mungkin yang belum pernah mengetahui riwayat pemimpin muslim satu ini akan terheran, bagaimana bisa seorang yang terpilih menjadi pemimpin malah sedih tak karuan, harusnya dia bersorak dan merasa ambisius.
Tak hanya pada Umar, tiap sahabat yang ditunjuk menjadi pemimpin atau khalifah kala itu selalu merasa gelisah dan takut. Mereka takut tak mampu mengemban amanah maha dahsyat yang tertumpu di punggungnya.

Bahkan saking takutnya mencederai amanah yang terbeban pada dirinya, pernah suatu kali Umar berjalan di tengah rakyatnya dan dengan tiba-tiba dia menghardik seorang pedagang yang menggiring unta dengan memanggul barang yang begitu banyak. Umar marah pada pedagang itu karena memperlakukan hewannya secara tidak hak, yaitu membiarkan si unta memanggul barang terlalu banyak. Umar cemas bila kelak dia akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan atas unta pedagang tersebut yang kelelahan dan tersiksa.
Namun di jaman sekarang ini memang begitu sulit menemukan sosok calon pemimpin yang begitu low-profile semacam itu, bukannya tidak ada, pasti ada sosok di negeri kita yang seperti itu namun tidak muncul ke ranah publik sehingga kita susah melacaknya. Okelah, kita tidak mungkin memaksa para calon pemimpin untuk tidak berkampanye, memaksa mereka merasa tidak terlalu ambisius menjadi presiden seperti para khalifah yang saya ceritakan sebelumnya. Tapi kita patut menghimbau mereka agar berkampanye secara efektif, mengurangi jargon serta “narsisme” diri yang tidak berguna dan tak ada manfaatnya bagi rakyat. Mereka menyampaikan timeline programnya secara detail dan terstruktur saja itu sudah lebih dari cukup bagi rakyat.

Presiden Harapanku
            Saya sebagai rakyat tidak mengharapkan seorang presiden yang sempurna. Tak harus segarang “Raden Revolusi” nya negeri Rajawali, tak harus sejenius “Prabu Pembangunan” nya negeri Kasuari, tak harus semulia khalifah Umar bin Khattab. Tidak, tentu tidak! No body perfect, tak ada seorang pun yang akan mampu memenuhi hasrat dan asa seluruh manusia di negeri Nusantara ini. Mana mungkin seorang biasa dapat memenuhi hajat dua ratus juta lebih manusia yang tiap insannya memiliki keinginan dan kerakusan masing-masing.

            Namun ada satu esensi yang saya bahkan seluruh rakyat sangat harapkan, bahkan hal ini  wajib dan menjadi harga mati di dalam jiwa presiden negeri kita kelak. Apa itu? Yaitu kesadaran penuh pada dirinya bahwa jabatan presiden adalah sebuah amanah, tidak ada yang lain titik! Mereka harus mendefinisikan secara total bahwa jabatan adalah amanah, amanah, dan amanah, bukan sebagai otoritas, bukan sebagai wewenang, bukan sebagai sekedar legitimasi, bukan bahu-membahu sebatas kelompoknya sendiri, bukan sebagai alat menuju objek duniawi dan sebagainya, hanya amanah!

            Esensi yang saya jelaskan diatas ibarat sebuah akar, dimana akar yang tegar dan berkualitas  maka akan merantai pula ke semua bagian permukaannya. Akan perkasa pula batang tubuhnya. Saripati tanah akan dengan lancar mengalir ke seluruh penjuru batang, ranting,  serta daun dan akan melahirkan buah ranum indah tiada banding.

            Demikian pula dengan seseorang yang sudah secara total jiwa raga mengartikan suatu jabatan adalah amanah. Maka dia tidak akan terbias dengan tujuan semu lainnya, entah kekuasaan, kekayaan, reputasi palsu maupun fanatisme buta pada kalangan sendiri. Dia akan fokus pada lajur lurus yang tegas dan mulia. Dia akan benar-benar sadar bahwa tiap inci wilayah yang dipimpinnya adalah bagian dari darahnya, bagian dari hidupnya dan tak bisa ditawar lagi. Maka dari itu, kita harusnya berdoa dan optimis, bahwa akan ada sesosok yang mampu memimpin negeri Nusantara ini dengan landasan amanah dan kepercayaan. Wahai presidenku kelak, kami tunggu engkau dengan kesabaran, kami munculkan engkau melalui tiap doa dan tetes keyakinan yang tak pernah padam….

No comments:

Post a Comment