Saat dita’arufkan dengan seorang gadis, pemuda yang merasa dirinya tampan itu menolak. “Dia tidak sekufu denganku.”
“Dia itu cuma lulusan SMA Mbak,
keluarganya juga buruh tani. Kami nggak sekufu,” seorang muslimah
menjelaskan alasannya mengapa ia tak mau menikah dengan seorang aktifis
dakwah yang melamarnya.
Perlukah ‘sekufu’ dalam pernikahan? Dan benarkah pemahaman kufu atau kafa’ah pada cerita di atas?
Arti Kufu
Kufu atau kafa’ah, artinya adalah
kesepadanan. Yakni kesepadanan calon suami dan calon istri yang akan
menikah dan membina rumah tangga. Istilah kufu muncul dalam beberapa
hadits, berupa nasehat Rasulullah untuk segera menikah atau menikahkan
muslimah yang telah menemukan calon suami yang sekufu. Diantara
hadits-hadits tersebut, yang paling baik sanadnya adalah riwayat
Tirmidzi, yang telah dihasankan oleh Al Albani.
يَا عَلِيُّ ثَلَاثٌ لَا تُؤَخِّرْهَا الصَّلَاةُ إِذَا أَتَتْ وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ لَهَا كُفْؤًا
“Wahai Ali, ada tiga perkara yang
jangan kau tunda pelaksanannya; shalat apabila telah tiba waktunya,
jenazah apabila telah siap penguburannya, dan wanita apabila telah
menemukan jodohnya yang sekufu/sepadan” (HR. Tirmidzi; hasan)
Berdasarkan hadits di atas, sekufu itu
perlu. Ia bukan syarat dan rukun pernikahan tetapi dapat menjadi syarat
kelestarian pernikahan.
Kufu dalam Usia?
Dalam pemahaman sebagian orang, sekufu
itu artinya usianya tidak terpaut jauh. Ini pula yang menjadi alasan
bagi banyak ikhwan untuk ‘menolak’ akhwat yang secara usia lebih tua
beberapa tahun di atasnya.
Benarkah demikian? Mari kita lihat
pernikahan Rasulullah. Beliau menikah pertama kali pada usia 25 tahun,
sedangkan istri beliau Khadijah usianya 40 tahun. Terpaut 15 tahun.
Faktanya, keluarga beliau adalah keluarga yang paling berbahagia.
Khadijah bahkan menjadi wanita yang paling dicintai Nabi dan tidak
tergantikan oleh siapapun sesudah beliau wafat.
Pun misalnya pernikahan Rasulullah
dengan Aisyah, setelah wafatnya Khadijah. Aisyah saat itu masih sangat
muda, terpaut puluhan tahun dengan Rasulullah. Namun, keluarga mereka
justru menjadi keluarga paling romantis dan penuh cinta. Tidak jarang
Rasulullah bercanda dan bermain bersama Aisyah. Pernah beberapa kali
lomba lari berdua. Pernah juga mandi berdua.
Kufu dalam Harta?
Sebagian orang juga memahami bahwa sekufu itu artinya harta dan jabatan calon suami dan calon istri sepadan. Benarkah demikian?
Praktik pernikahan di zaman Rasulullah,
sebagian sahabat yang miskin menikah dengan shahabiyah yang kaya raya.
Pun sebaliknya, ada sahabat yang kaya raya menikah dengan shahabiyah
yang tak memiliki banyak harta. Misalnya antara Asma’ binti Abu Bakar
dengan Zubair bin Awwam.
Asma berasal dari keluarga yang sangat
kaya, keluarga Abu Bakar. Seperti kita tahu, dengan kekayannya yang
melimpah sebagai saudagar jujur, Abu Bakar pernah menginfakkan seluruh
hartanya saat menjelang perang Tabuk. Abu Bakar juga tak terhitung
dermanya kepada dakwah Islam dan orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan
Zubair, ia termasuk sahabat yang miskin. Saat akan menikah dengan Asma,
Zubair hanya memiliki harta berupa seekor kuda. Namun demikian,
keluarga mereka tumbuh menjadi keluarga yang barakah. Pada mulanya, Asma
mengikuti keprihatinan Zubair hidup dalam keterbatasan. Namun kelak,
Zubair berubah menjadi orang yang kaya raya.
Demikian pula dengan Umar bin Khatab.
Beliau menjodohkan putranya, Ashim, dengan anak penjual susu. Ashim yang
anaknya khalifah menikah dengan rakyat jelata. Dan itu tidak masalah.
Bahkan, kelak, dari pernikahan mereka lahirlah Ummu Ashim, dan dari Ummu
Ashim lahirlah Umar bin Abdul Aziz, khulafaur rasyidin ke 5.
Kufu dalam Kecantikan dan Ketampanan?
Ada pula yang mengira bahwa sekufu itu
artinya perempuan cantik haruslah dapat laki-laki tampan, laki-laki
tampan hanya sekufu dengan wanita cantik. Benarkah demikian?
Rasulullah adalah orang yang paling
tampan. Namun, istri beliau tidak semuanya cantik. Mayoritas yang beliau
nikahi adalah janda-janda tua. Demikian pula pernikahan sahabat. Tidak
semuanya yang tampan ketemu dengan yang cantik. Dan tidak semua yang
cantik kemudian beroleh yang tampan. Misalnya Fathimah binti Qais dengan
Usamah bin Zaid. Fathimah adalah seorang wanita yang cantik, dari
keluarga terhormat dan kaya raya. Sedangkan Usamah adalah mantan budak.
Lalu Kufu dalam Apa?
Menurut Imam Malik, ungkapan kafa’ah ini
khusus untuk agama. Bahwa orang yang bagus agamanya, ia sekufu dengan
pasangan yang bagus pula agamanya. Imam Syafi’i juga mendukung pendapat
ini. Bahwa kafa’ah adalah dalam bidang agama, sedangkan harta tidak
dimasukkan dalam kategori kafa’ah.
Dalam buku Di Ambang Pernikahan,
Mohammad Fauzil Adhim menjelaskan bahwa yang dimaksud agama pada
pembahasan kufu di sini bukanlah pengetahuan/kognitif saja. Tetapi lebih
dari itu, yang dimaksud kafa’ah adalah keberagamaan; iman taqwa dan
akhlaknya.
Jadi, kafa’ah dalam bidang agama yang
dimaksud bukanlah tingkat pengetahuan terhadap agama, melainkan
pengamalan terhadap agama, terhadap syariat Islam.
Meski demikian, bukan berarti masalah
usia, harta dan kedudukan serta kecantikan dan ketampanan diabaikan
begitu saja. Sebab kita hidup bersama keluarga besar dan masyarakat.
Kita hidup dengan lingkungan dan situasi yang tidak sama dibandingkan
dengan lingkungan dan situasi yang dialami oleh para sahabat. Bahkan,
ada pula sahabat yang akhirnya bercerai karena ketidakcocokan istri
dengan ‘ketampanan suami.’ “Ya Rasulullah,” kata istri Tsabit bin Qais,
“aku ingin meminta cerai dari Tsabit bukan karaea aku mencela agamanya
dan akhlaknya, akan tetapi aku khawatir diriku menjadi kufur”. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya; “Sanggupkah
kamu mengembalikan tanah kebun yang ia berikan kepadamu sebagai mas
kawin ketika pernikahanmu dulu?”. Ia menjawab; “Ya, aku sanggup”. Ia pun
mengembalikan tanah kebun itu. Rasulullah lalu berkata kepada Tsabit;
“Ceraikanlah dia”.
No comments:
Post a Comment