Pernikahan merupakan akad yang paling kuat, hubungan paling kokoh, mitsaqan ghalidzha, namun
sekuat-kuatnya sesuatu, ia bisa melemah bahkan putus, demikian juga
pernikahan, ia bisa naik turun, melemah menguat, bahkan hancur dan
kandas di tengah jalan. Janji seia-sekata selalu bersama hingga mati
gagal terwujud.
Harapan suami istri adalah keberhasilan
rumah tangga hingga akhir hayat, keduanya berusaha mencari dan melakukan
sebab-sebabnya, dan banyak faktor penguat pernikahan, banyak sebab
pengikat dua orang untuk bersama, dari sekian sebab dan faktor, yang
terkuat adalah dua faktor:
Pertama: Akidah, iman dan agama.
Tidak ada jalinan lebih kuat daripada akidah. Tidak ada tali lebih kokoh
dari iman. Tidak ada perekat lebih kuat daripada iman. Yang saya maksud
adalah akidah, iman dan agama yang benar, lurus dan istiqamah. Artinya
suami istri dengan akidah yang sama, iman yang baik dan agama yang sama,
jauh lebih berpeluang untuk mewujudkan pernikahan yang kokoh, karena
tali dan perekat keduanya memang kokoh.
Dari sini dalam Islam, pernikahan silang
agama dibatasi. Seorang Muslim hanya dibolehkan menikah dengan wanita
Muslimah atau ahli kitab. Kalau dengan wanita Muslimah, maka keduanya
seagama. Kalau dengan ahli kitab, walaupun tidak seagama, namun minimal
agama ahli kitab adalah agama samawi, sehingga masih ada sisi benang
merah yang diharapkan merekatkan keduanya.
Berbeda dengan wanita pemeluk agama
bumi, akidah, iman dan agamanya berbeda sama sekali dengan Islam, mereka
mengajak ke neraka sementara Islam mengajak ke surga. Surga dan neraka
tidak akan pernah bertemu. Tidak ada perbedaan lebih berbeda dari
perbedaan akidah dan iman. Bila demikian, maka resiko bubar sangat
lebar, kecuali bila salah satu atau keduanya meloyokan akidah dan
imannya, artinya akidah ala kadarnya atau iman sak welase, dan ini bukan yang saya maksud.
Kedua: Kebaikan. Tidak ada tali perajut
yang lebih kokoh sesudah akidah dan iman daripada kebaikan. Orang baik
berjodoh dengan orang baik. Orang buruk berjodoh dengan orang buruk.
Orang yang setengah-setengah, antara baik dan buruk, berjodoh dengan
orang yang setengah-setengah. Apa pun, sesuatu berjodoh dengan yang
semisalnya, sesuatu berkawan dengan padanannya.
Lihatlah para nabi dan istri-istri
mereka, sama-sama orang baik, wa bil khusus Nabi kita Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam, jodoh beliau adalah wanita-wanita suci,
baik lagi mulia. Kemudian para sahabat Nabi, juga demikian. Ya itu tadi,
karena kebaikan berjodoh dengan kebaikan, dan bila kebaikan berjodoh
dengan kebaikan, maka ibarat tumbu, [wadah dari anyaman bambu] ketemu
tutupnya. Pas lagi mantap. Sulit dipisahkan.
Dari sini, maka bila khaathib,
pelamar, datang, agama dan akhlaknya baik, diterima dan diridhai, maka
wali gadis atau janda patut menikahkannya, karena kebaikan datang dan
akan berjodoh dengan kebaikan. Dari sini juga, wanita pezina hanya
menikah dengan laki-laki pezina atau musyrik, laki-laki pezina tidak
menikah kecuali wanita pezina atau musyrikah. Orang-orang yang beriman
dengan iman yang baik, orang-orang baik, suci lagi terjaga tidak akan
melakukan, tidak sudi, karena kebaikan dan keburukan, kebaikan dengan
kenistaan tidak akan bertemu, bila dipaksakan maka tidak berlangsung
lama, karena keduanya bertentangan, sehingga tidak berjodoh.
Dua pertimbangan di atas didukung oleh
realita, perceraian atau perpisahan pernikahan lebih sedikit terjadi
pada suami istri yang sama-sama berakidah kuat, beriman lurus dan
memiliki kebaikan dalam arti yang sebenarnya. Sebaliknya, tengoklah
orang-orang yang akidah, iman dan kebaikan mereka ala kadarnya, sebagai
misal para bintang film, para artis atau selebriti atau apalah namanya,
yang hidup dengan agama minim atau tidak dengan agama sama sekali, saban
hari kita mendengar perceraian mereka hanya dalam waktu pernikahan yang
singkat, padahal saat menikah, masya Allah dan subhanallah, tetapi
sesudah menikah dalam waktu singkat, bubar. Apa pasal? Ikatan keduanya
rapuh dan lapuk. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment