Seorang
yang mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat harus memiliki
pedoman dalam menapaki kehidupannya di dunia. Dan pedoman hidup seorang
hamba semua telah diatur dalam syariat Islam.
Seorang
yang sukses bukanlah orang yang hidup dengan bersemboyan ‘semau gue’
dengan mengikuti hawa nafsunya, tapi orang yang sukses adalah orang yang
mengambil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dengan pemahaman As Salafus Shalih sebagai pengikat aturan hidupnya.
Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam ini tidak mungkin dapat diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i.
Karena itulah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan setiap Muslim dan
Muslimah yang baligh dan berakal (mukallaf) untuk menuntut ilmu.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR.
Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi
karya Ibnu ‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas
panjang lebar tentang derajat hadits ini)
Imam
Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini
adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara
shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib
diamalkan manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok
keimanan, syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi,
perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan kewajibannya.
Sebagai
hamba Allah, seorang Muslimah wajib mengenal Rabbnya yang meliputi
pengetahuan terhadap nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an dan
hadits-hadits yang shahih. Selain itu, ia harus mengetahui bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala bersendiri dalam Mencipta, Mengatur, Memiliki, dan
Memberi Rezeki. Ia pun wajib menunaikan hak-hak Allah, yaitu beribadah
hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun,
sebagaimana tujuan penciptaannya. Allah berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56)
Seseorang
tidak akan berada di atas hakikat agamanya sebelum ia berilmu atau
mengenal Allah Ta’ala. Pengenalan ini tidak akan terjadi kecuali dengan
menuntut ilmu Dien (Agama Islam).
Di
samping mengenal Allah, seorang Muslimah juga wajib mengenal Nabi-Nya,
yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, karena beliau merupakan
perantara antara Allah dengan manusia dalam penyampaian risalah-Nya.
Sesuai dengan makna persaksiannya bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib mentaati segala yang
beliau perintahkan, membenarkan segala yang beliau khabarkan, menjauhi
apa yang beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan
apa yang beliau syariatkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
“Apa
yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Al Hasyr : 7)
Ayat
ini merupakan kaidah umum yang agung dan jelas tentang wajibnya seluruh
kaum Muslimin mengambil sunnah yang telah tetap dan hadits-hadits
shahih dalam aqidah, ibadah, muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini
tidak akan diketahui kecuali dengan menuntut ilmu terlebih dahulu.
Selain
mengenal Allah dan Rasul-Nya, seorang Muslimah juga wajib mengenal
agama Islam sebagai agama yang dianutnya, dengan memperhatikan
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahihah, sehingga ia
memiliki pendirian kokoh, tidak mudah terombang-ambing. Dan agar ia
berada di atas cahaya, bukti, dan kejelasan dari agamanya.
Inilah masalah pertama yang disebutkan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bukunya Al Ushuluts Tsalatsah, yaitu berilmu sebelum beramal dan berdakwah.
Seorang
Muslimah juga wajib membekali dirinya dengan ilmu sebelum memasuki
jenjang pernikahan, sehingga ia dapat menunaikan kewajibannya sesuai
dengan tuntunan syariat.
Sebagai
isteri, seorang Muslimah dituntut agar menjadi isteri yang shalihah,
sehingga ia dapat menjadi perhiasan dunia yang paling baik, bukan justru
menjadi fitnah atau musuh bagi suaminya. Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash
radhiallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang sifat-sifat wanita shalihah :
“…
maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara
mereka.” (An Nisa’ : 34)
Maksud
ayat ini diterangkan oleh Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan Asy
Syaikh Salim Al Hilali rahimahumullah bahwa wanita yang shalihah adalah
yang menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentaati-Nya,
mentaati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan menunaikan
hak-hak suaminya dengan mentaatinya dan menghormatinya, serta menjaga
harta suami, anak-anak mereka, dan kehormatannya tatkala suaminya tidak
ada.
Untuk menjadi wanita shalihah yang seperti ini, seorang Muslimah membutuhkan ilmu.
Sebagai
seorang ibu, ia mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya agar
menjadi anak- anak yang shalih dan shalihah. Di bawah kepemimpinan
suami, isteri adalah penjaga rumah tangga suami dan anak-anaknya,
sebagaimana dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda :
“Laki-laki
adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin dalam rumah
tangga suaminya dan anak-anaknya, maka setiap kalian adalah pemimpin,
akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Hasil
didikan seorang ibu terhadap anak-anaknya inilah yang termasuk perkara
yang akan ditanyakan oleh Allah kelak di hari kiamat. Karena itulah
Muslimah harus menuntut ilmu syar’i sebagai bekal mendidik anak-anak
sehingga fitrah mereka tetap terjaga dan menjadi penyejuk hati karena
keshalihan mereka.
Di
tempat lain, bila seorang Muslimah belum menikah, maka sebagai anak ia
wajib taat pada orang tuanya selama tidak memerintahkan kepada maksiat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya… .” (Al Ankabut : 8)
Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka pada orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)
Untuk dapat berbuat baik dan menunaikan hak-hak orang tua dengan benar, seorang Muslimah tidak bisa lepas dari ilmu.
Seluruh
kewajiban ini harus dapat ditunaikan dengan dasar ilmu. Karena jika
tidak, akan terjadi berbagai kesalahan dan kerusakan. Maka tidak heran,
bila para Muslimah yang bodoh terhadap agamanya melakukan berbagai
praktek kesyirikan dan kebid’ahan.
Akibat
kebodohannya pula, banyak Muslimah yang durhaka pada suami atau orang
tuanya. Atau terjadi berbagai kesalahan dalam mendidik anak sehingga
muncullah generasi yang berakhlak buruk, bahkan bisa jadi durhaka pada
orang tua yang telah merawat dan membesarkannya. Karena kebodohannya
pula, banyak Muslimah yang tidak mengetahui bagaimana ia harus menjaga
kehormatannya, sehingga ia menjadi fitnah dan terjerumus dalam
perzinahan dan berbagai kemaksiatan. Kita berlindung kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu.
Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Aku
berdiri di muka pintu Syurga, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya
adalah orang- orang miskin, sedang orang-orang kaya masih tertahan oleh
perhitungan kekayaannya. Dan ahli neraka telah diperintahkan masuk
neraka. Dan ketika aku berdiri di dekat pintu neraka, maka aku dapatkan
mayoritas penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya
dengan menuntut ilmu, seorang Muslimah akan mengetahui jalan yang
selamat. Kaum Muslimah masa kini akan menjadi baik bila mereka mau
mencontoh para Muslimah generasi terdahulu (generasi salafuna shalih),
mereka sangat memperhatikan dan bersemangat dalam menuntut ilmu.
Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata :
‘Wahai
Rasulullah! Kaum lelaki telah membawa haditsmu, maka jadikanlah bagi
kami satu harimu yang kami datang pada hari tersebut agar engkau
mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Maka
beliau bersabda : ‘Berkumpullah pada hari ini dan ini di tempat ini.’
Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mendatangi mereka dan mengajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada
beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun sangat bersemangat mengajar para
shahabiyah, sampai-sampai beliau menyuruh wanita yang haid, baligh, dan
merdeka untuk menyaksikan kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan udzur wanita yang tidak
memiliki hijab, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain dari Ummu
‘Athiyah Al Anshariyah radhiallahu ‘anha, ia berkata : “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyuruh kami mengeluarkan wanita yang
merdeka, yang haid, dan yang dipingit untuk keluar pada hari Iedul
Fithri dan Adha. Adapun yang haid memisahkan diri dari tempat shalat,
dan mereka pun menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslimin. Aku
berkata : ‘Wahai Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki
jilbab.’ Beliau bersabda : ’Hendaklah saudaranya meminjamkan
jilbabnya.’”
Oleh
karena itulah, kita dapatkan dalam sejarah Islam, di antara mereka ada
yang menjadi ahli fiqih, ahli tafsir, sastrawati, dan ahli dalam seluruh
bidang ilmu dan bahasa. Sebagai contoh, Ummul Mukminin ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha yang dididik dalam madrasah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang berilmu dan
shalihah.
Imam
Az Zuhri rahimahullah berkata : ”Seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan
dan dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih
afdhal.”
Bahkan
‘Aisyah merupakan guru dari beberapa shahabat, ia menjadi bahan rujukan
mereka dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Urwah bin Az Zubair
berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih mengetahui ilmu fiqih,
pengobatan, dan syi’ir ketimbang ‘Aisyah.”
Para
wanita dari kalangan tabi’in juga berdatangan ke rumah ‘Aisyah untuk
belajar, di antara muridnya adalah Amrah bintu ‘Abdurrahman bin Sa’ad
bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata : “Dia adalah orang yang paling
mengetahui hadits-haditsnya ‘Aisyah.”
Di
antara deretan nama wanita generasi terdahulu yang cemerlang dalam ilmu
adalah Hafshah bintu Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya,
bacaan Al Qur’annya, dan hadits- haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash
Shuqra Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan
hadits, cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.
Demikianlah
–wahai saudariku Muslimah– mereka adalah contoh terbaik bagi kita dan
telah terbukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat
orang-orang yang berilmu sebagaimana firman-Nya :
“Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Al Mujadilah : 11)
Semoga Allah memudahkan jalan bagi kita untuk menuntut ilmu dan memberikan ilmu yang bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.
No comments:
Post a Comment