Wednesday, 18 June 2014

Opinion - Huruf “P” dan “J”

Berawal dari dua huruf kembar non identik alias berlainan rupa, bentuk dan tidak memiliki makna kata. Huruf yang satu “P” dan yang satunya lagi adalah “J”. Untuk  menemukan sebuah makna kata. Seperti halnya manusia,  yang hidup membutuhkan peran manusia lainnya, sebuah huruf pun membutuhkan rangkaian huruf lainnya.  Keduanya membutuhkan huruf-huruf lainnya untuk menyusun sebuah kata.  Apa jadinya bila manusia berbicara dengan yang lainnya hanya mengunakan huruf, bukan sebuah kata, kalimat dan paragraf maka akan terjadi kekosongan hidup.

Akhirnya rangkaian huruf ditemukan. Satu  persatu disusun merapat membentuk suatu barisan pada satu meja terpisah. dengan telaten, huruf itu pun dibaca lewat sebuah kaca pembesar. Terlihat dengan jelas huruf  “P” dengan ajaib beranak pinak menyusun sendiri kata  “PRABOWO.  Sedangkan pada meja yang lain  huruf “J” mengurai merangkai sendiri menjadi kata  “JOKOWI” . 

Kini kata “PRABOWO” dan “JOKOWI” bersemayam damai di hati para fansnya. Namun demikian, para fansnya mulai terganggu ketika terjadi korsleting listrik pada aliran  di otaknya. Ada sesuatu seolah jiwanya terancam. Fans PRABOWO  menuduh  fans JOKOWI penyebabnya. fans JOKOWI melakukan pembelaan malah berbalik menuduh Fans PRABOWO  telah memfitnahnya. Inilah sinetron yang sedang  disajikan kepada masyarakat Indonesia saat ini. Makna kata yang tadinya dianggap biasa menjadi sebuah kebahagian  yang semu. Kebahagaian yang melahirkan fanatisme buta. 

Makna kata itu tidak saja menimbulkan korsleting listrik tetapi sudah  memicu serangan   otak. Otak   manusia Indonesia yang  tadinya diam membeku  menjadi aktif menggelegak panas naik menuju ubun-ubun.  Sementara aliran darah di jantungnya berdenyut cepat mengerutkan kening dalam-dalam, bau darah kebencian mulai tercium anyir membawa  tanda-tanda  ketidaksukaan dan ketidakpuasan diantara  para fans tersebut.

Tanpa menunggu lama, otak itu meletus. Tanda-tandanya terucap lewat mulut. Lewat mulutlah ditumpahkan  sumpah serapah, caci maki, iri dengki, dendam  membara, padahal dendam itu telah mati suri sepuluh tahun yang lalu.  Semuanya terekam lewat media televisi, koran, twitter, facebook dan sebagainya. Lalu dipublikasikan ke publik menjadi kampanye hitam. Kampanye hitam terjerembab masuk mencari ruang pembenaran di warung-warung kopi. Pos ronda, kantor-kantor dan di area-area kampanye.

Makna kata dari kedua kata tersebut telah menjadi magnet yang melebarkan jurang permusuhan di antara fans Prabowo dan fans Jokowi.  Fans Prabowo adalah anti thesis dari  fans Jokowi begitu pula sebaliknya. Keduanya bersaing dalam satu kotak  persaingan bermerk “Capres” . Kotak  itu akan ditumpahkan ruahkan  dan disebar luaskan keseluruh pelosok negeri ini  pada 9 Juli nanti.  Begitu mahalnya, harga sebuah demokrasi, hingga manusia Indonesia harus melacurkan diri pada fanatisme buta.

No comments:

Post a Comment