Untuk menjalankan berbagai perannya dalam
kehidupan ini, mau tak mau seorang muslimah harus bergaul dalam
lingkungan sosial maupun profesional. Namun pergaulan muslimah, terutama
dengan para lelaki yang bukan mahram, dibatasi oleh rambu-rambu
syariat. Rambu-rambu apa sajakah itu?
Pakaian
Pergaulan di luar rumah, jelas
mensyaratkan seorang muslimah untuk menutup auratnya secara sempurna
sebagaimana QS Al Azhab: 59 dan An Nuur: 31. Dari berbagai hadits juga
bisa disimpulkan beberapa syarat dalam berbusana muslimah, antara lain,
tidak transparan, tidak ketat, dan tidak menyerupai laki-laki.
Pandangan
Syariat Islam mensyaratkan saling ghadhul bashar
(menjaga atau pandangan) dalam pergaulan antar lawan jenis. Perintah
ini jelas tercantum dalam surat An Nuur (24): 30 untuk kaum laki-laki, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya...”
Lalu An Nuur(24): 31 untuk kaum perempuan, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…”
Menahan pandangan dalam tafsiran fikih
bukan berarti selalu menundukkan pandangan. Jadi bila muslimah berbicara
bukan selalu harus menunduk atau memalingkan pandangannya. Menjaga
pandangan ditafsirkan agar setiap muslimah tidak menatap lekat-lekat
mata lawan jenisnya, berulang-ulang dengan pandangan yang lama. Sekadar
melihat masih diperkenankan.
Menjaga pandangan ini menjadi penting karena lewat pandangan kejahatan bisa terjadi. Pertama,
kejahatan seksual. Dari pandangan yang intens dan begitu lekat syetan
akan menggiring dua insan berlainan jenis ke arah perzinaan – zina hati
bahkan sampai zina sesungguhnya. Kedua, kejahatan sihir atau magic.
Lewat pandangan sihir ini orang bisa terhipnotis dan hilang kesadaran
sehingga bisa melakukan apapun sesuai kehendak pelaku sihir tersebut.
Suara
Melihat contoh para ummul mukminin yang
tetap berbicara dengan para sahabat yang bertanya tentang hukum-hukum
agama dan Rasulullah yang bersoal jawab dengan para sahabiyat,
disimpulkan bahwa suara perempuan bukanlah aurat. Jadi selama yang
diucapkan adalah pembicaraan yang baik dan sopan, tak larangan bagi
perempuan untuk berbicara dengan laki-laki.
Namun, suara perempuan bisa jadi
dilarang bila bisa menimbulkan fitnah, seperti suara penuh rayuan yang
mendesah-desah. Allah berfirman, “... Maka janganlah kamu tunduk
dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS Al Ahzab:32)
Jadi dalam bergaul, suara yang
dibuat-buat – apalagi diniatkan untuk menarik hati lelaki – tentu
dilarang dan seharusnya dihindari.
Candaan
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah pun
kadang bercanda juga. Misalnya saat beliau saw menggoda seorang wanita
tua. Rasulullah mengatakan di surga tidak ada perempuan tua, sehingga
perempuan itu menangis karena mengira tidak akan masuk surga. Sebenarnya
lah memang di surga tidak ada orang tua, semua yang masuk surga akan
kembali muda sebagaimana dinyatakan Allah dalam QS Al-Waaqi’ah : 35-36.
Dari beberapa riwayat tentang canda
Rasulullah, satu yang pasti bahwa dalam bercanda Rasulullah tidak pernah
berbohong. Dari Abu Hurairah ia berkata, “Ya Rasulullah, sungguh
engkau sering bergurau dengan kami”. Kemudian Rasulullah berkata “Tapi,
sungguh aku tidak mengatakan kecuali kebenaran”. (HR Tirmidzi)
Jadi bercanda pun ada adabnya. Selain
tidak berbohong – apalagi sekadar ingin membuat orang tertawa saja –
canda tidak boleh sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.
Berkenaan dengan pergaulan dengan lelaki non mahram, canda yang
berlebihan apalagi sampai mengundang syahwat tentu dilarang.
Parfum
Rasulullah saw sejak awal sudah
mengingatkan kaum muslimah tentang akibat penggunaan parfum yang bisa
mempengaruhi syahwat laki-laki. Aroma parfum wanita yang “menyengat” –
juga tahan lama – dan menyebar ke sekelilingnya sebenarnya “diam-diam”
bisa membangkitkan syahwat laki-laki. Karena akibat inilah, Rasulullah
melarang muslimah menggunakan parfum yang berpotensi seperti itu. Bahkan
dalam satu riwayat, Rasulullah pernah menyuruh seorang sahabiyat yang
menggunakan parfum untuk menghilangkannya dengan mandi sebagaimana mandi
hadats besar.
Namun, bukan berarti muslimah tak
diperkenankan memakai wewangian sama sekali. Bau badan yang menyengat
pun tak baik buat pergaulan. Pemakaian bedak badan atau deodoran
sebenarnya juga diperlukan. Juga jenis-jenis cologne yang harumnya sebentar saja, sekadar menghilangkan bau badan tak sedap.
Jabat Tangan
Rasulullah saw telah memberi contoh
bahwa beliau tidak menjabat tangan perempuan yang bukan mahramnya,
bahkan pada saat yang amat penting sekalipun, yaitu pada saat baiat.
Dalam satu riwayat diceritakan tentang Rasullah yang digandeng seorang
budak wanita, namun budak tersebut sudah tua yang tak punya hasrat lagi
pada laki-laki.
Persentuhan kulit antar lawan jenis ini dibolehkan dalam keadaan darurat, misalnya saat mengobati orang sakit.
Bepergian
Untuk pergi jauh dan lama, ada satu hadits Rasulullah yang menyatakan, “Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya.” Sementara ada hadits lain yang memperbolehkan hanya satu hari saja.
Menurut Imam Syafi’i, mahram di sini
bisa berarti laki-laki mahramnya dan bisa juga perempuan yang terpercaya
sebagai teman seperjalanan.
Maksud Rasulullah ketika itu tentu dalam
rangka melindungi keselamatan wanita itu sendiri, apalagi mungkin saat
itu tidak aman bagi perempuan bepergian. Namun Rasulullah juga tidak
menafikan bahwa suatu saat perempuan bisa bepergian –terutama untuk
menunaikan ibadah haji – karena memang situasi dan kondisi yang terjamin
bagi keselamatan perempuan. Beliau saw bersabda, “Wahai Adi, bila
umurmu panjang, wanita dalam haudaj (tenda di punuk unta) bepergian dari
kota Hirah hingga tawaf di Ka’bah tidak merasa takut, kecuali kepada
Allah saja.” (HR Bukhari)
Untuk keperluan lain – bukan ibadah haji
– sebagian ulama membolehkan wanita bepergian selama keadaannya aman,
baik aman dari tindak kriminalitas maupun aman dari fitnah. Yang
terpenting pula urusan yang menyebabkan perempuan bepergian adalah untuk
tujuan yang baik sesuai syariah, seperti belajar, dakwah atau bekerja.
Adanya izin dari orangtua atau suami –bagi yang sudah menikah – juga
merupakan keharusan bagi muslimah yang pergi keluar rumah.
No comments:
Post a Comment