Kehancuran
sebuah rumah tangga karena salah satu di antara suami atau istri
berbuat selingkuh, rasanya telah menjadi berita yang amat biasa. Bukan
hanya terjadi di kalangan selebritis, namun juga banyak terjadi di rumah
tangga sekitar kita. Fenomena ini merupakan secuil dari petaka yang
muncul karena wanita muslimah tergoda dengan slogan-slogan emansipasi.
Ibarat
sebuah permata yang sangat berharga, ditempatkan di tempat yang bagus,
yang tak gampang terjamah. Itulah wanita dalam Islam. Bukan sekedar
omong kosong bila kita katakan bahwa wanita benar-benar mendapatkan
kemuliaannya dalam Islam. Pembicaraan tentang hal ini telah kita lewati
dalam edisi yang lalu. Namun sayangnya banyak orang yang tidak mau
menoleh kepada perlakuan istimewa dari agama yang mulia ini, sehingga
mereka menengok ke Barat, ingin beroleh konsep bagaimana mengangkat
harkat dan martabat wanita ala Barat.
Orang-orang
seperti ini biasanya sudah tertular penyakit minder jadi orang Islam.
Atau lebih parahnya, fobi bahkan anti terhadap semua yang berbau Islam
namun kagum kepada semua yang datang dari Barat, walaupun itu adalah
kesesatan yang dipoles dengan bungkus warna-warni. Timbullah kekaguman
mereka kepada wanita-wanita dibarat yang bebas berkeliaran mengejar
karir di luar rumah sebagaimana lelaki. Berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah dengan lelaki. Diteriakkanlah kepada para wanita agar meniru
wanita-wanita Barat, hingga tampaklah akibatnya yang mengerikan ketika
gayung bersambut.
Dan hari ini maupun hari-hari sebelumnya, kita telah melihat hasil teriakan tersebut…
Para wanita berseliweran di setiap tempat keramaian, di kantor, di lapangan… Dan ini adalah pemandangan yang biasa setiap harinya. Para wanita itu mengejar dunianya dengan menjunjung setinggi-tingginya slogan emansipasi.
Para wanita berseliweran di setiap tempat keramaian, di kantor, di lapangan… Dan ini adalah pemandangan yang biasa setiap harinya. Para wanita itu mengejar dunianya dengan menjunjung setinggi-tingginya slogan emansipasi.
Kalau
dulu, para lelaki baik itu ayah, kakek, suami, paman, ataupun saudara
laki-laki, demikian cemburu dengan wanitanya bila sampai terlihat oleh
lelaki yang bukan mahramnya, namun kita dapati pada hari ini, di zaman
kemajuan ini, rasa cemburu sudah ketinggalan kereta. Tak ada lagi tempat
untuknya, bukan zamannya lagi. Ayah, suami, paman dan saudara laki-laki
membukakan pintu rumah selebar-lebarnya bagi si wanita untuk
mengepakkan sayap kebebasan, menurut mereka.
Para
lelaki tak lagi cemburu, sementara si wanita tak lagi memiliki rasa
malu. Lalu, diayunkannya langkahnya sampai melampaui pagar ‘istana’nya.
Selanjutnya dapat kita duga kerusakan apa yang bakal terjadi bila
jalan-jalan dan tempat-tempat di luar rumah dipenuhi wanita, bercampur
baur dengan lelaki. Ini semua akibat kebodohan dan jauhnya mereka dari
agama, kemudian akibat termakan emansipasi.
Apa itu Emansipasi?
Kami
tak bermaksud berbicara panjang lebar tentang emansipasi, karena materi
ini akan dibahas secara meluas di majalah kesayangan kita ini dalam
edisi-edisi mendatang, Insya Allah. Namun tidak mengapa, kami sedikit
menyentil permasalahan ini karena berkaitan dengan pembahasan kami di
rubrik ini dalam edisi yang telah lalu. Kalau ada yang bertanya, apa itu
emansipasi? Maka secara praktis kita katakan bahwa yang dimaukan dengan
emansipasi oleh para penyerunya adalah upaya mempersamakan wanita
dengan lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik secara intelektual
maupun fisik.
Emansipasi
dipandang sebagai kemajuan bagi kaum wanita, yang berarti kebebasan
bagi wanita untuk melakukan apa saja yang diinginkan dan menjalani
profesi apa saja. Bukan lagi pemandangan aneh bila kita dapati seorang
wanita menjadi sopir truk, kondektur, kuli bangunan, tukang parkir,
satpam…. Jangan heran bila wanita bisa menjadi perdana menteri, pilot,
jenderal bahkan presiden. Walhasil, kalau lelaki bisa unjuk otak dan
ototnya dalam segala lapangan penghidupan maka wanita pun dituntut harus
bisa dan harus diberi porsi yang sama. Kalau tidak seperti itu, berarti
merendahkan wanita dan menginjak hak asasinya!!! Demikian lolongan
mereka.
Sesuai atau tidak defenisi emansipasi yang disebutkan di sini dengan
defenisi palsu yang mereka –kaum feminis– berikan, tidaklah jadi soal.
Yang penting demikianlah kenyataan praktik emansipasi di masyarakat
kita. Wallahu a’lam.
Kapan Muncul Emansipasi?
Tidak
terlalu penting untuk kita sebutkan di sini kapan gerakan emansipasi
ini muncul untuk pertama kalinya. Yang jelas, gerakan ini pertama kali
berbentuk slogan pendidikan akademis bagi kaum wanita. Slogan-slogan itu
pada awalnya nampak menarik karena mengusahakan peningkatan kecerdasan
dan pengetahuan kaum wanita, agar dapat melahirkan generasi baru yang
lebih cakap dan lebih berkualitas.
Tetapi,
di kemudian hari setelah tercapainya tujuan pertama, gerakan ini mulai
melakukan tipu daya baru yang tentu saja dibungkus dengan kata-kata
indah nan menawan, yakni persamaan hak pria dan wanita secara mutlak dan
kebebasan karir wanita di segala bidang.
Dengan
iming-iming yang menarik ini, tak pelak lagi banyak kaum hawa yang
tertipu dan terbawa arus gelombang emansipasi. Bahkan hembusan
emansipasi seolah angin sejuk bagi masa depan mereka.
Terlahir
di negeri Eropa Barat, emanisipasi jelas mewakili pemikiran bangsa yang
sangat jauh dari tuntunan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Bahkan
mereka adalah budak-budak hawa nafsu, kesyirikan, dan kekufuran. Kaum
wanita dalam masyarakat penyembah salib tersebut sama sekali tidak
mendapatkan perlakuan yang semestinya. Mereka diibaratkan barang yang
dapat diperjualbelikan di pasaran, dianggap sebagai sampah dan budak
pemuas hawa nafsu.
Para
pemuka agama mereka bahkan menyimpulkan bahwa wanita adalah makhluk
pembawa kejahatan, musuh keselamatan, penunggu neraka, semata-mata
dicipta untuk melayani lelaki, dianggap sejenis hewan yang harus
dipukul, dan merupakan tangan dari tangan-tangan setan. Dan masih banyak
lagi sebutan dan gelar-gelar jelek yang mereka berikan kepada kaum
wanita. Dalam kenyataan buruk seperti itulah dihembuskan ‘angin segar’
emansipasi, agar wanita terlepas dari perbudakan dan perlakuan buruk
kaum lelaki. Agar wanita mendapatkan hak asasinya sebagai manusia yang
selama ini telah diinjak-injak oleh lelaki.
Bila
demikian kenyataan yang melatarbelakangi lahirnya emansipasi, apakah
pantas wanita muslimah ikut-ikutan menjayakan gerakan ini sementara ia
telah dimuliakan dalam Islam, diberikan perlindungan dan kedudukan
mulia? Sungguh kebodohan telah meracuninya. Andai ia tahu kemuliaan yang
diberikan Islam padanya…. Kemuliaan yang membuat iri wanita-wanita
Barat !!!.
Racun Emansipasi
Propaganda
yang laris manis ini banyak menebarkan racun di tengah masyarakat. Kaum
wanita berbondong-bondong menyerbu tiap bidang kehidupan dan lapangan
pekerjaan. Tak peduli apakah hal itu sesuai dengan fitrahnya atau tidak.
Akibatnya, jumlah pengangguran di kalangan lelaki meningkat karena
lapangan pekerjaannya telah direbut oleh wanita.
Dewasa
ini tak jarang wanita memasuki bidang-bidang yang ‘berotot’, yang
tentunya standar yang dipakai adalah standar yang biasa berlaku pada
kaum lelaki, karena memang demikian kebutuhannya. Wanita yang masuk ke
bidang ini berarti harus menyesuaikan diri dengan standar yang ada,
sementara wanita diciptakan dengan struktur tubuh yang berbeda dengan
lelaki. Lalu pekerjaan apa yang dapat diselesaikannya dengan baik?
Sementara
itu, di tempat kerjanya wanita tidak jarang menjadi korban pelecehan
-lisan maupun tindakan- dari lawan jenisnya, baik dari rekan kerja
ataupun atasannya. Nilai wanita jadi begitu rendah, tak lebih sebagai
obyek dari pandangan mata-mata nakal.
Kehadirannya di tempat kerja tak jarang hanya sebagai ‘penyegar’
suasana. Kemerosotan akhlak terjadi di kalangan masyarakat dengan
lepasnya wanita dari rumahnya. Lelaki jadi terfitnah1 dengan bebasnya
wanita berkeliaran di sekitarnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda:
“Tidaklah
aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki
daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Wanita
dan lelaki bebas bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya pemisah
(ikhtilath). Padahal Islam telah melarang hal ini karena ikhtilath
merupakan pintu yang mengantarkan pada perbuatan keji dan mungkar,
mendekatkan pada perbuatan zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memperingatkan:
“Dan
janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan keji dan suatu jalan yang amat buruk.” (Al-Isra`: 32)
Gejala
lain yang kini terlihat di kalangan mereka yang menjadi korban
emansipasi adalah sepinya ikatan pernikahan. Wanita yang sibuk dengan
karirnya lebih suka hidup sendiri daripada harus terikat dengan tanggung
jawab mengurus suami, rumah dan anak. Terkadang si wanita lebih memilih
hidup bebas, dan bergaul dengan lelaki mana saja yang ia inginkan.
Na’udzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari hal itu).
Tuntutan
agar wanita meraih pendidikan formal yang tinggi ternyata mengharuskan
si wanita mempraktikkan ilmunya di lapangan, walau ia harus meninggalkan
suami, anak, dan rumahnya. Karena tuntutan ekonomi yang semakin
meningkat, semangat cinta kehidupan dunia berikut perhiasannya semakin
meninggi, akhirnya para wanita merasa harus bekerja di luar rumah untuk
menambah penghasilan keluarga. Timbullah dilema antara mengurus rumah
tangga dengan kepentingan pekerjaannya. Tak jarang mereka menyisihkan
urusan rumah tangga. “Bisa diserahkan kepada pembantu,” kata mereka.
Saat
ini, terlalu banyak kita dapati anak-anak yang dibesarkan oleh
pembantunya, sementara ibunya hanya menjadi pengawas dari jauh. Berbagai
masalah timbul karenanya. Anak-anak menjadi nakal karena kurang
perhatian. Mereka lari keluar rumah untuk mencari kompensasi,
mengais-ngais kasih sayang yang mungkin masih tersisa. Rumah tangga
terbengkalai, suami pun menyeleweng. Si wanita itu sendiri mendapatkan
godaan dari kawan sekerja yang lebih tampan menawan daripada suami di
rumah. Akibatnya si wanita pun terdorong untuk berbuat serong. Dan
akhirnya…. pernikahan berakhir dengan perceraian. Tinggallah anak-anak
sebagai korbannya.
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum:
41)
Sebenarnya terlalu banyak dampak emansipasi untuk disebutkan di sini.
Cukuplah
apa yang telah kami sebutkan sebagai contoh. Yang perlu diingat oleh
setiap wanita, bahwa emansipasi sama sekali bukanlah solusi untuk
mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap dirinya. Karena emansipasi
yang lebih dahulu telah diperjuangkan oleh wanita Barat hanya
menghasilkan penderitaan yang lebih parah bagi kaum wanita. Setelah
tercapai apa yang menjadi tujuan ternyata timbul akibat yang buruk bagi
individu, masyarakat dan generasi penerus.
Dilanggarnya
tuntunan Islam tanpa rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dicampakkannya hijab, dibuangnya rasa malu, lahirnya anak yang tak
diketahui siapa orang tuanya, perpecahan keluarga, mudahnya kawin cerai,
kebebasan hubungan lelaki dan wanita, dan sebagainya menjadikan
kehidupan para pelaku serta korban emansipasi dipenuhi stres dan
depresi. Wallahul musta’an.
Kita
berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari akibat yang diperbuat
oleh orang-orang yang jahil dan zalim di antara kita. Bila sudah seperti
ini keadaannya, tidak ada solusi yang lebih tepat kecuali kembali
kepada ajaran Islam yang benar. Kembali kepada tuntunan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Kembalilah
engkau wahai wanita kepada fitrahmu! Lihatlah bagaimana Islam telah
memuliakanmu! Pegangilah apa yang diajarkan Nabimu, niscaya kebahagiaan
di dua negeri akan kau raih.
Wallahu a’lam.
1 Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan adzab.
No comments:
Post a Comment