Orangtua selalu tahu yang terbaik bagi anak. ‘Hukum’ ini
melekat begitu erat di dalam hati dan pikiran banyak orangtua, tak
peduli sang anak masih balita, remaja atau sudah memasuki dewasa. Maka
kreasi, pilihan bahkan kemandirian berjuta anak pun terpatahkan sejak
mulanya.
Yaaaah, kok cuma tujuh. Kamu gak teliti sih mengerjakannnya. Masak begini aja salah. Makanya jangan banyak main. Anak ayah tu semestinya nilainya 10 atau sembilan paling kurang.”
Yaaaah, kok cuma tujuh. Kamu gak teliti sih mengerjakannnya. Masak begini aja salah. Makanya jangan banyak main. Anak ayah tu semestinya nilainya 10 atau sembilan paling kurang.”
“Malu-maluin aja deh, udah di atas
panggung kok malah lupa sama dialog. Kan Ibu sudah bilang jutaan kali,
hafalkan semua dialog baik-baik.”
“Kamu pilih kedokteran saja. Bisa
ngobatin ayah bunda kalau nanti sakit. Masa depannya juga lebih jelas.
Kakak-kakakmu, sepupumu, paman dan tante saja bisa kok. Kamu harus juga
bisa dong…”
“Kamu nerusin ke Mesir aja. Bikin
bahasa Arab kamu lancar. Terus ngapal Quran, belajar hadits. Ingat,
illmu lain tuh gak bakal ditanya di akhirat…”
Pushy Parents; Mengaku cinta, namun berlaku raja
Disadari atau tidak, dalam mendidik anak, banyak orangtua telah menjalani hukum orangtua selalu tahu apa yang terbaik bagi anak.
Lantas, atas nama cinta, mereka pun berjuang sekuat daya, rela ‘jatuh
bangun’ menggerakkan roda kehidupan, demi memenuhi kebutuhan terbaik
bagi anak. Ya kebutuhan jasmaninya, intelektual, ruhani hingga
kemantapan jaring sosial anak.
Adakah yang salah dengan keinginan
menghadirkan yang terbaik bagi anak? Tidak. Bahkan harus. Namun, ketika
caranya sudah mengarah pada keharusan, dimana keinginan,
harapan, hingga ukuran keberhasilan orangtua telah dijadikan rujukan
utama bagi anak, nyatanya tak selalu kebaikanlah yang diperoleh anak.
Psikolog Rustika Thamrin menjelaskan, banyak anak yang kehilangan inner motivaton,
motivasi yang tumbuh dari dalam diri, karena tumbuh dalam pengasuhan
orangtua yang amat mendikte, yang kemudian dikenal dengan sebutan pushy parents.
Ciri khasnya, urai Rustika, anak harus
ikut keinginan orangtua, dilakukan cepat, sekarang juga, hingga yang
sering terjadi anak tak punya suara untuk memilih atau menunjukkan
keinginannya sendiri.
Maka, meski mengaku cinta dan sayang
pada anak, sosok pushy parents sebenarnya telah menjelma laksana raja,
yang segala kehendaknya merupakan titah tak terbantah.
Apa indikasi yang bisa menunjukkan kita
adalah sosok pushy parents atau bukan? Psikoterapis anak dan keluarga
pada RSIA Hermina Depok ini lantas menyebutkan tiga kata kunci yang
mudah diamati pada pola komunikasi orangtua-anak. Yaitu pola perintah,
ancaman dan kritik.
“Coba cek pola komunikasi kita pada
anak, bila lebih cenderung menggunakan gaya memerintah, mengancam atau
mengkritik, maka kita sudah termasuk sosok pushy parents,” jelasnya.
Uniknya, Rustika menambahkan, pushy parents tak selalu muncul dalam sosok orangtua galak, atau yang bersuara keras. Banyak orangtua bergaya lembut namun ternyata tetap pushy.
“Misalnya ngomongnya lembut, pelan, ‘kamu itu mbok ya begini, begitu’. ‘Coba deh, lihat si Anu’ atau, ‘Nak, kalau ndak begitu nanti kualat’…memang adem sih secara pendengaran, tapi tetap saja pushy…,” contoh ibu tiga anak ini.
Hilang inisiatif, kreatitas dan kemandirian
Mungkin banyak yang tak menyadari bahwa
ketika orangtua kerap mendikte anak soal apa yang terbaik untuk
dijadikan pilihan, dikerjakan, bahkan dicita-citakan pada saat yang sama
orangtua sesungguhnya tengah memadamkan inisiatif, kreativitas dan
kemandirian anak.
“Ketika anak berulangkali tak diberi
kesempatan memilih, lama kelamaan dia akan kehilangan motivasi untuk
berbuat, bahkan berkeinginan. Anak tak terpicu untuk berinisiatif,
hingga kreativitasnya pun terhambat. Akhirnya anak cenderung menjadi
tidak mandiri, dan amat tergantung pada orangtua,” urai Rustika lagi.
Kaitan lanjutannya banyak. Ketika anak
kehilangan kemandirian, anak pun sulit memunculkan berbagai alternatif
solusi saat menghadapi masalah. Bahkan boleh dikatakan kesempatan dia
untuk belajar memecahkan masalah pun sudah lenyap sejak semula.
“Kalau apa-apa sudah ditetapkan,
diarahkan, didikte, anak tidak terlatih menghadapi masalah, tidak
terlatih untuk bertanggungjawab. Apalagi, biasanya pushy parents selalu
membantu anak meniti kehidupan demi menghindari kegagalan.”
Padahal, siap menghadapi kegagalan
sebagaimana siap menyongsong keberhasilan adalah satu paket latihan yang
akan menentukan kematangan pribadi anak kelak di masa dewasa.
“Dewasa itu kan tak hanya matang secara
fisik saja. Tetapi juga secara emosional dan spiritual,” lanjut Rustika
seraya mencontohkan bahwa seseorang yang tidak punya konsep diri yang
positif, kepercayaan dirinya rendah, selalu berpikir tak mampu
memutuskan sesuatu sesuai keinginan, hingga takut sekali pada kegagalan,
sesungguhnya belum dewasa secara emosional.
“Banyak contoh orang yang kepribadiannya
belum matang, meski usianya sudah memasuki dewasa. Misalnya sudah
berusia 30an tetapi masih suka ngambek, kerja pun dicariin ibunya, mesti
didorong-dorong, dibujuk-bujuk…,” kata Rustika.
Proporsional dalam mengatur dan membiarkan
Lantas apakah orangtua sebaiknya memerdekakan saja kehendak anaknya? Atau menyerahkan segala keputusan di tangan anak?
Tentunya tak seekstrim itu. Nurhamidah Lc
menjelaskan, orangtua jelas punya hak untuk mengatur anak. Bahkan
mereka berkewajiban untuk membimbing anaknya memilih jalan terbaik di
sepanjang hidupnya. Namun, membimbing tak selalu berarti mengendalikan
dan menentukan. Ada fleksibilitas cara mendidik yang perlu diperhatikan,
terutama menyangkut fase tumbuh kembang anak.
“Meski kedudukan orangtua adalah sebagai
pemimpin, namun kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang
seimbang, yang tawazun, yang proporsional. Sehingga orangtua perlu
dicintai anak dengan ketaatan, dan anak dicintai orangtua dengan
didengarkan pendapatnya,” jelas Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam,
Al-Qudwah, Depok, ini.
Berkaitan dengan fase tumbuh kembang
anak, Nurhamidah menjelaskan bahwa Islam hanya mengenal dua fase
kehidupan yaitu para baligh dan baligh. Masa pra baligh tidak
memunculkan konsekuensi beban tanggungjawab bagi seseorang, sementara
masa baligh menuntut adanya kemampuan memikul beban tanggungjawab.
Nah, karena seseorang yang mampu memikul
beban tanggungjawab diasumsikan telah matang secara fisik, emosi dan
ruhani, maka orangtua sudah semestinya mendidik anak dengan pola yang
tepat agar pada saat baligh anak sudah matang secara fisik, emosi dan
ruhani pula.
Ketika masa prabaligh, anak memang masih
cenderung ikut-ikutan, belum bisa memutuskan sendiri, maka orangtua
bisa mengarahkan pilihan anak tetapi dengan tetap membuka peluang
alternatif pada pilihan itu.
“Memilih sekolah misalnya, orangtua
memang harus mencarikan yang terbaik, orangtua punya ukuran. Tetapi
tetap beri anak kesempatan memilih mana yang memunculkan kenyamanan bagi
dirinya, lewat berbagai alternatif. Kalau ada beberapa pilihan, pada
akhirnya anak tetap punya kesempatan ‘memilih sendiri’ meski semua sudah
ada dalam koridor terbaik pilihan orangtua.”
Bila sejak kecil dibiasakan memperoleh
alternatif, anak pun terasah untuk berpikir nalar, memutuskan dengan
pertimbangan dan menghitung untung rugi, meski awalnya masih berada di
dalam kerangka pilihan orangtua.
Sesekali gagal tak mengapa
Bagaimana dengan kekhawatiran orangtua mengenai kegagalan?
“Tak apa-apa bila kita membiarkan anak
sesekali gagal atau salah. Jangan langsung turun tangan membantu,
mengatasi atau membela. Sebab anak perlu belajar bertanggungjawab atas
pilihan dan belajar menerima konsekuensi atas perilakunya sendiri,”
tegas Rustika Thamrin, seraya menambahkan, “Yang penting kita sudah
mengarahkan anak secara perlahan-lahan, membiasakan berdialog pada anak
tentang konsekuensi, dan kegagalan itu bukan hal-hal prinsip seperti
terjerumus pergaulan bebas dan sejenisnya.”
Rustika lantas mencontohkan, bila anak
berkeras ingin nonton bola yang jam tayangnya larut malam, dialogkan apa
konsekuensinya; misalnya bangun bisa kesiangan lalu terlambat sekolah.
Bila anak yakin bisa mengatasi bangun kesiangan ini dan ternyata tetap
saja bangun kesiangan, jangan bantu anak dengan tergopoh-gopoh
menyiapkan ini itu.
“Jangan panik, melainkan biarkan saja
semua berjalan sebagaimana hari biasa. Tetap mandi, makan, dan semua
disiapkan anak sendiri, tanpa dibantu. Karena anak perlu membiasakan
diri menghadapi konsekuensi pilihannya.”
Nurhamidah pun berpandangan serupa,
“Jangan mudah marah atau menyalahkan anak. Apalagi pada anak yang masih
prabaligh, dimana pilihannya sebenarnya merupakan bagian dari alternatif
pilihan orangtua. Maka konsekuensi kegagalan ataupun kesalahan pun
tentu harus dibiasakan untuk diterima baik oleh anak maupun orangtua.”
Lebih lanjut, lulusan Ushuludin Universitas Al-Azhar Kairo ini juga menyarankan orangtua untuk selalu mengupayakan review
setiap kali terjadi sebuah kegagalan. “Apakah orangtua sudah membimbing
anak sebelumnya? Apakah anak sudah cukup diberi fasilitas untuk bisa
optimal menjalani pilihannya? Apakah anak memang sudah cukup maksimal
berikhtiar?”
Bahkan, kalaupun semua jawaban berujung
pada kata sudah namun masih saja terjadi kegagalan, Nurhamidah tetap
meminta orangtua meninggikan positive thinking dan husnuzhon, sebab, bisa jadi, kegagalan itu hanyalah sebentuk ujian keimanan bagi ibu, bagi anak atau bagi keduanya. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment