Sunday, 22 June 2014

Psikologi Keluarga - Pushy Parents; Kala Orangtua Berlaku Raja

Orangtua selalu tahu yang terbaik bagi anak. ‘Hukum’ ini melekat begitu erat di dalam hati dan pikiran banyak orangtua, tak peduli sang anak masih balita, remaja atau sudah memasuki dewasa. Maka kreasi, pilihan bahkan kemandirian berjuta anak pun terpatahkan sejak mulanya.

Yaaaah, kok cuma tujuh. Kamu gak teliti sih mengerjakannnya. Masak begini aja salah. Makanya jangan banyak main. Anak ayah tu semestinya nilainya 10 atau sembilan paling kurang.”
“Malu-maluin aja deh, udah di atas panggung kok malah lupa sama dialog. Kan Ibu sudah bilang jutaan kali, hafalkan semua dialog baik-baik.”
“Kamu pilih kedokteran saja. Bisa ngobatin ayah bunda kalau nanti sakit. Masa depannya juga lebih jelas. Kakak-kakakmu, sepupumu, paman dan tante saja bisa kok. Kamu harus juga bisa dong…”
“Kamu nerusin ke Mesir aja. Bikin bahasa Arab kamu lancar. Terus ngapal Quran, belajar hadits. Ingat, illmu lain tuh gak bakal ditanya di akhirat…”

Pushy Parents; Mengaku cinta, namun berlaku raja
Disadari atau tidak, dalam mendidik anak, banyak orangtua telah menjalani hukum orangtua selalu tahu apa yang terbaik bagi anak.  Lantas, atas nama cinta, mereka pun berjuang sekuat daya, rela ‘jatuh bangun’ menggerakkan roda kehidupan, demi memenuhi kebutuhan terbaik bagi anak. Ya kebutuhan jasmaninya, intelektual, ruhani hingga kemantapan jaring sosial anak.

Adakah yang salah dengan keinginan menghadirkan yang terbaik bagi anak? Tidak. Bahkan harus. Namun, ketika caranya sudah mengarah pada keharusan, dimana keinginan, harapan, hingga ukuran keberhasilan orangtua telah dijadikan rujukan utama bagi anak, nyatanya tak selalu kebaikanlah yang diperoleh anak.

Psikolog Rustika Thamrin menjelaskan, banyak anak yang kehilangan inner motivaton, motivasi yang tumbuh dari dalam diri, karena tumbuh dalam pengasuhan orangtua yang amat mendikte, yang kemudian dikenal dengan sebutan pushy parents.

Ciri khasnya, urai Rustika, anak harus ikut keinginan orangtua, dilakukan cepat, sekarang juga, hingga yang sering terjadi anak tak punya suara untuk memilih atau menunjukkan keinginannya sendiri.  

Maka, meski mengaku cinta dan sayang pada anak, sosok pushy parents sebenarnya telah menjelma laksana raja, yang segala kehendaknya merupakan titah tak terbantah.
Apa indikasi yang bisa menunjukkan kita adalah sosok pushy parents atau bukan? Psikoterapis anak dan keluarga pada RSIA Hermina Depok ini lantas menyebutkan tiga kata kunci yang mudah diamati pada pola komunikasi orangtua-anak. Yaitu pola perintah, ancaman dan kritik.

“Coba cek pola komunikasi kita pada anak, bila lebih cenderung menggunakan gaya memerintah, mengancam atau mengkritik, maka kita sudah termasuk sosok pushy parents,” jelasnya.

Uniknya, Rustika menambahkan, pushy parents tak selalu muncul dalam sosok orangtua galak, atau yang bersuara keras. Banyak orangtua bergaya lembut namun ternyata tetap pushy.

“Misalnya ngomongnya lembut, pelan, ‘kamu itu mbok ya begini, begitu’. ‘Coba deh, lihat si Anu’ atau, ‘Nak, kalau ndak begitu nanti kualat’…memang adem sih secara pendengaran, tapi tetap saja pushy…,” contoh ibu tiga anak ini.

Hilang inisiatif, kreatitas dan kemandirian
Mungkin banyak yang tak menyadari bahwa ketika orangtua kerap mendikte anak soal apa yang terbaik untuk dijadikan pilihan, dikerjakan, bahkan dicita-citakan pada saat yang sama orangtua sesungguhnya tengah memadamkan inisiatif, kreativitas dan kemandirian anak.

“Ketika anak berulangkali tak diberi kesempatan memilih, lama kelamaan dia akan kehilangan motivasi untuk berbuat, bahkan berkeinginan. Anak tak terpicu untuk berinisiatif, hingga kreativitasnya pun terhambat. Akhirnya anak cenderung menjadi tidak mandiri, dan amat tergantung pada orangtua,” urai Rustika lagi.

Kaitan lanjutannya banyak. Ketika anak kehilangan kemandirian, anak pun sulit memunculkan berbagai alternatif solusi saat menghadapi masalah. Bahkan boleh dikatakan kesempatan dia untuk belajar memecahkan masalah pun sudah lenyap sejak semula.
“Kalau apa-apa sudah ditetapkan, diarahkan, didikte, anak tidak terlatih menghadapi masalah, tidak terlatih untuk bertanggungjawab. Apalagi, biasanya pushy parents selalu membantu anak meniti kehidupan demi menghindari kegagalan.”

Padahal, siap menghadapi kegagalan sebagaimana siap menyongsong keberhasilan adalah satu paket latihan yang akan menentukan kematangan pribadi anak kelak di masa dewasa.
“Dewasa itu kan tak hanya matang secara fisik saja. Tetapi juga secara emosional dan spiritual,” lanjut Rustika seraya mencontohkan bahwa seseorang yang tidak punya konsep diri yang positif, kepercayaan dirinya rendah, selalu berpikir tak mampu memutuskan sesuatu sesuai keinginan, hingga takut sekali pada kegagalan, sesungguhnya belum dewasa secara emosional.

“Banyak contoh orang yang kepribadiannya belum matang, meski usianya sudah memasuki dewasa. Misalnya sudah berusia 30an tetapi masih suka ngambek, kerja pun dicariin ibunya, mesti didorong-dorong, dibujuk-bujuk…,” kata Rustika.

Proporsional dalam mengatur dan membiarkan
Lantas apakah orangtua sebaiknya memerdekakan saja kehendak anaknya? Atau menyerahkan segala keputusan di tangan anak?
Tentunya tak seekstrim itu. Nurhamidah Lc menjelaskan, orangtua jelas punya hak untuk mengatur anak. Bahkan mereka berkewajiban untuk membimbing anaknya memilih jalan terbaik di sepanjang hidupnya. Namun, membimbing tak selalu berarti mengendalikan dan menentukan. Ada fleksibilitas cara mendidik yang perlu diperhatikan, terutama menyangkut fase tumbuh kembang anak.

“Meski kedudukan orangtua adalah sebagai pemimpin, namun kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang seimbang, yang tawazun, yang proporsional. Sehingga orangtua perlu dicintai anak dengan ketaatan, dan anak dicintai orangtua dengan didengarkan pendapatnya,” jelas Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam, Al-Qudwah, Depok, ini.

Berkaitan dengan fase tumbuh kembang anak, Nurhamidah menjelaskan bahwa Islam hanya mengenal dua fase kehidupan yaitu para baligh dan baligh. Masa pra baligh tidak memunculkan konsekuensi beban tanggungjawab bagi seseorang, sementara masa baligh menuntut adanya kemampuan memikul beban tanggungjawab.

Nah, karena seseorang yang mampu memikul beban tanggungjawab diasumsikan telah matang secara fisik, emosi dan ruhani, maka orangtua sudah semestinya mendidik anak dengan pola yang tepat agar pada saat baligh anak sudah matang secara fisik, emosi dan ruhani pula.

Ketika masa prabaligh, anak memang masih cenderung ikut-ikutan, belum bisa memutuskan sendiri, maka orangtua bisa mengarahkan pilihan anak tetapi dengan tetap membuka peluang alternatif pada pilihan itu.

“Memilih sekolah misalnya, orangtua memang harus mencarikan yang terbaik, orangtua punya ukuran. Tetapi tetap beri anak kesempatan memilih mana yang memunculkan kenyamanan bagi dirinya, lewat berbagai alternatif. Kalau ada beberapa pilihan, pada akhirnya anak tetap punya kesempatan ‘memilih sendiri’ meski semua sudah ada dalam koridor terbaik pilihan orangtua.”

Bila sejak kecil dibiasakan memperoleh alternatif, anak pun terasah untuk berpikir nalar, memutuskan dengan pertimbangan dan menghitung untung rugi, meski awalnya masih berada di dalam kerangka pilihan orangtua.

Sesekali gagal tak mengapa
Bagaimana dengan kekhawatiran orangtua mengenai kegagalan?
“Tak apa-apa bila kita membiarkan anak sesekali gagal atau salah. Jangan langsung turun tangan membantu, mengatasi atau membela. Sebab anak perlu belajar bertanggungjawab atas pilihan dan belajar menerima konsekuensi atas perilakunya sendiri,” tegas Rustika Thamrin, seraya menambahkan, “Yang penting kita sudah mengarahkan anak secara perlahan-lahan, membiasakan berdialog pada anak tentang konsekuensi, dan kegagalan itu bukan hal-hal prinsip seperti terjerumus pergaulan bebas dan sejenisnya.”

Rustika lantas mencontohkan, bila anak berkeras ingin nonton bola yang jam tayangnya larut malam, dialogkan apa konsekuensinya; misalnya bangun bisa kesiangan lalu terlambat sekolah. Bila anak yakin bisa mengatasi bangun kesiangan ini dan ternyata tetap saja bangun kesiangan, jangan bantu anak dengan tergopoh-gopoh menyiapkan ini itu.

“Jangan panik, melainkan biarkan saja semua berjalan sebagaimana hari biasa. Tetap mandi, makan, dan semua disiapkan anak sendiri, tanpa dibantu. Karena anak perlu membiasakan diri menghadapi konsekuensi pilihannya.”

Nurhamidah pun berpandangan serupa, “Jangan mudah marah atau menyalahkan anak. Apalagi pada anak yang masih prabaligh, dimana pilihannya sebenarnya merupakan bagian dari alternatif pilihan orangtua. Maka konsekuensi kegagalan ataupun kesalahan pun tentu harus dibiasakan untuk diterima baik oleh anak maupun orangtua.”

Lebih lanjut, lulusan Ushuludin Universitas Al-Azhar Kairo ini juga menyarankan orangtua untuk selalu mengupayakan review setiap kali terjadi sebuah kegagalan. “Apakah orangtua sudah membimbing anak sebelumnya? Apakah anak sudah cukup diberi fasilitas untuk bisa optimal menjalani pilihannya? Apakah anak memang sudah cukup maksimal berikhtiar?”
Bahkan, kalaupun semua jawaban berujung pada kata sudah namun masih saja terjadi kegagalan, Nurhamidah tetap meminta orangtua meninggikan positive thinking dan husnuzhon, sebab, bisa jadi, kegagalan itu hanyalah sebentuk ujian keimanan bagi ibu, bagi anak atau bagi keduanya. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment