Monday, 23 June 2014

Politik & Pemimpin

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Banyak ragamnya, banyak budayanya, juga didapati berbagai agama. Karena itu banyak peneliti menyatakan Indonesia bangsa yang unik, karena keanekaragamannya. Lantaran  keragaman yang dimiliki,  itu tak sedikit pula yang memperkirakan bahwa Indonesia bakal mudah terpecah belah. Apalagi, dalam salah satu teori anthropologi dikatakan, sebuah bangsa diwujudkan atas dasar kesatuan budaya.
Nyatanya, sampai detik ini bangsa Indonesia tetap utuh, sekalipun disana-sini muncul riak- riak besar dan kecil dalam pemantapan negara bangsa yang majemuk. Sebentar lagi bangsa ini akan menentukan pilihan kepada siapa pemimpin berikutnya 5 tahun mendatang. Siapakah yang menjadi berikutnya? Siapakah yang ditakdirkan untuk memimpn negeri besar ini?


Ada beberapa hal menarik tentang politik dan pemimpin dalam Islam. Pada suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari meminta kepada Rasulullah SAW agar diangkat menjadi pejabat. Tapi, Nabi SAW menolaknya.Sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu, kepadanya Nabi SAW berkata, “Tidak, Abu Dzar, engkau orang lemah. Ketahuilah, jabatan itu amanah. Ia kelak di hari kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan benar dan melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan benar pula.” (HR Bukhari).
Imam Nawawi menyebut hadis di atas merupakan pedoman dasar dalam berpolitik. Politik dapat menjadi sumber petaka bagi orang yang tidak mampu dan tidak bertanggung jawab.Sebaliknya, kata Nawawi, politik dapat pula menjadi ladang pengabdian dan amal saleh yang subur bagi orang yang mampu dan bertanggung jawab. Politik (kekuasaan) bukan sesuatu yang buruk. Ia ibarat pisau bermata dua: bisa baik dan buruk.

Ia menjadi baik dengan 3  syarat, seperti disebut dalam hadist di atas, yaitu berada di tangan orang yang tepat (capable), diperoleh dengan cara yang benar (acceptable), dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (responsible).

Sayangnya, dalam percaturan politik, orang kerap hanya bicara satu hal, yaitu bagaimana merebut kekuasaan dan mencapai tahta, bagaimana memunculkan segala cara strategi menghipnotis rakyat untuk kepentingan sesaat. Bukan untuk bagaimana mempergunakan kekuasaan itu serta mempertanggungjawabkannya kepada rakyat, dan terlebih lagi kepada Tuhan, Allah SWT. Diakui, kuasa (tahta) memang menggiurkan. Sebab, dengan tahta (kekuasaan), orang membayangkan dapat mencapai semua impian dan keinginannya. Bahkan yang belum sempat terbayang-pun, maka angaan-angan akan mengantri menyusul untuk diwujudkan. Menurut Imam Ghazali, dibanding harta, tahta jauh lebih menggoda.
Ada tiga alasan mengapa demikian. Pertama, kuasa (tahta) dapat menjadi alat (wasilah) untuk memperbanyak harta. Dengan tahta, seorang bisa memperkaya diri. Tidak demikian sebaliknya. Orang yang telah menghabiskan seluruh hartanya, tidak dengan sendirinya ia bisa mencapai tahta.Kedua, pengaruh kekuasaan relatif lebih kuat dan lebih lama. Harta, kata Imam Ghazali, bisa hilang karena dicuri atau berkurang karena inflasi. Maka terbukti sudah salah satu alasan sebagian manusia berlomba mendapatkan kekuasaan dan kemudian berusaha mati-matian melanggengkan posisinya.
Tidak demikian dengan kekuasaan. Kekuasaan dalam arti pengaruh seorang pemimpin di hati para pengikut dan pendukungnya, tak akan pernah hilang dan berkurang. Ketiga, kekuasaan menimbulkan dampak publikasi dan popularitas yang sangat luas. Begitu seorang memenangkan pertarungan PEMILU ataupun PILPRES, misalnya, maka namanya akan terkerek tinggi.Dalam sekejap, ia akan dikenal dan tersohor di seluruh negeri, bahkan di seluruh dunia. Tak heran bila kekuasaan terus diburu dan diperebutkan oleh manusia sepanjang masa.

فَقَالُوا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (٨٥)وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
"Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zhalim, dan selamatkanlah kami dengan curahan rahmat-Mu dari tipu daya orang- orang yang kafir." (Qs. Yûnus: 85-86).

Ya Tuhanku, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui hakikatnya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampunan serta tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk golongan orang-orang yang merugi." (QS. Hûd: 47)

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

"Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini." (QS. Al-Kahfi: 10)

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي (٢٥)وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي (٢٦)وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي

"Ya Tuhan, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, agar mereka mengerti perkataanku." (QS. Thâha: 25-27)

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

"Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah pula aku secara keluar yang benar. Dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan (pemimpin) yang menolong." (QS. Al-Isrâ': 80).

No comments:

Post a Comment