BERIKANLAH generasi bangsa ini kepercayaan, harapan dan
kebanggaan, maka mereka akan memiliki gairah--antusiasme dan
optimisme-- tinggi dalam membangun negerinya menuju masa depan yang
lebih baik.
***
BERFIKIR positif dan waras untuk negeri ini , kadang justru membuat jiwa kita menjadi kurang (tidak) waras! Itulah Indonesia, negeri bersar dengan aneka keunggulan dan kekayaan—alam, sosial dan budaya-- nan superlative. Sayang, sejarah perjalanannya justru selalu dirundung malang karena ulah keserakahan dan keculasan “instink-instink kuasa” para elitenya.
“Instink-instink kuasa” yang campur aduk dengan motif, kepentingan, status, gengsi dan harga diri serta intrik-intrik, keserakahan dan keculasan terus menjadi drama abadi dan biang kerok kebermasalahan neurotik kekuasaan negeri ini yang tak kunjung habis ditafsir dan dimaknai. Poros-poros kekuatan dalam negeri—tidak jarang berkolaborasi (disetir) kekuatan asing yang hegemonik— terus berusaha mendesakkan hegemoni kepentingan subyektifnya. Dampaknya perjalanan sejarah negeri ini terus dilanda konflik suksesi.
“Secara nasional, entah kebetulan atau tidak kemunculan pemimpin nasional Indonesia dilatarbelakangi krisis dan revolusi politik. Bung Karno, pemimpin besar revolusi muncul dari tuntutan revolusi fisik merebut kemerdekaan. Lalu Soeharto, pemegang tahta presiden berusia tiga dekade lebih muncul akibat tragedi berdarah G/30/S PKI 1965” (Umbu Pariangu, 0808pin1.html;25/8/2005) Bergulirnya reformasi, menunjukkan realitas sosial-politik yang chaos. “Kekerasan, politik uang dan korupsi mendominasi kehidupan politik Indonesia. Peristiwa tragis kerusuhan disertai penjarahan, penganiayaan, pembunuhan dan perkosaan (Mei 1998) Kekerasan dan konflik antar etnis/ agama (Pontianak, Sampit, Ambon, Poso). meninggalkan kurban, trauma, pengungsian, penderitaan berkepanjangan. Semua kekerasan itu tentu bukan peristiwa insidental belaka. Peristiwa tragis itu, tidak lepas dari praktik politik kekuasaan. Sulit untuk tidak mengaitkan tragedi tersebut dengan pertarungan kekuasaan. (Dr. Haryatmoko. 2003: ix)
Kondisi ini mustinya menjadi renungan siapapun yang masih peduli dan memiliki hubungan dengan negeri ini. Karena setiap krisis, ujungnya rakyat menjadi kurban. Setiap jelang pergantian kepemimpinan atau pejabat nasional apakah lewat sistem Pemilu penuh rekayasa ala Orde Baru atau Pemilu demokratis sekalipun-- seperti tahun 1955 atau era reformasi—kredibilitas rakyat hanya (di)penting(kan) sebagai legitimasi kekuasaan an-sich. Selebihnya, ketika kekuasaan diraih, rakyat kembali ditinggalkan. Dan menanggung nasibnya kembali tersubordinasi kekuasaan.
Kotak Pandora Reformasi
Situasi dan kondisi Indonesia dewasa ini (ubahnya mitologi Yunani) sedang dilanda sindrom “Kotak Pandora Reformasi”. Filosofi reformasi, keinginan muluk mencapai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik, terciptanya masyarakat madaniah, adil-makmur dan tata titi tentrem kerta raharja, baldatun toyibatun wa rabbun ghafur, yang diidealkan menjadi cita ideal yang kian utopis. Sebab demi “kotak Pandora Reformasi” itu terbuka, yang terjadi justru sebaliknya, aneka borok, penyakit, krisis kepemimpinan, nilai moral dan etik serta edukasi merecoki masyarakat dan bangsa Indonesia. Demokratisasi membiak menjadi mobokrasi, etos kerja keras jadi “aji mumpung” (euphoria). Belum lagi bencana demi bencana—alam dan kemanusiaan— tak henti menghajar bangsa ini. Muara dekadensi kian transparan membayangi nasib dan masa depan bangsa.
Kotak Pandora efek terjadi, pasalnya, lewat reformasi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara mendadak berubah, tak urung menyebabakan krisis nilai dan kepercayaan (trust) rakyat pada “pemimpin”. Utamanya kepada semua organisasi penyelenggara birokrasi pemerintahan. Di mata rakyat, Negara sering absen. Rakyat ubahnya anak ayam kehilangan induk. Rakyat kehilangan pegangan moral bernama “kepercayaan, harapan dan kebanggaan serta harga diri bangsanya”, yang seharusnya dipresentasikan pemimpinnya.
Sejak reformasi, Indonesia mengalami krisis pemimpin akut. Yakni krisis panutan dan keteladanan. Pejabat, aparat dan birokrat memang nyata ada. Tetapi ia hanya hadir bersama formalitas, protokoler dan rumbai-rumbai kebesaran statusnya. Pejabat, dengan citranya tak lebih hanya tanda atau lambang kehormatan negara yang bertugas menyelenggarakan selebrasi negara an-sich. Mereka tidak sempat memikirkan nasib rakyat dan masa depan bangsa. Apalagi mewarnai dan merubah jalannya sejarah. Pejabat negara hanya orang yang ditetapkan/ diputuskan atas dasar kesepakatan. Tidak jarang atas dasar konspirasi. Ia adalah anak kandung citra, kepentingan dan kekuatan. Dalam Pemilu, kekuatan materi kadang justru paling dominan menentukan kemenangan.
Lain pemimpin, ia adalah orang yang terpilih atau ditakdirkan zaman. Ia adalah anak emas atau anak kandung sejarah yang dilahirkan lewat kebatinan masyarakat dan situasi zaman. Pemimpin sejati lahir dari rahim masyarakat dengan segala kegelisahan, harapan, ketakutan, impian, kemegahan dan kejumudannya. Antara pemimpin dan yang dipimpin berada di dalam kosmis sama dan dalam garis orbit searah.
Adanya krisis kepemimpinan, wajar jika kepercayaan, harapan dan kebanggaan rakyat berada di titik nadir. Padahal hanya dengan kepercayaan, rakyat dapat memelihara harapan akan kesejahteraan dan kemakmuran akan nasib dan hari depan bangsanya. Sementara hanya dengan harapan, sebuah kepercayaan, antusiasme dan optomisme (etos kerja dan mentalitas kompetitif) yang progresif membangun negerinya menuju masa depang lebih baik, bisa dibangunkan.
Sedang hanya dengan kepercayaan, etos kerja dan mentalitas kompetitif itu, muaranya menghasilkan prestasi yang dibanggakan. Dan hanya kebanggaanlah yang menumbuhkan (kembali) harga diri masyarakat dan bangsa. Artinya harapan, kebanggaan dan harga diri adalah sinergi simbiosis mutualis saling mengisi. Jika salah satu atau bahkan semuanya tidak ada, alamat akan rusaklah masa depan tatanan masyarakat sebuah negeri.
Presiden Ke 7
Dalam rangka membangun kepercayaan, harapan, kebanggaan dan harga diri itu, Pemilihan Presiden 2014, akan menentukan atau memilih sosok pemimpin atau presiden ke 7—{2014= 2+0+1+4=7}—demikian urgen. Ekspektasi atau harapan rakyat Indonesia, terhadap hadirnya sosok presiden ke 7 Indonesia, yang dihasilkan melalui mekanisme pemilihan Pilpres 2014, harus dapat melahirkan presiden yang berjiwa pemimpin dan bukan hanya sekedar “pejabat”, menjadi pertaruhan atau harga mati bagi nasib dan masa depan bangsa.
Itu sebabnya, sosok Presiden ke -7 Indonesia wajib memiliki prasarat, pertama mendapatkan dan sekaligus juga mampu memberikan kepercayaan (trust) rakyatnya. Istilah Jawanya “nguwongke” rakyat (Otto Sukatno CR; 2014:203-204). Yakni memberi penekanan nilai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, sebagaimana dalam sila ke dua (2) Pancasila, yang (seakan) tinggal slogan utopis. Masalah “keadilan dan keadaban”, bagi rakyat, sejatinya bukan hanya berurusan dengan distribusi materi. Lebih penting soal distribusi kepentingan dan nilai mentalitas. Dalam hal ini jika seorang pemimpin ingin mendapat kepercaya (trust) dari masyarakat, pertama-tama rakyat wajib di “uwongke”, sehingga mereka akan juga mepercayai dan meneladani bahkan membanggakan pemimpinnya.
Kedua, sanggup membangun harapan. Yakni memberikan arah ke mana harus bertindak, bekerja dan sekaligus kemana masa depan negeri ini dibawa atau diorientasikan. Menurut kriteria Ki Hadjar Dewantara dapat “Hambangun Karsa” Ketiga, sosok presiden ke 7, orang (pemimpin) yang sanggup memberikan kebanggaan, dengan prestasi dan kerja nyata, sehingga memberi keteladanan “ Asung Tuladha”. Rakyat puas melihat prestasi kerja sekaligus citra (wajah) diri presiden atau pemimpinnya. Muaranya keempat, dapat meningkatkan martabat dan harga diri masyarakat dan bangsa. Dimana kehadiran atau ketidakhadirannya tetap “Handayani”, memberi ruh dan semangat nasionalisme (kebangsaan). Bahwa bangsa ini tetap eksis dan berdaulat secara penuh dan mandiri. Dan kelima –ini prasarat wajib yang harus dimiliki sosok presiden ke 7—tidak korupsi. Karena korupsi menjadi bahaya paling latent di republik ini. Dengan tidak korupsi, kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, akan terjaga.Sehingga rakyat memiliki gairah--antusiasme dan optimisme-- tinggi dalam membangun negerinya menuju masa depan yang lebih baik.
***
BERFIKIR positif dan waras untuk negeri ini , kadang justru membuat jiwa kita menjadi kurang (tidak) waras! Itulah Indonesia, negeri bersar dengan aneka keunggulan dan kekayaan—alam, sosial dan budaya-- nan superlative. Sayang, sejarah perjalanannya justru selalu dirundung malang karena ulah keserakahan dan keculasan “instink-instink kuasa” para elitenya.
“Instink-instink kuasa” yang campur aduk dengan motif, kepentingan, status, gengsi dan harga diri serta intrik-intrik, keserakahan dan keculasan terus menjadi drama abadi dan biang kerok kebermasalahan neurotik kekuasaan negeri ini yang tak kunjung habis ditafsir dan dimaknai. Poros-poros kekuatan dalam negeri—tidak jarang berkolaborasi (disetir) kekuatan asing yang hegemonik— terus berusaha mendesakkan hegemoni kepentingan subyektifnya. Dampaknya perjalanan sejarah negeri ini terus dilanda konflik suksesi.
“Secara nasional, entah kebetulan atau tidak kemunculan pemimpin nasional Indonesia dilatarbelakangi krisis dan revolusi politik. Bung Karno, pemimpin besar revolusi muncul dari tuntutan revolusi fisik merebut kemerdekaan. Lalu Soeharto, pemegang tahta presiden berusia tiga dekade lebih muncul akibat tragedi berdarah G/30/S PKI 1965” (Umbu Pariangu, 0808pin1.html;25/8/2005) Bergulirnya reformasi, menunjukkan realitas sosial-politik yang chaos. “Kekerasan, politik uang dan korupsi mendominasi kehidupan politik Indonesia. Peristiwa tragis kerusuhan disertai penjarahan, penganiayaan, pembunuhan dan perkosaan (Mei 1998) Kekerasan dan konflik antar etnis/ agama (Pontianak, Sampit, Ambon, Poso). meninggalkan kurban, trauma, pengungsian, penderitaan berkepanjangan. Semua kekerasan itu tentu bukan peristiwa insidental belaka. Peristiwa tragis itu, tidak lepas dari praktik politik kekuasaan. Sulit untuk tidak mengaitkan tragedi tersebut dengan pertarungan kekuasaan. (Dr. Haryatmoko. 2003: ix)
Kondisi ini mustinya menjadi renungan siapapun yang masih peduli dan memiliki hubungan dengan negeri ini. Karena setiap krisis, ujungnya rakyat menjadi kurban. Setiap jelang pergantian kepemimpinan atau pejabat nasional apakah lewat sistem Pemilu penuh rekayasa ala Orde Baru atau Pemilu demokratis sekalipun-- seperti tahun 1955 atau era reformasi—kredibilitas rakyat hanya (di)penting(kan) sebagai legitimasi kekuasaan an-sich. Selebihnya, ketika kekuasaan diraih, rakyat kembali ditinggalkan. Dan menanggung nasibnya kembali tersubordinasi kekuasaan.
Kotak Pandora Reformasi
Situasi dan kondisi Indonesia dewasa ini (ubahnya mitologi Yunani) sedang dilanda sindrom “Kotak Pandora Reformasi”. Filosofi reformasi, keinginan muluk mencapai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik, terciptanya masyarakat madaniah, adil-makmur dan tata titi tentrem kerta raharja, baldatun toyibatun wa rabbun ghafur, yang diidealkan menjadi cita ideal yang kian utopis. Sebab demi “kotak Pandora Reformasi” itu terbuka, yang terjadi justru sebaliknya, aneka borok, penyakit, krisis kepemimpinan, nilai moral dan etik serta edukasi merecoki masyarakat dan bangsa Indonesia. Demokratisasi membiak menjadi mobokrasi, etos kerja keras jadi “aji mumpung” (euphoria). Belum lagi bencana demi bencana—alam dan kemanusiaan— tak henti menghajar bangsa ini. Muara dekadensi kian transparan membayangi nasib dan masa depan bangsa.
Kotak Pandora efek terjadi, pasalnya, lewat reformasi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara mendadak berubah, tak urung menyebabakan krisis nilai dan kepercayaan (trust) rakyat pada “pemimpin”. Utamanya kepada semua organisasi penyelenggara birokrasi pemerintahan. Di mata rakyat, Negara sering absen. Rakyat ubahnya anak ayam kehilangan induk. Rakyat kehilangan pegangan moral bernama “kepercayaan, harapan dan kebanggaan serta harga diri bangsanya”, yang seharusnya dipresentasikan pemimpinnya.
Sejak reformasi, Indonesia mengalami krisis pemimpin akut. Yakni krisis panutan dan keteladanan. Pejabat, aparat dan birokrat memang nyata ada. Tetapi ia hanya hadir bersama formalitas, protokoler dan rumbai-rumbai kebesaran statusnya. Pejabat, dengan citranya tak lebih hanya tanda atau lambang kehormatan negara yang bertugas menyelenggarakan selebrasi negara an-sich. Mereka tidak sempat memikirkan nasib rakyat dan masa depan bangsa. Apalagi mewarnai dan merubah jalannya sejarah. Pejabat negara hanya orang yang ditetapkan/ diputuskan atas dasar kesepakatan. Tidak jarang atas dasar konspirasi. Ia adalah anak kandung citra, kepentingan dan kekuatan. Dalam Pemilu, kekuatan materi kadang justru paling dominan menentukan kemenangan.
Lain pemimpin, ia adalah orang yang terpilih atau ditakdirkan zaman. Ia adalah anak emas atau anak kandung sejarah yang dilahirkan lewat kebatinan masyarakat dan situasi zaman. Pemimpin sejati lahir dari rahim masyarakat dengan segala kegelisahan, harapan, ketakutan, impian, kemegahan dan kejumudannya. Antara pemimpin dan yang dipimpin berada di dalam kosmis sama dan dalam garis orbit searah.
Adanya krisis kepemimpinan, wajar jika kepercayaan, harapan dan kebanggaan rakyat berada di titik nadir. Padahal hanya dengan kepercayaan, rakyat dapat memelihara harapan akan kesejahteraan dan kemakmuran akan nasib dan hari depan bangsanya. Sementara hanya dengan harapan, sebuah kepercayaan, antusiasme dan optomisme (etos kerja dan mentalitas kompetitif) yang progresif membangun negerinya menuju masa depang lebih baik, bisa dibangunkan.
Sedang hanya dengan kepercayaan, etos kerja dan mentalitas kompetitif itu, muaranya menghasilkan prestasi yang dibanggakan. Dan hanya kebanggaanlah yang menumbuhkan (kembali) harga diri masyarakat dan bangsa. Artinya harapan, kebanggaan dan harga diri adalah sinergi simbiosis mutualis saling mengisi. Jika salah satu atau bahkan semuanya tidak ada, alamat akan rusaklah masa depan tatanan masyarakat sebuah negeri.
Presiden Ke 7
Dalam rangka membangun kepercayaan, harapan, kebanggaan dan harga diri itu, Pemilihan Presiden 2014, akan menentukan atau memilih sosok pemimpin atau presiden ke 7—{2014= 2+0+1+4=7}—demikian urgen. Ekspektasi atau harapan rakyat Indonesia, terhadap hadirnya sosok presiden ke 7 Indonesia, yang dihasilkan melalui mekanisme pemilihan Pilpres 2014, harus dapat melahirkan presiden yang berjiwa pemimpin dan bukan hanya sekedar “pejabat”, menjadi pertaruhan atau harga mati bagi nasib dan masa depan bangsa.
Itu sebabnya, sosok Presiden ke -7 Indonesia wajib memiliki prasarat, pertama mendapatkan dan sekaligus juga mampu memberikan kepercayaan (trust) rakyatnya. Istilah Jawanya “nguwongke” rakyat (Otto Sukatno CR; 2014:203-204). Yakni memberi penekanan nilai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, sebagaimana dalam sila ke dua (2) Pancasila, yang (seakan) tinggal slogan utopis. Masalah “keadilan dan keadaban”, bagi rakyat, sejatinya bukan hanya berurusan dengan distribusi materi. Lebih penting soal distribusi kepentingan dan nilai mentalitas. Dalam hal ini jika seorang pemimpin ingin mendapat kepercaya (trust) dari masyarakat, pertama-tama rakyat wajib di “uwongke”, sehingga mereka akan juga mepercayai dan meneladani bahkan membanggakan pemimpinnya.
Kedua, sanggup membangun harapan. Yakni memberikan arah ke mana harus bertindak, bekerja dan sekaligus kemana masa depan negeri ini dibawa atau diorientasikan. Menurut kriteria Ki Hadjar Dewantara dapat “Hambangun Karsa” Ketiga, sosok presiden ke 7, orang (pemimpin) yang sanggup memberikan kebanggaan, dengan prestasi dan kerja nyata, sehingga memberi keteladanan “ Asung Tuladha”. Rakyat puas melihat prestasi kerja sekaligus citra (wajah) diri presiden atau pemimpinnya. Muaranya keempat, dapat meningkatkan martabat dan harga diri masyarakat dan bangsa. Dimana kehadiran atau ketidakhadirannya tetap “Handayani”, memberi ruh dan semangat nasionalisme (kebangsaan). Bahwa bangsa ini tetap eksis dan berdaulat secara penuh dan mandiri. Dan kelima –ini prasarat wajib yang harus dimiliki sosok presiden ke 7—tidak korupsi. Karena korupsi menjadi bahaya paling latent di republik ini. Dengan tidak korupsi, kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, akan terjaga.Sehingga rakyat memiliki gairah--antusiasme dan optimisme-- tinggi dalam membangun negerinya menuju masa depan yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment