Pendidikan adalah kebutuhan mutlak bagi sebagian besar manusia.
Perannya dalam kehidupan manusia telah banyak terbukti sebagai salah
satu faktor terbesar pendukung keberhasilan seseorang. Tidak heran
banyak orang menginvestasikan hartanya untuk pendidikan, dengan kata
lain mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memperoleh pendidikan
yang lebih baik.
Di Indonesia, pendidikan (dalam hal ini pendidikan akademis), diwajibkan untuk dipenuhi oleh warganya dalam kurun waktu 12 tahun (Program Wajib Belajar 12 Tahun). Hal ini menunjukkan sikap pemerintah Indonesia yang peduli akan pentingnya pendidikan bagi semua rakyatnya. Meski demikian, tampaknya sikap peduli ini tidak didukung oleh langkah-langkah perbaikan yang tepat bagi pendidikan di Indonesia yang ternyata mendapat predikat buruk di dunia internasional.
Fenomena ‘Bumi’ dan ‘Langit’ Pendidikan Indonesia
Survei penilaian pendidikan internasional yang dilakukan setiap tiga tahun oleh Programme International Student Assessment (PISA) telah berulang kali mencatatkan nama Indonesia dalam kelompok peringkat terendah sejak tahun 2000. Penilaian dilakukan melalui tiga rangkaian tes, yaitu tes membaca, matematika, dan ilmu alam terhadap sejumlah siswa sekolah berusia 15 tahun dari berbagai penjuru dunia. Ketiga tes tersebut terlihat sederhana, tetapi kenyataannya Indonesia menempati peringkat kedua terendah dari 65 negara yang mengikuti survei PISA pada 2012 lalu, lebih buruk dari peringkat tahun 2009, yaitu 57.
Murid di Indonesia cenderung ‘dimanjakan’ oleh kegiatan pembelajaran yang lebih didominasi oleh pengajar, apapun kurikulumnya. Belum lagi jam belajar yang terbilang singkat, yaitu ± 8 jam, dibandingkan dengan di negara maju lain yang mencapai ± 14 jam. Di beberapa sekolah bahkan hanya mencapai ± 5 jam dikarenakan para murid harus menggunakan ruang kelas secara bergantian atau karena minimnya jumlah pengajar. Kekurangan sistem pendidikan dan fasilitas belajar di sana-sini inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh para murid bermotivasi belajar rendah untuk semakin menjauhkan diri dari dunia pendidikan.
Hal yang menarik dalam pendidikan Indonesia adalah adanya sisi lain yang sangat bertolak belakang dengan sisi gelap ini. Di saat kebanyakan murid masih asyik berebut keluar kelas saat bel istirahat berbunyi, ribuan murid Indonesia di luar sana sibuk berebut gelar pertama di berbagai kejuaraan sains di taraf nasional maupun internasional. Tidak sedikit juga yang memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar negeri melalui jalur beasiswa ataupun pertukaran pelajar setiap tahunnya dan bahkan mendapat penghargaan sebagai murid terbaik saat berada di negeri orang.
Tidak berlebihan bila Indonesia dikatakan sebagai ‘langganan’ juara olimpiade internasional. Hampir setiap kejuaraan akademis internasional selalu menempatkan Indonesia dalam deretan juara. Di luar itu, masih terdapat segudang prestasi lain yang mungkin tidak terekspos secara luas layaknya kejuaraan yang disebutkan sebelumnya. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa pernah ada salah satu murid berprestasi Indonesia mengikuti program pertukaran pelajar SMA ke Maryland dan mendapat Honor Roll (GPA 4 dari skala 4) untuk dua semester berturut-turut selama berada di sana. Mungkin tidak banyak juga yang pernah mendengar bahwa seorang mahasiswa Indonesia telah berhasil menyelesaikan studi program integrasi S2-S3 (normalnya diselesaikan dalam 5 tahun) hanya dalam kurun waktu 3,5 tahun di Korea Selatan.
Sayangnya, prestasi membanggakan yang telah disumbangkan oleh anak-anak cemerlang Indonesia tersebut tidak lantas ‘menutupi’sisi gelap dunia pendidikan Indonesia di mata internasional. Indonesia masih dianggap sebagai negara yang mutu pendidikannya rendah dan memiliki sistem pendidikan yang kurang bagus. Kesenjangan di dunia pendidikan Indonesia ini membuat kita tidak tahu entah harus merasa bangga atau merasa malu menjadi bagian dari sistem pendidikannya.
Dua Sisi Mata Koin Pendidikan Indonesia: Mengapa Bisa?
Jawabannya sederhana saja, karena ketidakmerataan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Anak-anak Indonesia yang berprestasi sebagian besar cenderung berasal dari sekolah atau yayasan pendidikan yang berkualitas baik di Jawa atau sekolah-sekolah unggulan di pulau lainnya. Memang tidak sedikit pula terdapat anak berprestasi yang berasal dari sekolah di daerah-daerah terpencil di Indonesia, tetapi anak-anak tersebut pun baru bisa mencetak prestasi yang lebih besar setelah mendapat dukungan dan bimbingan dari lembaga–lembaga pemerhati pendidikan yang didirikan oleh pemerintah maupun swasta, bukan yang mereka peroleh dari sekolah lokal. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih bersifat variatif dan perbaikan-perbaikan yang dilakukan cenderung tidak merata.
‘Memperbaiki’ Fokus Perbaikan
Melihat kondisi kualitas pendidikan di Indonesia yang begitu variatif, tentu muncul ‘PR’ berikutnya, yaitu apa langkah jitu yang harus diambil untuk mengatasi permasalahan ini? Sebagai contoh, fokus perbaikan di Indonesia tidak semata dilakukan dengan menerapkan ujian nasional dengan tingkat kesulitan soal yang disamaratakan untuk seluruh murid di berbagai daerah, sebagai alat evaluasi kualitas pendidikan. Fokus perbaikan kualitas tingkat pendidikan di Indonesia bukan terletak pada penyetaraan bobot kesulitan soal ujiannya, melainkan pada penyetaraan kualitas pendidikan yang diterima para murid yang akan mengerjakan soal tersebut. Sebelum ujian nasional diterapkan, alangkah baiknya apabila kualitas pendidikan di Indonesia diperbaiki secara intensif terlebih dahulu. Apabila pelaksanaan ujian nasional dimaksudkan untuk mengevaluasi kualitas pendidikan di Indonesia, tentu sangat tidak adil untuk menjadikan kelulusan para murid sebagai objeknya. Evaluasi kualitas pendidikan lebih baik dilakukan dengan memulai pada tingkat lokal oleh pihak sekolah dan mengerucut sampai pada tingkat nasional. Simulasi-simulasi ujian dapat dilakukan di daerah-daerah dengan memulai dari standar soal paling mudah sampai pada standar nasional. Dari hasil evaluasi tersebut barulah kualitas pendidikan di Indonesia dapat dipetakan, kemudian ditetapkan standar nasional kualitas pendidikan yang disosialisasikan secara intensif ke seluruh sekolah di Indonesia. Saat kualitas pendidikan di Indonesia telah mencapai standar kemerataan tersebut, maka penyelenggaraan ujian nasional dengan soal yang seragam baru dapat dilaksanakan.
Lima Elemen Pendidikan
Fenomena ‘bumi’ dan ‘langit’ pendidikan Indonesia akan selalu menjadi misteri tanpa penyelesaian bila tidak ada kesungguhan dari berbagai pihak yang terkait di dalam sistemnya untuk ‘mengorek’ akar permasalahan secara lebih mendalam. Pemerintah, pengajar, sekolah, orang tua dan murid merupakan lima elemen utama dalam pendidikan yang diharapkan dapat bersinergi dengan baik dalam membuat perbaikan.
Murid sebagai sasaran pendidikan yang terkadang juga menjadi faktor penghambat pendidikan bagi mereka sendiri, memerlukan lebih dari sekedar dukungan material dari semua pihak. Dorongan dan motivasi untuk mengenyam pendidikan lebih penting daripada menyediakan sarana belajar selengkap-lengkapnya tanpa adanya dukungan moral. Pemerintah sepatutnya menjadi pendukung para murid melalui kebijakan-kebijakan terkait pendidikan yang tidak ‘menekan’ mental anak tetapi menciptakan suasana pendidikan yang sarat tantangan, membangkitkan semangat, dan kompetitif. Sekolah bertugas untuk menciptakan lingkungan belajar yang edukatif dan menghapus segala bentuk kegiatan yang mengganggu kemajuan pendidikan murid. Pengajar harus mampu membangun hubungan emosional yang positif dengan para murid untuk menumbuhkan semangat belajar yang lebih tinggi. Terakhir orang tua harus menjadi figur yang mampu membangkitkan motivasi anak untuk terus mengejar pendidikan melalui dukungan moral dan material secara seimbang.
Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi jarak yang memisahkan pendidikan di Indonesia menjadi ‘bumi’ dan ‘langit’. Bukankah alangkah indahnya apabila pendidikan di Indonesia terletak di ‘langit’ dan setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk ‘menembus lapisan langit’ yang tanpa batas? Seperti kata pepatah, only the sky is the limit.
Di Indonesia, pendidikan (dalam hal ini pendidikan akademis), diwajibkan untuk dipenuhi oleh warganya dalam kurun waktu 12 tahun (Program Wajib Belajar 12 Tahun). Hal ini menunjukkan sikap pemerintah Indonesia yang peduli akan pentingnya pendidikan bagi semua rakyatnya. Meski demikian, tampaknya sikap peduli ini tidak didukung oleh langkah-langkah perbaikan yang tepat bagi pendidikan di Indonesia yang ternyata mendapat predikat buruk di dunia internasional.
Fenomena ‘Bumi’ dan ‘Langit’ Pendidikan Indonesia
Survei penilaian pendidikan internasional yang dilakukan setiap tiga tahun oleh Programme International Student Assessment (PISA) telah berulang kali mencatatkan nama Indonesia dalam kelompok peringkat terendah sejak tahun 2000. Penilaian dilakukan melalui tiga rangkaian tes, yaitu tes membaca, matematika, dan ilmu alam terhadap sejumlah siswa sekolah berusia 15 tahun dari berbagai penjuru dunia. Ketiga tes tersebut terlihat sederhana, tetapi kenyataannya Indonesia menempati peringkat kedua terendah dari 65 negara yang mengikuti survei PISA pada 2012 lalu, lebih buruk dari peringkat tahun 2009, yaitu 57.
Murid di Indonesia cenderung ‘dimanjakan’ oleh kegiatan pembelajaran yang lebih didominasi oleh pengajar, apapun kurikulumnya. Belum lagi jam belajar yang terbilang singkat, yaitu ± 8 jam, dibandingkan dengan di negara maju lain yang mencapai ± 14 jam. Di beberapa sekolah bahkan hanya mencapai ± 5 jam dikarenakan para murid harus menggunakan ruang kelas secara bergantian atau karena minimnya jumlah pengajar. Kekurangan sistem pendidikan dan fasilitas belajar di sana-sini inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh para murid bermotivasi belajar rendah untuk semakin menjauhkan diri dari dunia pendidikan.
Hal yang menarik dalam pendidikan Indonesia adalah adanya sisi lain yang sangat bertolak belakang dengan sisi gelap ini. Di saat kebanyakan murid masih asyik berebut keluar kelas saat bel istirahat berbunyi, ribuan murid Indonesia di luar sana sibuk berebut gelar pertama di berbagai kejuaraan sains di taraf nasional maupun internasional. Tidak sedikit juga yang memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar negeri melalui jalur beasiswa ataupun pertukaran pelajar setiap tahunnya dan bahkan mendapat penghargaan sebagai murid terbaik saat berada di negeri orang.
Tidak berlebihan bila Indonesia dikatakan sebagai ‘langganan’ juara olimpiade internasional. Hampir setiap kejuaraan akademis internasional selalu menempatkan Indonesia dalam deretan juara. Di luar itu, masih terdapat segudang prestasi lain yang mungkin tidak terekspos secara luas layaknya kejuaraan yang disebutkan sebelumnya. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa pernah ada salah satu murid berprestasi Indonesia mengikuti program pertukaran pelajar SMA ke Maryland dan mendapat Honor Roll (GPA 4 dari skala 4) untuk dua semester berturut-turut selama berada di sana. Mungkin tidak banyak juga yang pernah mendengar bahwa seorang mahasiswa Indonesia telah berhasil menyelesaikan studi program integrasi S2-S3 (normalnya diselesaikan dalam 5 tahun) hanya dalam kurun waktu 3,5 tahun di Korea Selatan.
Sayangnya, prestasi membanggakan yang telah disumbangkan oleh anak-anak cemerlang Indonesia tersebut tidak lantas ‘menutupi’sisi gelap dunia pendidikan Indonesia di mata internasional. Indonesia masih dianggap sebagai negara yang mutu pendidikannya rendah dan memiliki sistem pendidikan yang kurang bagus. Kesenjangan di dunia pendidikan Indonesia ini membuat kita tidak tahu entah harus merasa bangga atau merasa malu menjadi bagian dari sistem pendidikannya.
Dua Sisi Mata Koin Pendidikan Indonesia: Mengapa Bisa?
Jawabannya sederhana saja, karena ketidakmerataan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Anak-anak Indonesia yang berprestasi sebagian besar cenderung berasal dari sekolah atau yayasan pendidikan yang berkualitas baik di Jawa atau sekolah-sekolah unggulan di pulau lainnya. Memang tidak sedikit pula terdapat anak berprestasi yang berasal dari sekolah di daerah-daerah terpencil di Indonesia, tetapi anak-anak tersebut pun baru bisa mencetak prestasi yang lebih besar setelah mendapat dukungan dan bimbingan dari lembaga–lembaga pemerhati pendidikan yang didirikan oleh pemerintah maupun swasta, bukan yang mereka peroleh dari sekolah lokal. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih bersifat variatif dan perbaikan-perbaikan yang dilakukan cenderung tidak merata.
‘Memperbaiki’ Fokus Perbaikan
Melihat kondisi kualitas pendidikan di Indonesia yang begitu variatif, tentu muncul ‘PR’ berikutnya, yaitu apa langkah jitu yang harus diambil untuk mengatasi permasalahan ini? Sebagai contoh, fokus perbaikan di Indonesia tidak semata dilakukan dengan menerapkan ujian nasional dengan tingkat kesulitan soal yang disamaratakan untuk seluruh murid di berbagai daerah, sebagai alat evaluasi kualitas pendidikan. Fokus perbaikan kualitas tingkat pendidikan di Indonesia bukan terletak pada penyetaraan bobot kesulitan soal ujiannya, melainkan pada penyetaraan kualitas pendidikan yang diterima para murid yang akan mengerjakan soal tersebut. Sebelum ujian nasional diterapkan, alangkah baiknya apabila kualitas pendidikan di Indonesia diperbaiki secara intensif terlebih dahulu. Apabila pelaksanaan ujian nasional dimaksudkan untuk mengevaluasi kualitas pendidikan di Indonesia, tentu sangat tidak adil untuk menjadikan kelulusan para murid sebagai objeknya. Evaluasi kualitas pendidikan lebih baik dilakukan dengan memulai pada tingkat lokal oleh pihak sekolah dan mengerucut sampai pada tingkat nasional. Simulasi-simulasi ujian dapat dilakukan di daerah-daerah dengan memulai dari standar soal paling mudah sampai pada standar nasional. Dari hasil evaluasi tersebut barulah kualitas pendidikan di Indonesia dapat dipetakan, kemudian ditetapkan standar nasional kualitas pendidikan yang disosialisasikan secara intensif ke seluruh sekolah di Indonesia. Saat kualitas pendidikan di Indonesia telah mencapai standar kemerataan tersebut, maka penyelenggaraan ujian nasional dengan soal yang seragam baru dapat dilaksanakan.
Lima Elemen Pendidikan
Fenomena ‘bumi’ dan ‘langit’ pendidikan Indonesia akan selalu menjadi misteri tanpa penyelesaian bila tidak ada kesungguhan dari berbagai pihak yang terkait di dalam sistemnya untuk ‘mengorek’ akar permasalahan secara lebih mendalam. Pemerintah, pengajar, sekolah, orang tua dan murid merupakan lima elemen utama dalam pendidikan yang diharapkan dapat bersinergi dengan baik dalam membuat perbaikan.
Murid sebagai sasaran pendidikan yang terkadang juga menjadi faktor penghambat pendidikan bagi mereka sendiri, memerlukan lebih dari sekedar dukungan material dari semua pihak. Dorongan dan motivasi untuk mengenyam pendidikan lebih penting daripada menyediakan sarana belajar selengkap-lengkapnya tanpa adanya dukungan moral. Pemerintah sepatutnya menjadi pendukung para murid melalui kebijakan-kebijakan terkait pendidikan yang tidak ‘menekan’ mental anak tetapi menciptakan suasana pendidikan yang sarat tantangan, membangkitkan semangat, dan kompetitif. Sekolah bertugas untuk menciptakan lingkungan belajar yang edukatif dan menghapus segala bentuk kegiatan yang mengganggu kemajuan pendidikan murid. Pengajar harus mampu membangun hubungan emosional yang positif dengan para murid untuk menumbuhkan semangat belajar yang lebih tinggi. Terakhir orang tua harus menjadi figur yang mampu membangkitkan motivasi anak untuk terus mengejar pendidikan melalui dukungan moral dan material secara seimbang.
Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi jarak yang memisahkan pendidikan di Indonesia menjadi ‘bumi’ dan ‘langit’. Bukankah alangkah indahnya apabila pendidikan di Indonesia terletak di ‘langit’ dan setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk ‘menembus lapisan langit’ yang tanpa batas? Seperti kata pepatah, only the sky is the limit.
No comments:
Post a Comment