James W Burn dalam bukunya meraih Pulitzer Leadership, mengemukakan:
”salah satu kerinduan paling universal dalam zaman ini adalah kerinduan
akan kepemimpinan yang memikat (compeling) dan kreatif. Para pemimpin
raksasa telah melintas cakrawala budaya, politik dan intelektual kita.
Sebagai pengikut, kita mencintai dan mengecam mereka. kita berbaris
untuk mereka dan berperang melawan mereka. Kita mati demi mereka dan
kita membunuh sebagian mereka.” Kita tak dapat mengabaikan mereka”,
karena itu, pemerintahan harus bisa membangun dirinya menjadi
pemerintahan yang memikat hati rakyat dan kreatif melahirkan kebijakan
populis. Negeri ini telah begitu banyak melahirkan berjuta-juta wajah
kemiskinan. Wajah kemiskinan yang bukan hanya sekadar pendapatan rendah.
Namun juga wajah merefleksikan kondisi pendidikan, pelayanan publik dan
kesehatan yang buruk, partisipasi budaya sangat rendah, akses
informasi, ketidak mampuan menegakkan hak-hak asasi manusia.
Adakah pemimpin seperti demikian? Diskursus kepemimpinan memang sangat menarik sekali bak magnet, banyak orang berbicara tentang itu, seperti kata orang kepemimpinan itu adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Kaum eksistensialis mengatakan, menjadi pemimpin itu bukan soal kecerdasan, kharisma, komunikasi, tampilan, dan segala macam atribut yang biasa dilekatkan pada figur pemimpin. Disebut pemimpin atau tidak ini adalah soal ada atau tidaknya yang mengikuti. Hadirnya pengakuan dan kepengikutan itu yang mengubah seseorang jadi pemimpin. Menjadi pemimpin adalah soal pengakuan dari yang dipimpin, sebuah rumusan sederhana yang sering terlupakan.
Bagi kaum moralis sendiri mengatakan pemimpin adalah hati yang tulus, tidak melakukan sesuatu untuk tujuan sempit. Bagi orang yang rindu terhadap perubahan maka mereka megatakan, bahwa pemimpin itu adalah agen perubahan, sebab dialah yang menentukan ke arah mana sebuah organisasi dibawa. Idealnya sebuah organisasi meninggalkan yang tidak baik di masa lalu, dan meneruskan atau bahkan mengembangkan yang sudah baik.
Tak sedikit juga kata pepatah bjiak mengatakan kepemimpinan itu adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia. Dunia tanpa pemimpin adalah dunia yang kacau. Seorang pemimpin besar adalah seorang yang menjaga komunikasi dengan bawahannya. Tidak semua orang mampu melihat potensi dalam dirinya. Tapi seorang pemimpin mampu melihat potensi tersembunyi seluruh bawahannya, dan jika sebuah tim yang kacau balau masih bisa di rapikan maka itu adalah tantangan seorang pemimpin, demikian juga saat perubahan terjadi, pemimpin besar akan segera tahu bahkan saat perubahan itu masi sebesar biji padi. Bahwa pemimpin sejati itu adalah pemimpin yang mampu melahirkan ribuan pemimpin lainnya. Didunia ini banyak orang yang pusing untuk menentukan arah hidup. Itulah sebabnya mereka membutuhkan pemimpin yang dapat mengarahkannya. Jika anda mampu membahagiakan orang lain. Maka anda bisa menjadi seorang pemimpin. Semakin banyak yang mampu anda bahagiakan, semakin layak anda menjadi pemimpin. Seorang bawahan memiliki pandangan yang kecil. Seorang pemimpin mengabungkan pandangan yang kecil tadi dari orang-orangnya menjadi lebih besar. Meskipun organisasi di dipenuhi orang-orang yang hebat. Tetap mereka akan membutuhkan seorang pemimpin. Meskipun kehebatan orang-orang tadi ditambah 10 kali lipat, tetap mereka akan membutuhkan pemimpin.
Belum lagi kata para Ahli, beberapa diantaranya, menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Kemudian, menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan. Berikutnya menurut Prof. Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan. Serta menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu. Lalu menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
Tetapi kita lupa bahasa kesadaran kita tentang kekuasaan tak pernah terkait dengan kehendak mewujudkan keadilan. Tak ada yang bicara, berkuasa berarti pelayanan, sebaliknya berkuasa berarti minta pelayanan atau minta diagungkan. Kemorosotan kesadaran intelektual terlihat banyak para ahli berlomba-lomba mengemukakan pendapat, namun pendapat-pendapat itu justru membuat keadaan hidup semakin runyam dan sulit. Panggung politik hanya dipenuhi drama cerita kutil-mengutil terjadi secara kontinuitas (episode-per-episode).
Bilamana meminjam pemikiran dari seorang rohaniawan mengatakan, rakyat membutuhkan pemimpin yang dipercaya dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas kepemilikan tanah, kekayaan alam yang digunakan rakyat. Menurutnya selama ini rakyat selalu dibohongi, dan kekayaan alam yang seharusnya dinikmati oleh kepentingan masyarakat banyak, sebaliknya tergadaikan oleh kepentingan asing, sehingga kepercayaan rakyat selama ini kepada pemerintah memudar. “Pemerintah lebih berpihak kepada pemilik modal, alat pengusaha hitam dengan melakukan politik transaksional dengan menjual kekayaan alam atau tanah. Selama ini kedaulatan rakyat tidak tercapai,” ujar Romo Benny, dalam diskusi bertajuk “Suara Rakyat untuk Presiden Baru Indonesia, Jakarta, Selasa (sumber : jaringnews.com, 25/3/ 2014).
Dimana hukum tak lebih hanya mengusut bayang-bayang si pelaku KKN. Seolah hidup tidak terasa indah tanpa dimahkotai dengan perhiasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) membuat manusia menjadi penjilat untuk bersedia menjual diri kepada kekuasaan tanpa moral memperjual-belikan kepercayaan dan hedonisme merajalela serta budaya malu menghilang dari negeri ini.
Adakah pemimpin seperti demikian? Diskursus kepemimpinan memang sangat menarik sekali bak magnet, banyak orang berbicara tentang itu, seperti kata orang kepemimpinan itu adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Kaum eksistensialis mengatakan, menjadi pemimpin itu bukan soal kecerdasan, kharisma, komunikasi, tampilan, dan segala macam atribut yang biasa dilekatkan pada figur pemimpin. Disebut pemimpin atau tidak ini adalah soal ada atau tidaknya yang mengikuti. Hadirnya pengakuan dan kepengikutan itu yang mengubah seseorang jadi pemimpin. Menjadi pemimpin adalah soal pengakuan dari yang dipimpin, sebuah rumusan sederhana yang sering terlupakan.
Bagi kaum moralis sendiri mengatakan pemimpin adalah hati yang tulus, tidak melakukan sesuatu untuk tujuan sempit. Bagi orang yang rindu terhadap perubahan maka mereka megatakan, bahwa pemimpin itu adalah agen perubahan, sebab dialah yang menentukan ke arah mana sebuah organisasi dibawa. Idealnya sebuah organisasi meninggalkan yang tidak baik di masa lalu, dan meneruskan atau bahkan mengembangkan yang sudah baik.
Tak sedikit juga kata pepatah bjiak mengatakan kepemimpinan itu adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia. Dunia tanpa pemimpin adalah dunia yang kacau. Seorang pemimpin besar adalah seorang yang menjaga komunikasi dengan bawahannya. Tidak semua orang mampu melihat potensi dalam dirinya. Tapi seorang pemimpin mampu melihat potensi tersembunyi seluruh bawahannya, dan jika sebuah tim yang kacau balau masih bisa di rapikan maka itu adalah tantangan seorang pemimpin, demikian juga saat perubahan terjadi, pemimpin besar akan segera tahu bahkan saat perubahan itu masi sebesar biji padi. Bahwa pemimpin sejati itu adalah pemimpin yang mampu melahirkan ribuan pemimpin lainnya. Didunia ini banyak orang yang pusing untuk menentukan arah hidup. Itulah sebabnya mereka membutuhkan pemimpin yang dapat mengarahkannya. Jika anda mampu membahagiakan orang lain. Maka anda bisa menjadi seorang pemimpin. Semakin banyak yang mampu anda bahagiakan, semakin layak anda menjadi pemimpin. Seorang bawahan memiliki pandangan yang kecil. Seorang pemimpin mengabungkan pandangan yang kecil tadi dari orang-orangnya menjadi lebih besar. Meskipun organisasi di dipenuhi orang-orang yang hebat. Tetap mereka akan membutuhkan seorang pemimpin. Meskipun kehebatan orang-orang tadi ditambah 10 kali lipat, tetap mereka akan membutuhkan pemimpin.
Belum lagi kata para Ahli, beberapa diantaranya, menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Kemudian, menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan. Berikutnya menurut Prof. Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan. Serta menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu. Lalu menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
Tetapi kita lupa bahasa kesadaran kita tentang kekuasaan tak pernah terkait dengan kehendak mewujudkan keadilan. Tak ada yang bicara, berkuasa berarti pelayanan, sebaliknya berkuasa berarti minta pelayanan atau minta diagungkan. Kemorosotan kesadaran intelektual terlihat banyak para ahli berlomba-lomba mengemukakan pendapat, namun pendapat-pendapat itu justru membuat keadaan hidup semakin runyam dan sulit. Panggung politik hanya dipenuhi drama cerita kutil-mengutil terjadi secara kontinuitas (episode-per-episode).
Bilamana meminjam pemikiran dari seorang rohaniawan mengatakan, rakyat membutuhkan pemimpin yang dipercaya dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas kepemilikan tanah, kekayaan alam yang digunakan rakyat. Menurutnya selama ini rakyat selalu dibohongi, dan kekayaan alam yang seharusnya dinikmati oleh kepentingan masyarakat banyak, sebaliknya tergadaikan oleh kepentingan asing, sehingga kepercayaan rakyat selama ini kepada pemerintah memudar. “Pemerintah lebih berpihak kepada pemilik modal, alat pengusaha hitam dengan melakukan politik transaksional dengan menjual kekayaan alam atau tanah. Selama ini kedaulatan rakyat tidak tercapai,” ujar Romo Benny, dalam diskusi bertajuk “Suara Rakyat untuk Presiden Baru Indonesia, Jakarta, Selasa (sumber : jaringnews.com, 25/3/ 2014).
Dimana hukum tak lebih hanya mengusut bayang-bayang si pelaku KKN. Seolah hidup tidak terasa indah tanpa dimahkotai dengan perhiasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) membuat manusia menjadi penjilat untuk bersedia menjual diri kepada kekuasaan tanpa moral memperjual-belikan kepercayaan dan hedonisme merajalela serta budaya malu menghilang dari negeri ini.
No comments:
Post a Comment