Siapa tak bangga bisa masuk parlemen, parlemen itu adalah
sebuah badan legislatif, kata orang isinya orang-orang pintar. Tapi
sayang banyak orang pintar yang tak punya integritas, dan kita tentu
tidak ingin negeri ini dilumpuhkan oleh orang-orang pintar yang
menjadikan orang bodoh sebagai mainan bukan? Lalu apa bedanya politisi
pintar dengan politisi cerdas? Kata orang politisi pintar adalah
politisi sangat pintar memelintir orang lain, sedangkan politisi cerdas
adalah politisi yang jujur.
Bagi masyarakat berpikir kritis mereka akan terbahak-bahak melihat fenomena artis menjadi wakil rakyat atau artis menjadi kepala/wakil kepala daerah meski itu bukanlah bahasan yang baru. Artis dan politik atau pemerintahan bukanlah suatu hal yang baru juga. Bukan hanya sekarang ini namun sejak dulu. Sangat wajar jika menyangsikan kemampuan mereka dalam memimpin daerahnya. Figur-figur yang sering mereka lihat wara-wiri di televisi sebagai pemain sinetron, presenter, model, pemain film, atau bahkan hanya figur yang populer karena sensasinya di berbagai berita infotainment muncul dan mencalonkan diri sebagai pemimpin mereka di masa depan.
Fenomenal
Masih ingat kah, di Inggris Seorang sutradara film porno Anna Arrowsmith yang bertarung sebagai kandidat dari partai oposisi, Demokrat Liberal, untuk wilayah Kent, Gravesham, Inggris bagian selatan. Berita tentang pencalonan dirinya kontan menjadi berita utama di sejumlah surat kabar Inggris, akhir pekan lalu. Bahkan surat kabar yang dipandang terhormat seperti Times, memajang foto dirinya di halaman depannya. Arrowsmith, Direktur Pengelola Easy on the Eye Productions, mengatakan keputusannya banting setir ke politik adalah proses diversifikasi alami setelah bertahun-tahun berkampanye untuk meningkatkan hak-hak perempuan di industri film dewasa.
Kasus seperti ini tidak hanya di Inggris semata. Bahkan di banyak negara. Di AS, misalnya, bintang film porno Stormy Daniels juga mengincar kursi senator AS. Daniels bahkan mengakui sendiri, ia maju ke pencalonan karena ketenaran aksi mesum nya, bukan karena otak dan kemampuannya. “Siapapun yang belum mengenal saya, saya tebak Anda tak pernah mencarinya di Google sampai Anda pulang dari bekerja,” katanya tahun 2009 lalu. Bintang porno kelahiran Louisiana ini bertekad maju dalam perebutan kursi Senat AS untuk negara bagian Louisiana. Daniels bukanlah bintang porno pertama yang terjun ke panggung politik.
Dalam sejarah, kita mengenal Theodora si jelita, yang pernah menjadi Ratu di Byzantium sekitar tahun 500-an. Theodora ini pelacur jalanan, yang kemudian menjadi artis di panggung-panggung sandiwara erotis, dan memikat seorang putra mahkota dan akhirnya menikah dengannya. Karena ia berkepribadian kuat, ia justru lebih mendominasi sang suami dalam memimpin Byzantium. Kita juga mengenal Ibu Suri, Tsu Zhi, Janda Kaisar Xian Feng, yang semula hanya perempuan kebanyakan dan diangkat menjadi selir Kaisar. Kekuatan yang dimiliki membuat ia mampu berkarier dengan cepat, dan ketika suaminya meninggal, ia tampil menjadi kaisar perempuan pertama yang diktator, meskipun hanya bekerja di balik layar. Ada banyak perempuan yang berkarier di politik, seperti Ratu Shima dari Kalingga, Ratu Cleopatra dari Mesir, Ratu Bilqis dari Shaba’, hingga para Sultanah yang memimpin Aceh saat Aceh masih berdaulat sebagai sebuah kerajaan seperti Ratu Ilah Nur, Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. (sumber : harianjoglosemar.com, Jumat, 14/05/2010).
Panggung politik bukanlah arena bermain sandiwara. Seorang artis, yang telah terbiasa dengan kepura-puraan, dunia imajinasi serta fiksi, harus berani menanggalkan kepintarannya berseni peran. Dunia politik membutuhkan integritas moral dan kejujuran. Kita tentu tak mengharapkan jika para artis kemudian terjun ke dunia politik, dan ikut-ikutan terciprat kotornya lumpur politik lantas mereka menjadi koruptor-koruptor yang pintar bermain peran.
Silakan buka mata lebar-lebar cermati secara seksama munculnya nama politisi bermasalah kembali melenggang maju memperebutkan kursi legislatif. Hipotesis di atas memang bukanlah sebuah prakiraan politik defenitif. Namun hipotesis ini juga bukan sebuah analisis politik kosong. Tetapi, inilah dunia, dan inilah paradoks demokrasi! Sebagaimana yang dikhawatirkanPlato, alih-alih menjadi vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), jika terjadi pemilihan orang-orang yang tak berkompeten, demokrasi akan menjadi vox populi vox diaboli (suara rakyat suara setan). Saat keran kebebasan dibuka penuh, maka tak hanya potensi-potensi kebaikan yang menyeruak, namun juga berbagai kejadian menggelikan membuat perut mual. Dalam logika manusia, kenyataanya demokrasi membuat kita “tak habis pikir” seolah segala sesuatu “entah dipaksakan” yang tak mungkin secara kaca mata umum bisa menjadi mungkin. Dibelahan negara lain, ada seorang bekas pembuat sepatu yang tanpa mempunyai keahlian akademis ilmu politik dan tata negara menjadi wakil gubernur, namun nyatanya hal itu terjadi maka demikianlah demokrasi kenyataan terjadi.
Hampir dipastikan, partai politik begitu pragmatis merekrut calon angggota legislatif. Pragmatisme partai politik ini didasarkan atas realitas bahwa terjun dalam politik praktis atau berpartisipasi dalam pemilihan umum membutuhkan banyak uang. Dasar pemikiran inilah yang kerapkali menjadi tempat bersandar elit politik dimana pada gilirannya memberikan tempat yang istimewa bagi mereka berdompet tebal.
Aksi semacam ini hanya akan melahirkan bom waktu bagi partai politik. Dengan terus menyuburkan praktek semacam ini, maka wibawa partai akan terdepresiasi. Bahkan, penyandaran terhadap model interaksi politik yang ditampilkan, akan dengan sendirinya menjauhkan simpati masyarakat. Kenyataan demikian menunjukan bahwa elit politik hanya berjuang untuk memenuhi ambisi politik pribadi. Dan tentu lambat laun akan dicium masyarakat awam sebab harapan masyarakat untuk mempunyai wakil-wakilnya yang siap memperjuangkan aspirasi mereka di DPR tidak pernah kunjung datang. (sumber : gp-ansor.org, Selasa, 10 Maret 2009).
Bangsa kita sudah terlalu banyak disihir oleh pesona-pesona, dibuai oleh harapan-harapan dan janji-janji kosong. Sosok yang berdedikasi, mampu bekerja keras, berkorban dan benar-benar berjuang untuk rakyatnya, tentu lebih diharapkan menduduki tampuk kekuasaan, daripada sekadar sosok yang terbiasa dengan dunia glamor, senang berfoya-foya dan tak memiliki sense of crisis karena terlalu seringnya tenggelam dalam gebyar-gebyar kehidupan.
Akhirnya usai diskusi dikedai kopi, temanku tersebut berlalu ke mobilnya, di dalam perjalanan pulang sambil mendengarkan musik, terdengar lagu iwan fals menggema di ruangan mobil tersebut....Wakil rakyat seharusnya merakyat, Jangan tidur waktu sidang soal rakyat, Wakil rakyat bukan paduan suara, Hanya tau nyanyian lagu setuju”.
Bagi masyarakat berpikir kritis mereka akan terbahak-bahak melihat fenomena artis menjadi wakil rakyat atau artis menjadi kepala/wakil kepala daerah meski itu bukanlah bahasan yang baru. Artis dan politik atau pemerintahan bukanlah suatu hal yang baru juga. Bukan hanya sekarang ini namun sejak dulu. Sangat wajar jika menyangsikan kemampuan mereka dalam memimpin daerahnya. Figur-figur yang sering mereka lihat wara-wiri di televisi sebagai pemain sinetron, presenter, model, pemain film, atau bahkan hanya figur yang populer karena sensasinya di berbagai berita infotainment muncul dan mencalonkan diri sebagai pemimpin mereka di masa depan.
Fenomenal
Masih ingat kah, di Inggris Seorang sutradara film porno Anna Arrowsmith yang bertarung sebagai kandidat dari partai oposisi, Demokrat Liberal, untuk wilayah Kent, Gravesham, Inggris bagian selatan. Berita tentang pencalonan dirinya kontan menjadi berita utama di sejumlah surat kabar Inggris, akhir pekan lalu. Bahkan surat kabar yang dipandang terhormat seperti Times, memajang foto dirinya di halaman depannya. Arrowsmith, Direktur Pengelola Easy on the Eye Productions, mengatakan keputusannya banting setir ke politik adalah proses diversifikasi alami setelah bertahun-tahun berkampanye untuk meningkatkan hak-hak perempuan di industri film dewasa.
Kasus seperti ini tidak hanya di Inggris semata. Bahkan di banyak negara. Di AS, misalnya, bintang film porno Stormy Daniels juga mengincar kursi senator AS. Daniels bahkan mengakui sendiri, ia maju ke pencalonan karena ketenaran aksi mesum nya, bukan karena otak dan kemampuannya. “Siapapun yang belum mengenal saya, saya tebak Anda tak pernah mencarinya di Google sampai Anda pulang dari bekerja,” katanya tahun 2009 lalu. Bintang porno kelahiran Louisiana ini bertekad maju dalam perebutan kursi Senat AS untuk negara bagian Louisiana. Daniels bukanlah bintang porno pertama yang terjun ke panggung politik.
Dalam sejarah, kita mengenal Theodora si jelita, yang pernah menjadi Ratu di Byzantium sekitar tahun 500-an. Theodora ini pelacur jalanan, yang kemudian menjadi artis di panggung-panggung sandiwara erotis, dan memikat seorang putra mahkota dan akhirnya menikah dengannya. Karena ia berkepribadian kuat, ia justru lebih mendominasi sang suami dalam memimpin Byzantium. Kita juga mengenal Ibu Suri, Tsu Zhi, Janda Kaisar Xian Feng, yang semula hanya perempuan kebanyakan dan diangkat menjadi selir Kaisar. Kekuatan yang dimiliki membuat ia mampu berkarier dengan cepat, dan ketika suaminya meninggal, ia tampil menjadi kaisar perempuan pertama yang diktator, meskipun hanya bekerja di balik layar. Ada banyak perempuan yang berkarier di politik, seperti Ratu Shima dari Kalingga, Ratu Cleopatra dari Mesir, Ratu Bilqis dari Shaba’, hingga para Sultanah yang memimpin Aceh saat Aceh masih berdaulat sebagai sebuah kerajaan seperti Ratu Ilah Nur, Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. (sumber : harianjoglosemar.com, Jumat, 14/05/2010).
Panggung politik bukanlah arena bermain sandiwara. Seorang artis, yang telah terbiasa dengan kepura-puraan, dunia imajinasi serta fiksi, harus berani menanggalkan kepintarannya berseni peran. Dunia politik membutuhkan integritas moral dan kejujuran. Kita tentu tak mengharapkan jika para artis kemudian terjun ke dunia politik, dan ikut-ikutan terciprat kotornya lumpur politik lantas mereka menjadi koruptor-koruptor yang pintar bermain peran.
Silakan buka mata lebar-lebar cermati secara seksama munculnya nama politisi bermasalah kembali melenggang maju memperebutkan kursi legislatif. Hipotesis di atas memang bukanlah sebuah prakiraan politik defenitif. Namun hipotesis ini juga bukan sebuah analisis politik kosong. Tetapi, inilah dunia, dan inilah paradoks demokrasi! Sebagaimana yang dikhawatirkanPlato, alih-alih menjadi vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), jika terjadi pemilihan orang-orang yang tak berkompeten, demokrasi akan menjadi vox populi vox diaboli (suara rakyat suara setan). Saat keran kebebasan dibuka penuh, maka tak hanya potensi-potensi kebaikan yang menyeruak, namun juga berbagai kejadian menggelikan membuat perut mual. Dalam logika manusia, kenyataanya demokrasi membuat kita “tak habis pikir” seolah segala sesuatu “entah dipaksakan” yang tak mungkin secara kaca mata umum bisa menjadi mungkin. Dibelahan negara lain, ada seorang bekas pembuat sepatu yang tanpa mempunyai keahlian akademis ilmu politik dan tata negara menjadi wakil gubernur, namun nyatanya hal itu terjadi maka demikianlah demokrasi kenyataan terjadi.
Hampir dipastikan, partai politik begitu pragmatis merekrut calon angggota legislatif. Pragmatisme partai politik ini didasarkan atas realitas bahwa terjun dalam politik praktis atau berpartisipasi dalam pemilihan umum membutuhkan banyak uang. Dasar pemikiran inilah yang kerapkali menjadi tempat bersandar elit politik dimana pada gilirannya memberikan tempat yang istimewa bagi mereka berdompet tebal.
Aksi semacam ini hanya akan melahirkan bom waktu bagi partai politik. Dengan terus menyuburkan praktek semacam ini, maka wibawa partai akan terdepresiasi. Bahkan, penyandaran terhadap model interaksi politik yang ditampilkan, akan dengan sendirinya menjauhkan simpati masyarakat. Kenyataan demikian menunjukan bahwa elit politik hanya berjuang untuk memenuhi ambisi politik pribadi. Dan tentu lambat laun akan dicium masyarakat awam sebab harapan masyarakat untuk mempunyai wakil-wakilnya yang siap memperjuangkan aspirasi mereka di DPR tidak pernah kunjung datang. (sumber : gp-ansor.org, Selasa, 10 Maret 2009).
Bangsa kita sudah terlalu banyak disihir oleh pesona-pesona, dibuai oleh harapan-harapan dan janji-janji kosong. Sosok yang berdedikasi, mampu bekerja keras, berkorban dan benar-benar berjuang untuk rakyatnya, tentu lebih diharapkan menduduki tampuk kekuasaan, daripada sekadar sosok yang terbiasa dengan dunia glamor, senang berfoya-foya dan tak memiliki sense of crisis karena terlalu seringnya tenggelam dalam gebyar-gebyar kehidupan.
Akhirnya usai diskusi dikedai kopi, temanku tersebut berlalu ke mobilnya, di dalam perjalanan pulang sambil mendengarkan musik, terdengar lagu iwan fals menggema di ruangan mobil tersebut....Wakil rakyat seharusnya merakyat, Jangan tidur waktu sidang soal rakyat, Wakil rakyat bukan paduan suara, Hanya tau nyanyian lagu setuju”.
No comments:
Post a Comment