Tuesday, 3 June 2014

Membangun Pendidikan - Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Sudah Tercapaikah?

Mendekati pesta demokrasi tahun 2014 ini, banyak partai politik berlomba-lomba memenangkan calon presiden pilihan mereka. Tak tanggung-tanggung, mereka mengeluarkan dana milyaran bahkan mungkin ratusan juta rupiah hanya untuk berkampanye mempromosikan pilihannya. Namun terlepas dari itu semua, pertanyaan pun muncul. Ketika presiden Indonesia telah berganti, akankah kurikulum pendidikan negara juga berubah? Dan apakah pemimpin bangsa kita selanjutnya akan mecapai tujuan bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa?

Seperti kita ketahui, presiden Republik Indonesia kita saat ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Dan beliau telah menjabat menjadi presiden selama dua periode. Dalam arti lain, tentu tidak mungkin ia akan mencalonkan diri lagi dan tidak mungkin menjabat kembali menjadi presiden Republik Indonesia setelah masa jabatannya sudah habis.

Selama ia menjabat sebagai presiden, dunia pendidikan mengalami perombakan dengan diposisikannya Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan nasional. Adapun yang berubah ialah pada sistem ujian nasional dan dibuatnya kurikulum baru dengan nama kurikulum 2013. Belum lagi menteri sebelumnya yang menerapkan sistem RSBI pada beberapa sekolah.

Pada sistem ujian nasional, soal-soal ujian dibuat menjadi 20 paket yang berbeda. Namun, setelah saya dan teman-teman satu angkatan saya melalui ujian nasional tingkat Sekolah Menengah Pertama, ternyata soal tersebut sama persis isinya, hanya saja nomornya yang diacak. Menurut saya itu tidak efektif dan tetap tidak dapat menekan tingginya siswa mencontek. Seharusnya jika memang dibuat 20 paket soal, isinya pun berbeda tiap paketnya. Misalnya pada mata pelajaran matematika, walaupun pola soalnya sama, namun angkanya masih dapat diubah. Dan itu tergantung pada kinerja pembuat soal ujian nasional tersebut.
Peningkatan pengawasan pada ujian nasional juga sangat diperlukan. Karena selama ini masih banyak pengawas ruang ujian yang justru mengobrol dengan pengawas lain, tidur ketika mengawas, atau bahkan meninggalkan ruang ujian tanpa. Hal ini menyebabkan siswa menganggap remeh pengawas dan lebih leluasa untuk mencontek satu sama lain. Tidak heran jika mungkin banyak siswa yang bisa mendapat nilai ujian tinggi tanpa harus bersusah payah, yang bisa berpengaruh pada sang siswa yang nantinya menjadi curang dan koruptor muda baik korup waktu maupun material.

Memasuki tahun 2014 merupakan tahun perombakan pendidikan, dimana Indonesia mulai menegakkan sistem pendidikan dengan nama kurikulum 2013. Kurikulum ini menekankan pada konsep cara belajar siswa aktif, yang mana guru tidak lagi berbicara melulu secara panjang lebar didepan kelas. Siswa dituntut aktif dalam mencari dan mempelajari materi pelajaran secara mandiri dan tidak malu untuk bertanya tentang materi yang kurang jelas terhadap guru. Guru bukan lagi sebagai pengajar atau penyaji materi namun sebagai fasilitator bagi siswa. Tentu ini merupakan hal baru, baik bagi guru maupun siswa.

Ini merupakan tantangan untuk siswa yang harus tidak lagi bergantung pada guru. Siswa harus benar-benar aktif jika ingin mengerti akan materi yang dipelajarinya. Namun cukup sulit juga bagi sebagian murid yang sikapnya memang kurang responsif pada guru sejak awal, yang berakibat murid tidak bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan baik. Memang, di satu sisi, siswa mendapat banyak pengalaman dimana ia akan lebih mudah memahami materi pelajaran apabila ia dapat menemukannya sendiri. Ia akan belajar untuk berbicara didepan umum lewat pembelajaran dengan model presentasi saat pelajaran. Namun di sisi lain, mereka jujur mengeluh dengan beban pelajaran yang merekaa bawa. Belum lai keluhan siswa tentang yang kurang peduli terhadap muridnya. Mereka tidak hanya mendapat tekanan fisik dengan selalu pulang terlambat untuk mengerjakan tugas, namun juga tekanan batin dengan adanya orangtua yang mengharuskan anaknya untuk meraih nilai tertinggi supaya bisa bersaing di kelas, yang bisa menyebabkan anak stress dan depresi. Dengan ini, sebenarnya siapa yang harus disalahkan? Murid? Guru? Atau sistem?
Hal serupa juga berdampak pada guru. Dengan adanya kurikulum 2013, guru akan ekstra kerja dalam menilai murid. Kini, guru harus menilai secara detail siswa-siswinya. Tidak hanya secara akademis, namun juga kepribadian siswa itu sendiri. Secara otomatis, gurur harus hafal setiap kepribadian murid-muridnya yang diajarnya, terlebih apabila guru tersebut adalah wali kelas, maka ia harus mengetahui watak dan latar belakang murid-murid dikelas yang diampunya. Ini pun agak sulit bagi siswa yang jarang masuk ke kelas dan bertatap muka dan murid-muridnya sehingga ia tidak terlalu tahu betul kepribadian siswa-siswinya dan berakibat guru akan menilai murid dengan asal atau mungkin diniai tidak dengan keadaan sebenarnya. Tentu ini kurang adil apabila seorang guru menilai murid yang kelakuannya di kelas disebenarnya selalu terlambat masuk ke kelas dan selalu gaduh namun di dalam rapot akan nilai respon dan kedisiplinannya B. Ini merupakan korupsi kecil bukan?

Berlanjut kepada sistem RSBI yang baru-baru ini sudah dicabut dari sekolah. Pada dasarnya, sistem RSBI memberikan pembelajaran yang lebih mendalam di bidang bahasa inggris sebagai bahasa internasional. Memang di satu sisi RSBI mengajarkan siswa untuk lebih cakap dalam berbahasa inggris, namun kita lihat, selama RSBI berjalan di tiap sekolah, apakah tidak mengambil banyak biaya? Dari mulai buku paket pelajaran dengan dua bahasa dan belum lagi sarana dan prasarana lain. Tentu ini juga membuat pihak sekolah untuk ‘menyaring’ siswa berdasarkan dana yang dimiliki orangtuanya, bukan melalui kemampua akademisnya. Sehingga menurut saya kurang adil bagi beberapa anak yang tidak bisa memasuki sekolah berstandar RSBI hanya dikarenakan biaya yang tidak mencukupi. Apakah pengetahuan hanya sebatas uang? Namun, saya sangat bersyukur dengan adanya berita pencabutan RSBI pada beberapa sekolah oleh Mahfud MD yang khawatir akan terjadi kesenjangan sosial maupun ekonomi jika dilanjutkan.

Secara keseluruhan, pendidikan Indonesia merupakan pendidikan terburuk kedua di dunia. Lihatlah betapa rendahnya kualitas pendidikan negeri ini. Selama ini, murid hanya terpaku untuk menghafalkan materi tanpa memahami materi tersebut. Seolah-seolah, mereka sekolah hanya untuk formslitas dan mencari nilai semata, bukan mengambil pengetahuan dari itu. Seharusnya bukan sistem yang diubah, namun kualitas gurulah yang harus ditingkatkan. Kapan Indonesia akan mencapai tujuannya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa jika sistemnya saja selalu berubah-ubah? Semua tergantung pada  kita. Kita lah yang mengubah, dan kita pula yang akan mendapat hasil kerjanya. Tugas kita sekarang adalah memilih, ingin mendapat hasil kerja yang sempurna atau hanya apa adanya?

No comments:

Post a Comment