Akhir-akhir ini, para wakil rakyat kita yang duduk di parlemen selalu
menjadi sorotan masyarakat. Alasannya kompleks, mulai dari banyaknya
anggota DPR yang terjerat korupsi, kinerja yang buruk, suka bolos dan
tidur saat rapat hingga kebijakan-kebijakan DPR yang tidak merakyat.
Lakon politik yang mereka mainkan pun tak jarang lebih mendahulukan
kepentingan pribadi ketimbang kepentingan rakyat. Wajar sebagian besar
masyarakat mulai geram atas kinerja DPR yang seringkali mengecewakan
itu.
Masalah korupsi tentu bukan barang baru lagi di tubuh DPR. Hubungan intim antara DPR dan korupsi seakan tak terpisahkan lagi. Hal ini dibuktikan oleh hasil Survie Transparency International Indonesia (TII) pada tanggal 9 sampai 22 Februari 2014 yang menempatkan parlemen sebagai lembaga terkorup. Dengan angka 1 mewakili sama sekali tidak korup dan angka 5 sebagai yang terkorup, parlemen mendapat nilai rata-rata 4,33 persen disusul partai politik dan kepolisian yang masing-masing mendapat 3,88 persen dan 3,84 persen.
Padahal, kalau kita amati, gaji dan tunjangan anggota DPR Indonesia menempati peringkat tertinggi ke-4 dari gaji dan tunjangan parlemen di seluruh dunia. Dengan gaji dan tunjangan yang tinggi itu seharusnya korupsi tidak terjadi di tubuh DPR karena gaji yang mereka terima boleh dibilang sudah “mewah”. Sayangnya, realitas tidak seperti yang diharapkan, korupsi justru merajalela. Tampaknya gaji selangit itu masih tidak cukup, mereka masih saja menilap uang rakyatnya sendiri. Ini bukti bahwa sifat rakus sudah mewabah di kalangan DPR.
Yang lebih miris, tiga fungsi utama parlemen justru dijadikan lahan korupsi dan suap. Fungsi penganggaran yang memberikan kewenangan absolut bagi DPR seringkali dimanfaatkan untuk mencuri anggaran. Saat menjalankan fungsi pengawasan, terutama saat mengevaluasi kinerja eksekutif, DPR kerap melontarkan kritik keras dan tekanan yang ujung-ujungnya untuk meminta “pelicin”. Bahkan fungsi legislasi pun dijadikan lahan “dagang pasal”. Tentu kita masih ingat soal kisruh hilangnya sejumlah pasal RUU Anti Tembakau yang diduga ada campur tangan pengusaha rokok.
Anggota parlemen kita selama ini bahkan lebih suka memperjuangkan kemewaan dirinya. Lihatlah, mulai dari rencana pembangunan kompleks gedung baru yang dilengkapi fasilitas kebugaran, spa, perbelanjaan dan kolam renang, renovasi ruang rapat Badan Anggaran hingga renovasi toilet yang biayanya miliaran rupiah. Seringnya kunjungan kerja ke luar negeri yang sama sekali tidak jelas urgensinya. Belum lagi pengadaan mesin absensi sidik jari yang katanya agar anggota DPR semakin rajin, nyatanya tetap saja membolos.
Para wakil rakyat kita tampaknya hanya mengedepankan kepentingan pribadi alias menjadi alat dari hasrat subyektifnya sendiri. Padahal sebagai wakil rakyat semestinya mereka berwatak altruistik, dengan menempatkan kepentingan diri dan kelompoknya di bawah kepentingan rakyat yang lebih luas. Bukan berdiri di atas rakyat, tetapi mengabdikan diri di bawah kepentingan rakyat. Sayangnya, kalau kita lihat fenomena anggota parlemen selama ini, alih-alih memihak kepentingan rakyat, mereka justru berbuat korupsi, suap dan mewah-mewahan.
Kalau demikian kondisinya, ini sungguh menjadi pukulan telak bagi kita. Selama ini kita menganggap para DPR adalah orang-orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat, namun kenyataannya tak jauh beda dari kumpulan orang-orang yang hanya mengejar “isi perut”. Pragmatisme politik sungguh sudah mengakar kuat dalam diri mereka. Rasanya tak salah kalau kita sebut DPR bukan lagi penyambung lidah rakyat karena faktanya mereka hanya mewakili kepentingan diri dan partainya.
Kini kita dihadapkan pada pemilu legislatif 2014. Pertanyaan pun muncul di benak kita, jika wakil rakyat selama ini saja tidak merakyat, akankah wakil rakyat 5 tahun mendatang lebih baik dari sekarang? Ataukah mereka justru lebih buruk? Sepertinya kita tak bisa berharap banyak perlemen 5 tahun ke depan akan lebih baik dari sekarang. Apalagi kalau kita amati, wajah-wajah lama masih menghiasi pemilu legislatif kali ini. Dari 6.607 caleg yang memperebutkan 650 kursi di DPR, 507 diantaranya adalah wajah lama. Artinya, jika 90 persen muka lama itu kembali jadi DPR kemungkinan besar “prestasi” lama akan terulang lagi.
Fenomena ini memang membuat kita psimis melihat kondisi parlemen ke depan, tetapi upaya untuk memperbaikinya harus tetap ada. Kalau dibiarkan, ke depan kita akan tetap memiliki parlemen yang tidak merakyat. Kalau demikian kondisinya, maka kehidupan masyarakat pun akan tetap sengsara seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu, tugas masyarakat untuk senantiasa melakukan kontrol terhadap gerak wakilnya di parlemen. Dengan begitu, masyarakat bisa membatasi ruang gerak wakilnya untuk melakukan hal-hal yang destruktif.
Dengan dukungan dan majunya media, masyarakat bisa mendapatkan banyak informasi tentang perpolitikan bangsa. Paling tidak, masyarakat dapat memanfaatkan media untuk mengontrol atau memberikan feedback atas sepak terjang para wakilnya di parlemen. Kalau masyarakat kritis dan cerdas seperti ini, maka kualitas politik pun akan semakin bagus. Sebaliknya, ketidakkritisan masyarakat justru akan menguntungkan anggota DPR untuk melakukan penyimpangan.
Sementara itu, partai politik sebagai lembaga pencetak anggota DPR tidak boleh abai terhadap pengawasan kadernya di parlemen. Selama ini partai masih abai melakukan kontrol terhadap kadernya, bahkan terkesan mendukung kadernya yang melakukan penyimpangan. Ini terlihat dari lambatnyarespon partai jika ada kadernya yang terjerat kasus hukum, bahkan tak jarang justru membela kadernya tersebut.Partai seharusnya paling bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan terhadap para kadernya karena partai sebagai induk yang melahirkan para wakil rakyat di parlemen.
Masalah korupsi tentu bukan barang baru lagi di tubuh DPR. Hubungan intim antara DPR dan korupsi seakan tak terpisahkan lagi. Hal ini dibuktikan oleh hasil Survie Transparency International Indonesia (TII) pada tanggal 9 sampai 22 Februari 2014 yang menempatkan parlemen sebagai lembaga terkorup. Dengan angka 1 mewakili sama sekali tidak korup dan angka 5 sebagai yang terkorup, parlemen mendapat nilai rata-rata 4,33 persen disusul partai politik dan kepolisian yang masing-masing mendapat 3,88 persen dan 3,84 persen.
Padahal, kalau kita amati, gaji dan tunjangan anggota DPR Indonesia menempati peringkat tertinggi ke-4 dari gaji dan tunjangan parlemen di seluruh dunia. Dengan gaji dan tunjangan yang tinggi itu seharusnya korupsi tidak terjadi di tubuh DPR karena gaji yang mereka terima boleh dibilang sudah “mewah”. Sayangnya, realitas tidak seperti yang diharapkan, korupsi justru merajalela. Tampaknya gaji selangit itu masih tidak cukup, mereka masih saja menilap uang rakyatnya sendiri. Ini bukti bahwa sifat rakus sudah mewabah di kalangan DPR.
Yang lebih miris, tiga fungsi utama parlemen justru dijadikan lahan korupsi dan suap. Fungsi penganggaran yang memberikan kewenangan absolut bagi DPR seringkali dimanfaatkan untuk mencuri anggaran. Saat menjalankan fungsi pengawasan, terutama saat mengevaluasi kinerja eksekutif, DPR kerap melontarkan kritik keras dan tekanan yang ujung-ujungnya untuk meminta “pelicin”. Bahkan fungsi legislasi pun dijadikan lahan “dagang pasal”. Tentu kita masih ingat soal kisruh hilangnya sejumlah pasal RUU Anti Tembakau yang diduga ada campur tangan pengusaha rokok.
Anggota parlemen kita selama ini bahkan lebih suka memperjuangkan kemewaan dirinya. Lihatlah, mulai dari rencana pembangunan kompleks gedung baru yang dilengkapi fasilitas kebugaran, spa, perbelanjaan dan kolam renang, renovasi ruang rapat Badan Anggaran hingga renovasi toilet yang biayanya miliaran rupiah. Seringnya kunjungan kerja ke luar negeri yang sama sekali tidak jelas urgensinya. Belum lagi pengadaan mesin absensi sidik jari yang katanya agar anggota DPR semakin rajin, nyatanya tetap saja membolos.
Para wakil rakyat kita tampaknya hanya mengedepankan kepentingan pribadi alias menjadi alat dari hasrat subyektifnya sendiri. Padahal sebagai wakil rakyat semestinya mereka berwatak altruistik, dengan menempatkan kepentingan diri dan kelompoknya di bawah kepentingan rakyat yang lebih luas. Bukan berdiri di atas rakyat, tetapi mengabdikan diri di bawah kepentingan rakyat. Sayangnya, kalau kita lihat fenomena anggota parlemen selama ini, alih-alih memihak kepentingan rakyat, mereka justru berbuat korupsi, suap dan mewah-mewahan.
Kalau demikian kondisinya, ini sungguh menjadi pukulan telak bagi kita. Selama ini kita menganggap para DPR adalah orang-orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat, namun kenyataannya tak jauh beda dari kumpulan orang-orang yang hanya mengejar “isi perut”. Pragmatisme politik sungguh sudah mengakar kuat dalam diri mereka. Rasanya tak salah kalau kita sebut DPR bukan lagi penyambung lidah rakyat karena faktanya mereka hanya mewakili kepentingan diri dan partainya.
Kini kita dihadapkan pada pemilu legislatif 2014. Pertanyaan pun muncul di benak kita, jika wakil rakyat selama ini saja tidak merakyat, akankah wakil rakyat 5 tahun mendatang lebih baik dari sekarang? Ataukah mereka justru lebih buruk? Sepertinya kita tak bisa berharap banyak perlemen 5 tahun ke depan akan lebih baik dari sekarang. Apalagi kalau kita amati, wajah-wajah lama masih menghiasi pemilu legislatif kali ini. Dari 6.607 caleg yang memperebutkan 650 kursi di DPR, 507 diantaranya adalah wajah lama. Artinya, jika 90 persen muka lama itu kembali jadi DPR kemungkinan besar “prestasi” lama akan terulang lagi.
Fenomena ini memang membuat kita psimis melihat kondisi parlemen ke depan, tetapi upaya untuk memperbaikinya harus tetap ada. Kalau dibiarkan, ke depan kita akan tetap memiliki parlemen yang tidak merakyat. Kalau demikian kondisinya, maka kehidupan masyarakat pun akan tetap sengsara seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu, tugas masyarakat untuk senantiasa melakukan kontrol terhadap gerak wakilnya di parlemen. Dengan begitu, masyarakat bisa membatasi ruang gerak wakilnya untuk melakukan hal-hal yang destruktif.
Dengan dukungan dan majunya media, masyarakat bisa mendapatkan banyak informasi tentang perpolitikan bangsa. Paling tidak, masyarakat dapat memanfaatkan media untuk mengontrol atau memberikan feedback atas sepak terjang para wakilnya di parlemen. Kalau masyarakat kritis dan cerdas seperti ini, maka kualitas politik pun akan semakin bagus. Sebaliknya, ketidakkritisan masyarakat justru akan menguntungkan anggota DPR untuk melakukan penyimpangan.
Sementara itu, partai politik sebagai lembaga pencetak anggota DPR tidak boleh abai terhadap pengawasan kadernya di parlemen. Selama ini partai masih abai melakukan kontrol terhadap kadernya, bahkan terkesan mendukung kadernya yang melakukan penyimpangan. Ini terlihat dari lambatnyarespon partai jika ada kadernya yang terjerat kasus hukum, bahkan tak jarang justru membela kadernya tersebut.Partai seharusnya paling bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan terhadap para kadernya karena partai sebagai induk yang melahirkan para wakil rakyat di parlemen.
No comments:
Post a Comment