Salah satu tujuan pendidikan yang terpenting adalah agar seseorang
dapat merubah nasibnya sendiri kearah yang lebih baik. Agar tercapai
tujuan pendidikan yang seperti ini maka pemerintah Indonesia membentuk
lembaga pendidikan formal yang terdiri dari tingkat dasar, tingkat
menengah, dan tingkat tinggi. Semua orang yang mengaku orang Indonesia
khususnya yang sedang berada pada usia produktif diwajibkan mengikuti
wajib belajar sembilan tahun (sampai sekolah menengah pertama) dengan
harapan apabila seseorang telah menempuh wajib belajar sembilan tahun
dapat memperbaiki keadaan hidupnya kearah lebih baik dan tentunya tidak
menjadi pengangguran yang menambah masalah negara.
Namun harapan itu mungkin sekarang hanyalah tinggal harapan kosong saja,karena seperti yang kita ketahui “ Lulusan SMA atau SMP mau kerja apa ?” di zaman sekarang jangan harap lulusan sma atau smp bisa menjadi pegawai negeri dengan gaji diatas upah minimal regional seperti zaman dahulu paling bagus mungkin mereka hanya bekerja jadi office boy atau karyawan penjaga toko baju. Sungguh menyedihkan memang sekolah mahal-mahal menghabiskan pikiran dan tenaga kalau ujung-ujungnya hanya berkerja sebagai tukang bersih-bersih piring dan lipat-lipat baju.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Dana APBN 20% diangarkan untuk sektor pendidikan, setiap tahun dilakukan sertifikasi guru agar mutu pengajaran menjadi baik, sarana dan prasarana sekolah terus diperbaiki agar siswa dapat belajar dengan nyaman dan fokus, kurikulum sudah berganti sembilan kali tapi hanya dapat memproduksi orang-orang sebagai tukang bersih-bersih dan penjaga toko? Menurut Rhenald Kasali Guru Besar Fakultas Ekonomi Indonesia yang menjadi permasalahan di dunia pendidikan di Indonesia adalah landasan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 ayat 1 disana dituliskan dengan cukup jelas bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat mata pelajaran yang wajib diikuti peserta didik yang berjumlah lebih dari 14 mata pelajaran dan semuanya mewajibkan peserta didik lulus semua mata pelajaran sesuai kriteia ketuntasan minimal jadi jangan salah apabila peserta didik dinegara kita gemar mencontek, dan melakukan plagiatisme karena bisa kita bayangkan sendiri sangat sulit rasanya menuntaskan lebih dari 14 mata pelajaran yang semuanya meminta peserta didiknya mendapatkan nilai yang bagus.Gurupun tidak bisa berbuat banyak dengan keadaan seperti ini karena indikator baik dan buruknya guru mengajar adalah seberapa hebat murid-muridnya mendapat nilai 100 tak peduli betapapun stresnya mereka.
Padahal di negara-negara maju jumlah mata ajar yang wajib diikuti peserta didik itu hanya sedikit kita ambil saja contoh NewZealand di mana di negara itu setiap peserta didik hanya diwajibkan mengambil 2 mata pelajaran wajib dan 4 mata pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan tujuan masing-masing. Dengan sistem pembelajaran yang ramping seperti inilah Newzealand menduduki posisi pendidikan terbaik ke 6 didunia dan angka pengangguran disana sangat sedikit sekali. Bandingkan dengan negara kita yang mata pelajaran wajibnya sangat banyak dan memaksa siswa bekerja ekstra keras untuk mendapatkan nilai bagus tapi mutu pendidikanya tidak pernah terdengar masuk sepuluh besar yang terdengar adalah Indonesia masuk lima besar negara terkorup didunia.
Keadaan seperti ini diperparah lagi dengan pembelajaran yang hanya mementingkan hasil daripada proses.Ini terlihat dengan adanya mekanisme penentuan kelulusan dengan sistem ujian nasional(UN). Dimana siswa dapat dinyatakan lulus apabila dapat menjawab soal-soal ujian nasional dalam bentuk pilihan ganda yang mematikan kreatifitas siswa dan hanya menciptakan budaya cepat menjawab soal dan menghalalkan segala cara untuk menjawab soal tidak peduli itu dengan cara mencontek atau membeli kunci jawaban.
Selain mata pelajaran yang terlalu banyak para lulusan sekolah menengah atas atau pertama tidak punya keahlian apapun dalam menghadapi kerasnya hidup mencari nafkah karena sekolah hanya menekankan pada pengetahuan saja bukan kepada live skill, yang membuat lulusan SMA harus melanjutkan keperguruan tinggi. Terjadilah dilema ketika para lulusan SMA itu tidak dapat melanjutkan pendidikan ke keperguruan tinggi. Meskipun ada yang cukup tejangakau yaitu perguruan tinggi negeri tapi mohon maaf tidak semua orang dapat masuk kesana hanya orang-orang terpilihlah yang boleh masuk kesana,”Jadi bagaimana nasib orang yang tidak diterima ptn” ? mau tidak mau untuk memperoleh kehidupan yang dicita-citakannya mereka harus belajar di pts dengan biaya yang tidak murah dan apabila tidak dapat kuliah di ptn maupun pts bagaimana nasib lulusan SMA? mereka biasanya bekerja menjadi buruh atau karyawan dengan gajih rendah dan yang paling tragis adalah terlempar ke samudra yang bernama pengganguran. Jadi kalau begitu sekolah 12 tahun untuk apa?
Pemerintah tidak dapat membiarkan keadaan seperti ini terus terjadi karena menurut badan pusat statistik (BPS), pada bulan Februari menyatakan bahwa jumlah penganguran secara nasional pada bulan Februari mencapai 7,6 juta orang dengan tingkat penggangguran terbuka (TPT) pada bulan Februari sebesar 6,32 persen (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Senin, 31 Maret 2014, 15.10 ).
Dengan keadaan pendidikan di Indonesia yang seperti ini jelas sektor pendidikan harus berubah.Pertama yang dapat dilakukan untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik adalah dengan mengurangi mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa. Mata pelajaran yang terlalu banyak itu bukannya membuat siswa menjadi tambah pintar akan tetapi hanya menambah stress dan beban saja.Pernah suatu hari teman penulis sewaktu di SMA stress gara-gara nilai seni musiknya di bawah kriteria kelulusan minimal (KKM), bukankah seharusnya pelajaran tentang seni itu membuat siswa senang dan terhibur? tapi mengapa pelajaran seni membuat siswa stress dan gelisah? Sudah jelas pelajaran seperti seni musik seharusnya jangan dimasukan menjadi mata pelajaran wajib tapi dijadikan kegiatan ekstra kulikuler saja.Untunglah kabar baik berhembus mulai awal tahun ajaran baru tahun 2013 pemerintah mengganti kurkulum KTSP 2006 menjadi kurikulum 2013 dimana jumlah mata pelajaran wajib dikurangi. Meskipun mata pelajaran wajibnya masih banyak tapi tidak apa-apa dengan begini beban siswa jadi berkurang.
Kedua adalah jangan jadikan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan siswa tapi hanya dijadikan tolak ukur keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Apabila ujian nasional terus dijadikan penentu kelulusan siswa dikhawatirkan sekolah bukannya mendidik siswa untuk siap menghadapi kerasnya hidup akan tetapi siswa dipersiapkan hanya untuk menjawab soal-soal ujian nasional yang tidak akan dihadapi dikehidupan nyata. Sebaiknya bentuk ujian nasional dan ulangan harian di sekolah bukanlah pilihan berganda yang mematikan kreatifitas tapi dalam bentuk esai yang melatih kreatifitas dan cara befikir kritis siswa.
Dengan ujian yang berbentuk esai diharapkan siswa mempunyai keinginan untuk menulis dan mampu menulis tulisan yang baik. Menurut Joko Santoso dalam Isola Pos edisi Juni 2012 mengatakan bahwa Indonesia dalam penulisan karya ilmiah sangat tertinggal jauh dengan negara lain. Di Amerika penulisan karya ilmiah mencapai 5,7 juta karya ilmiah dan di Cina 1,7 juta karya ilmiah berbanding jauh dengan Indonesia yang hanya 13.000 karya ilmiah.Kondisi ini bisa dimaklumi karena di Indonesia pendidikannya hanya berfokus kepada bagaimana caranya siswa dapat memperoleh nilai yang bagus bukan bagaimana caranya siswa dapat berfikir kreatif dan kritis dengan cara menulis.
Ketiga bentuk kegiatan ekstrakulikuler yang melatih siswa untuk mempunyai keahlian dan jiwa enteurpreneurship. Di harapkan dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler yang melatih keahlian siswa-siswa yang tidak melanjutkan studi bisa menghidupi dirinya sendiri. Mari kita merubah kehidupan bangsa yang pelik ini dari pendidikannya dahulu, karen pendidikan awal dari segala sumber menjadi Indonesia yang lebih baik.
Namun harapan itu mungkin sekarang hanyalah tinggal harapan kosong saja,karena seperti yang kita ketahui “ Lulusan SMA atau SMP mau kerja apa ?” di zaman sekarang jangan harap lulusan sma atau smp bisa menjadi pegawai negeri dengan gaji diatas upah minimal regional seperti zaman dahulu paling bagus mungkin mereka hanya bekerja jadi office boy atau karyawan penjaga toko baju. Sungguh menyedihkan memang sekolah mahal-mahal menghabiskan pikiran dan tenaga kalau ujung-ujungnya hanya berkerja sebagai tukang bersih-bersih piring dan lipat-lipat baju.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Dana APBN 20% diangarkan untuk sektor pendidikan, setiap tahun dilakukan sertifikasi guru agar mutu pengajaran menjadi baik, sarana dan prasarana sekolah terus diperbaiki agar siswa dapat belajar dengan nyaman dan fokus, kurikulum sudah berganti sembilan kali tapi hanya dapat memproduksi orang-orang sebagai tukang bersih-bersih dan penjaga toko? Menurut Rhenald Kasali Guru Besar Fakultas Ekonomi Indonesia yang menjadi permasalahan di dunia pendidikan di Indonesia adalah landasan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 ayat 1 disana dituliskan dengan cukup jelas bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat mata pelajaran yang wajib diikuti peserta didik yang berjumlah lebih dari 14 mata pelajaran dan semuanya mewajibkan peserta didik lulus semua mata pelajaran sesuai kriteia ketuntasan minimal jadi jangan salah apabila peserta didik dinegara kita gemar mencontek, dan melakukan plagiatisme karena bisa kita bayangkan sendiri sangat sulit rasanya menuntaskan lebih dari 14 mata pelajaran yang semuanya meminta peserta didiknya mendapatkan nilai yang bagus.Gurupun tidak bisa berbuat banyak dengan keadaan seperti ini karena indikator baik dan buruknya guru mengajar adalah seberapa hebat murid-muridnya mendapat nilai 100 tak peduli betapapun stresnya mereka.
Padahal di negara-negara maju jumlah mata ajar yang wajib diikuti peserta didik itu hanya sedikit kita ambil saja contoh NewZealand di mana di negara itu setiap peserta didik hanya diwajibkan mengambil 2 mata pelajaran wajib dan 4 mata pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan tujuan masing-masing. Dengan sistem pembelajaran yang ramping seperti inilah Newzealand menduduki posisi pendidikan terbaik ke 6 didunia dan angka pengangguran disana sangat sedikit sekali. Bandingkan dengan negara kita yang mata pelajaran wajibnya sangat banyak dan memaksa siswa bekerja ekstra keras untuk mendapatkan nilai bagus tapi mutu pendidikanya tidak pernah terdengar masuk sepuluh besar yang terdengar adalah Indonesia masuk lima besar negara terkorup didunia.
Keadaan seperti ini diperparah lagi dengan pembelajaran yang hanya mementingkan hasil daripada proses.Ini terlihat dengan adanya mekanisme penentuan kelulusan dengan sistem ujian nasional(UN). Dimana siswa dapat dinyatakan lulus apabila dapat menjawab soal-soal ujian nasional dalam bentuk pilihan ganda yang mematikan kreatifitas siswa dan hanya menciptakan budaya cepat menjawab soal dan menghalalkan segala cara untuk menjawab soal tidak peduli itu dengan cara mencontek atau membeli kunci jawaban.
Selain mata pelajaran yang terlalu banyak para lulusan sekolah menengah atas atau pertama tidak punya keahlian apapun dalam menghadapi kerasnya hidup mencari nafkah karena sekolah hanya menekankan pada pengetahuan saja bukan kepada live skill, yang membuat lulusan SMA harus melanjutkan keperguruan tinggi. Terjadilah dilema ketika para lulusan SMA itu tidak dapat melanjutkan pendidikan ke keperguruan tinggi. Meskipun ada yang cukup tejangakau yaitu perguruan tinggi negeri tapi mohon maaf tidak semua orang dapat masuk kesana hanya orang-orang terpilihlah yang boleh masuk kesana,”Jadi bagaimana nasib orang yang tidak diterima ptn” ? mau tidak mau untuk memperoleh kehidupan yang dicita-citakannya mereka harus belajar di pts dengan biaya yang tidak murah dan apabila tidak dapat kuliah di ptn maupun pts bagaimana nasib lulusan SMA? mereka biasanya bekerja menjadi buruh atau karyawan dengan gajih rendah dan yang paling tragis adalah terlempar ke samudra yang bernama pengganguran. Jadi kalau begitu sekolah 12 tahun untuk apa?
Pemerintah tidak dapat membiarkan keadaan seperti ini terus terjadi karena menurut badan pusat statistik (BPS), pada bulan Februari menyatakan bahwa jumlah penganguran secara nasional pada bulan Februari mencapai 7,6 juta orang dengan tingkat penggangguran terbuka (TPT) pada bulan Februari sebesar 6,32 persen (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Senin, 31 Maret 2014, 15.10 ).
Dengan keadaan pendidikan di Indonesia yang seperti ini jelas sektor pendidikan harus berubah.Pertama yang dapat dilakukan untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik adalah dengan mengurangi mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa. Mata pelajaran yang terlalu banyak itu bukannya membuat siswa menjadi tambah pintar akan tetapi hanya menambah stress dan beban saja.Pernah suatu hari teman penulis sewaktu di SMA stress gara-gara nilai seni musiknya di bawah kriteria kelulusan minimal (KKM), bukankah seharusnya pelajaran tentang seni itu membuat siswa senang dan terhibur? tapi mengapa pelajaran seni membuat siswa stress dan gelisah? Sudah jelas pelajaran seperti seni musik seharusnya jangan dimasukan menjadi mata pelajaran wajib tapi dijadikan kegiatan ekstra kulikuler saja.Untunglah kabar baik berhembus mulai awal tahun ajaran baru tahun 2013 pemerintah mengganti kurkulum KTSP 2006 menjadi kurikulum 2013 dimana jumlah mata pelajaran wajib dikurangi. Meskipun mata pelajaran wajibnya masih banyak tapi tidak apa-apa dengan begini beban siswa jadi berkurang.
Kedua adalah jangan jadikan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan siswa tapi hanya dijadikan tolak ukur keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Apabila ujian nasional terus dijadikan penentu kelulusan siswa dikhawatirkan sekolah bukannya mendidik siswa untuk siap menghadapi kerasnya hidup akan tetapi siswa dipersiapkan hanya untuk menjawab soal-soal ujian nasional yang tidak akan dihadapi dikehidupan nyata. Sebaiknya bentuk ujian nasional dan ulangan harian di sekolah bukanlah pilihan berganda yang mematikan kreatifitas tapi dalam bentuk esai yang melatih kreatifitas dan cara befikir kritis siswa.
Dengan ujian yang berbentuk esai diharapkan siswa mempunyai keinginan untuk menulis dan mampu menulis tulisan yang baik. Menurut Joko Santoso dalam Isola Pos edisi Juni 2012 mengatakan bahwa Indonesia dalam penulisan karya ilmiah sangat tertinggal jauh dengan negara lain. Di Amerika penulisan karya ilmiah mencapai 5,7 juta karya ilmiah dan di Cina 1,7 juta karya ilmiah berbanding jauh dengan Indonesia yang hanya 13.000 karya ilmiah.Kondisi ini bisa dimaklumi karena di Indonesia pendidikannya hanya berfokus kepada bagaimana caranya siswa dapat memperoleh nilai yang bagus bukan bagaimana caranya siswa dapat berfikir kreatif dan kritis dengan cara menulis.
Ketiga bentuk kegiatan ekstrakulikuler yang melatih siswa untuk mempunyai keahlian dan jiwa enteurpreneurship. Di harapkan dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler yang melatih keahlian siswa-siswa yang tidak melanjutkan studi bisa menghidupi dirinya sendiri. Mari kita merubah kehidupan bangsa yang pelik ini dari pendidikannya dahulu, karen pendidikan awal dari segala sumber menjadi Indonesia yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment