Sunday, 1 June 2014

Membangun Pendidikan - Pendidikan Untuk Semua

Miris melihat bagaimana wajah pendidikan negeri ini sekarang. Strata pendidikan begitu jelas terlihat. Pendidikan berkualitas jempolan hampir bisa dipastikan diisi oleh dengan orang-orang kelas atas dan tentunya berbiaya mahal. Sedangkan pendidikan yang biasa-biasa saja diisi oleh mereka yang kurang beruntung secara ekonomi. Tidak disengaja tetapi itulah konstruksi yang dihasilkan oleh sistem yang mendewakan logika bisnis.

 Dimanakah logika pendidikan yang sudah susah payah dibentuk dan dibesarkan oleh Sang Guru Besar negeri ini Ki Hajar Dewantara? Pendidikan untuk mengangkat siapa aja yang menjadi bagian dari negeri ini untuk bangkit. Pendidikan membuat negeri ini meraih asa yang telah diimpikan berabad-abad untuk merdeka. Pendidikan yang tidak hanya mengedepankan sisi kognitif tetapi juga sisi nurani untuk melawan segala penindasan dan ketidakadilan saat itu.

 Logika Bisnis yang Merasuk ke Jiwa Pendidikan
Kini dunia pendidikan bisa dikatakan sebagai lumbung rupiah bagi mereka yang peka akan peluang bisnis. Perkembangan zaman telah membawa setiap manusia meningkatkan kualitas dirinya untuk tetap bertahan hidup. Segala fasilitas yang disediakan memerlukan imbalan yang setimpal yang tidaklah murah.
 Survival of the fittest. Ya, teori Herbert Spencer ini kembali dipraktekkan saat ini. Kondisi ini yang juga mengiringi perjalanan dunia pendidikan negeri ini sekarang. Mereka yang mulai melirik dunia pendidikan sebagai lumbung rupiah sangat peka terhadap kondisi ini tanpa memikirkan esensi keberadaan pendidikan yang sesungguhnya. Semahal apapun pendidikan yang ada pastinya tetap akan ada pangsa pasar yang menjanjikan.

Kondisi ini seakan tidak ada lagi nurani dalam pendidikan. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah dimanakah fungsi pemerintah? Apa gunanya pemerintah jika tetap mengikut arus logika bisnis pendidikan yang terjadi saat ini?

 Politik Pendidikan Pemerintah Negeri Ini
Pemerintah seakan membiarkan kondisi ini mengalir. Pemerintah seakan setuju dengan kondisi ini. Jika ingin pendidikan yang bagus yang harus bayar yang mahal. Salah satu contoh yang jelas bagaimana pemerintah seakan setuju akan kondisi di atas adalah sempat diberlakukannya RSBI yang mematok biaya yang begitu mahal. RSBI telah menutup akses kelas menengah kebawah akan pendidikan yang bermutu secara tidak langsung. Mengapa? Karena rata-rata sekolah RSBI saat itu didominasi oleh sekolah-sekolah negeri unggulan yang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya.

 Ada atau tidaknya RSBI sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Sekolah-sekolah unggulan dan berkualitas mematok embel-embel biaya yang tidak sedikit sehingga sudah mengucilkan niat kelas menegah ke bawah untuk merasakan manisnya pendidikan berkualitas.

 Atau bisa jadi kondisi pendidikan negeri ini sekarang adalah satu bentuk politik pendidikan rezim berkuasa. Ya, pemerintah saat ini seakan tidak mampu mengendalikan triangulasi pembangunan[1]. Pemerintah seakan dicucuk hidungnya untuk mengikuti kehendak pasar. Kekuasaan pasar seakan telah mengangkangi kekuasaan pemerintah yang berkuasa saat ini.

 Pendidikan untuk Semua
Kondisi pendidikan negeri ini sekarang bisa dikatakan mirip tetapi tidak serupa dengan kondisi pendidikan di saat Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada masa penjajahan Belanda. Mirip karena pendidikan berkualitas hanya dikuasai oleh segelintir orang kelas atas. Tidak serupa karena sekarang bukan lagi bangsa asing yang berada di kelas atas melainkan saudara sebangsa se tanah air sendiri. Penjajahan yang dilakukan oleh saudara sendiri justru lebih sulit untuk dilawan dan dibasmi.

Mereka yang “tertindas” tidak mampu melawan mereka yang “menindas”. Mereka yang “menindas” seakan tidak memiliki cukup nurani untuk mengangkat mereka yang “tertindas”. Perlu ada terobosan dalam dunia pendidikan yang perlu menghilangkan ketimpangan sosial yang terjadi tanpa ada satu pihak yang dirugikan. Tentunya melalui pendidikan pula.

Pendidikan untuk semua merupakan konsep yang perlu dikembangkan tentunya dengan konsep dan fondasi yang kuat. Rasanya negeri ini perlu mengaca konsep pendidikan yang sudah dikembangkan oleh Paulo Freire yang terkenal dengan istilah pendidikan kaum tertindas[2].

Istilah yang cukup kontroversial dan tidak biasa secara harfiah. Pendidikan kaum tertindas, siapa yang tertindas dan yang menindas? Setiap orang pasti ingin selalu mengaku sebagai yang tertindas dibanding disebut sebagai yang menindas.

 Dibalik pengertian harifiah tersebut, konsep Paulo Freire sebenarnya mendekati sempurna untuk mewujudkan konsep pendidikan untuk semua. Konsep ini menekankan bagaimana mengangkat kesadaran kelas menengah ke bawah melalui pendidikan dengan hati nurani. Setelah kelas menengah ke bawah telah memiliki kesadaran utuh yang ditopang dengan hati nurani dengan realita sosial sebagai objek utamanya, kemudian perlu dilakukan penyadaran kelas atas pula melalui pendidikan. Sehingga semua kelas dan semua orang merasakan pendidikan yang setara.

 Setelah kondisi tersebut terwujud, maka semua orang akan melihat pendidikan bukanlah lahan bisnis yang perlu dikembangkan melainkan sebagai lahan untuk berbagi kepada sesama untuk mengangkat negeri ini dari keterpurukan yang semakin dalam.

 Memang tidaklah mudah menjalankan ini. Pertama dan yang paling utama adalah dukungan pemerintah dan penerapan politik pendidikan yang sesuai dengan esensi pendidikan yang telah dibangun oleh Ki Hajar Dewantara. Pemerintah dalam hal ini juga termasuk lembaga-lembaga pendidikan negeri beserta sthakeholdernya. Selanjutnya, keinginan maju oleh seluruh lapisan masyarakat menjadi modal berikutnya. Sehingga kultus dan kultur yang positif bisa tercipta dalam dunia pendidikan yang ditopang hati nurani. Dengan begitu masyarakat mampu menjungkirbalikkan sistem ekonomi yang tidak memiliki hati nurani dan maju bersama tanpa ada yang terbelakng dan terdepan.

[1] Triangulasi pembangunan terdiri dari tiga aktor, yaitu state yang direpresentasikan oleh pemerintah, market yang direpresentasikan oleh sistem kapitalisme pasar, dan society yang direpresentasikan oleh masyarakat baik secara luas maupun yang disebut sebagai civil society.
[2] Pendidikan kaum tertindas, menurut Freire, sebagai pendidikan yang makes oppression and its causes objects of reflection by the oppressed, and from that reflection will come their necessary engagement in the struggle for their liberation. And in the struggle this pedagogy will be made and remade (Santoso, 2007: 131).

No comments:

Post a Comment