Sunday, 1 June 2014

Presiden Harapanku - Saatnya Orang Bodoh Memimpin Indonesia

Indonesia punya pengalaman dipimpin oleh orang-orang pintar. Ada pemimpin yang ahli dalam berorasi dan diplomasi. Siapapun yang mendengar pidato sang presiden tersebut pasti tertegun dan berkobar semangatnya. Kelihaiannya dalam berdiplomasi bahkan pernah dianggap sebagai masalah oleh negara adi kuasa.

Bangsa kita pernah pula dipimpin orang yang pintar dalam menjaga stabilitas negara meskipun dengan cara membungkam kebebasan rakyat. Kondisi itu bisa dijaga selama puluhan tahun. Uniknya, belakangan ini muncul lagi kerinduan sekelompok orang yang mendambakan kepemimpinannya seperti dahulu.
Jangan lupa, Indonesia juga pernah dipimpin seorang yang mungkin menjadi satu-satunya presiden di dunia yang bisa menciptakan pesawat terbang. Dialah satu-satunya presiden dari luar Jawa. Satu yang dikenang dari masa pemerintahannya adalah lepasnya satu propinsi menjadi negara merdeka.

Indonesia pernah pula memberikan kepercayaan kepada orang yang pintar dalam seni. Dia dikenal sebagai presiden di dunia yang paling produktif dalam menciptakan lagu. Setidaknya ada empat album yang ditelurkannya selama menakhodai bangsa ini.

Para pemimpin tersebut, dengan kepintaran masing-masing, telah mencoba memperbaiki  nasib bangsa ini. Sayangnya hal itu belum sanggup membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan. Kondisi ideal seperti yang dicita-citakan UUD 1945 yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur masih jauh dari harapan.
Pemilihan presiden yang digelar tahun ini pun diwarnai munculnya sejumlah kandidat yang mengklaim dirinya pintar. Dengan kepercayaan diri yang tinggi mereka sudah menggembar-gemborkan solusi dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa ini. Berbeda dengan masa sebelumnya, kini kepintaran para calon pemimpin tersebut seolah-olah bisa dibentuk secara instan yakni melalui pencitraan.

Media yang dianggap paling ampuh membentuk citra positif para kandidat adalah televisi. Entah kebetulan ataupun tidak, orang-orang yang berambisi menjadi presiden pun beberapa di antaranya memiliki kaitan dengan korporasi media. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang seharusnya bertugas sebagai wasit seolah tak kuasa menangani permasalahan ini. Orang-orang pintar tersebut tetap saja bisa mencari celah untuk mengakali aturan yang ada.

Jago-jago partai menunjukkan kepintaran masing-masing dengan cara yang beragam.. Terkadang, penampilan sang kandidat di televisi terkesan dipaksakan dan caranya tidak lazim. Jangan heran jika ada kandidat yang tiba-tiba muncul dalam program sinetron yang sedang naik daun. Demi kepentingan pencapresan, semua bisa ditunggangi.

Hanya saja, pencitraan para kandidat dengan cara seperti itu tak lagi mengundang simpati warga. Masyarakat kini tak lagi percaya begitu saja dengan metode marketing politik para kandidat. Hal itu terjadinya bukannya tanpa alasan. Pada dasarnya publik sudah gerah karena kebanyakan janji yang pernah dikoar-koarkan dalam kampanye tak pernah direalisasikan.

Bila keadaannya sudah seperti itu, mungkin kita akan berpikir dua kali dalam memilih pemimpin yang hanya bermodalkan kepintaran. Bangsa ini tak butuh presiden yang pintar dengan segudang titel akademis namun  selalu ragu dalam mengambil keputusan. Pemimpin bangsa ini diberi kekuasaan yang sangat besar oleh konstitusi sehingga tak masuk akal selalu menempatkan dirinya sebagai pihak yang terzalimi.
Kita tak butuh pemimpin yang pintar dalam pencitraan tapi bodoh dalam aksi. Sepintar-pintarnya pemimpin dalam memoles citra, sekali-sekali akan ketahuan juga sifat aslinya. Kini Indonesia justru membutuhkan pemimpin yang ‘bodoh’. Maksud bodoh di sini bukan berarti tingkat intelejensinya rendah melainkan ‘bodoh’ dalam melakukan tindakan-tindakan yang merugikan rakyatnya.

Presiden ‘bodoh’ tersebut tak perlu malu menjalankan roda pemerintahan dengan kebodohannya. Sadar dirinya bodoh, dia tidak akan mau korupsi karena hal itu merupakan pekerjaan orang-orang pintar. Mereka yang mengaku pintar saja banyak yang dijerat oleh KPK, apalagi orang bodoh.
Karakter pemimpin ideal terlihat dari caranya ketika bersinggungam dengan rakyatnya. Pemimpin yang bodoh tahu benar bahwa kebodohan di negerinya harus dihilangkan dengan cara-cara yang cerdas. Hal ini terlihat kontras dengan presiden pintar yang justru selalu membodoh-bodohi rakyatnya agar kekuasaannya bisa langgeng.

Pemimpin yang sadar akan kebodohannya mau turun ke lapangan mendengar masukan-masukan langsung dari rakyatnya. Keingintahuan yang besar akan membuatnya tidak mau duduk manis saja di istana menunggu laporan dari bawahan. Masyarakat sudah muak dengan istilah ‘Asal Bapak Senang’ yang selama ini terjadi di Indonesia.

Hal yang sering dilupakan oleh para pemimpin kita adalah membiasakan diri bertanya kepada rakyat. Presiden yang pintar kemungkinan tak akan melakukan hal itu karena merasa paling tahu. Sebaliknya presiden bodoh, menjadikan masukan-masukan dari rakyatnya sebagai acuan dalam menentukan langkah. Kesannya memang ini persoalan remeh-temeh tapi bagi masyarakat pas kena di hati.
Pemimpin yang bodoh menempatkan dirinya sebagai pelayan, bukan dimana-mana harus dilayani. Di saat para elit yang mengaku pintar hanya bisa mengumpat soal banjir, pemimpin ‘bodoh’ sudah lebih dulu menyingsingkan celana melihat kondisi lapangan dan mencari solusi. Meski begitu, Capres bodoh sekalipun tak akan mau berpura-pura jadi tukang becak, apalagi hanya untuk kampanye pencitraan dalam program acara televisi.

Sekarang adalah waktu yang tepat bagi kita dalam menentukan pilihan kepemimpinan nasional hingga lima tahun ke depan. Semoga pemilu kali ini melahirkan pemimpin ‘bodoh’ yang mau terus belajar untuk memberi yang terbaik bagi rakyatnya. Lebih baik punya presiden bodoh tapi mencerdaskan rakyatnya daripada punya presiden pintar tapi selalu membodoh-bodohi rakyatnya!

No comments:

Post a Comment