Sunday, 1 June 2014

Membangun Pendidikan - Membangun Sistem Pendidikan Bermoral

Krisis moral. Dua kata itu cukup untuk menggambarkan fenomena bangsa Indonesia saat ini. Telah lewat 10 tahun sejak Komisi Pemberantasan Korupsi didirikan tahun 2003 lalu. Selama itu pula, masyarakat kita tak asing lagi dengan pemberitaan kasus-kasus korupsi kelas kakap yang menjadi langganan headline news tiap berita di layar kaca. Kasus Akil Mochtar, bisa jadi merupakan tamparan keras bagi publik Indonesia. Tak seorang pun menyangka, RI-9,  akan menjadi pejabat paling tinggi yang diseret ke pengadilan.
Dalam sebuah berita di Tribunnews, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, pada tahun 2012 mencatat bahwa kasus perkosaan dari tahun 1998-2010, terdapat sebanyak 4.845 kasus perkosaan di Indonesia. Parahnya, lebih dari 3/4 dari total kasus kekerasan seksual, dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Bagaimana dengan kasus kekerasan pada anak? Sekjend Komnas Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa di tahun 2013, ada 1.620 kasus yang melibatkan anak-anak, meliputi kasus kekerasan psikis, fisik dan seksual.

Siapa yang bertanggung jawab untuk semua kemerosotan moral ini? Pertanyaan ini selalu muncul dan terlalu sering mengawali perdebatan yang tiada akhir. Dakwaan bersalah selalu tertuju pada salah satu pihak terkait. Padahal, apapun permasalahan yang menimpa negeri ini, kita semua turut andil sebagai warga negaranya. Bangsa ini masih berada di wilayah yang disebut dunia ketiga. Indonesia masih menjadi negara berkembang. Peralihan dari orde baru ke reformasi, hanya menjadi sebuah momen pergantian kekuasaan dan perubahan sistem, dengan paradigma yang masih sama :  pembangunan fisik dan peningkatan finansial.

Negara ini sibuk mencetak para ilmuwan, insinyur serta ahli hitung dan master teknologi, untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa maju diluar sana. Bangsa ini mengejar kemajuan logika dan gelar. Ketika koridor logika terlalu sering dikejar dan digembar-gemborkan, ketika persaingan menjadi makanan sehari-hari, ketika segala cara ditempuh untuk mencapai gelar tertinggi, maka ketika itu pula, ‘moral’ tengah berada dalam perjalanan untuk mengendap dibawah kepentingan materi. Saat inilah, untuk membangkitkan kembali generasi bermoral, bangsa ini perlu mengandalkan koridor agama. Ini bukan hanya soal peribadatan, melainkan nilai-nilai moral yang hanya mampu ditemukan dalam keteladanan dan ajaran agama.

Selama ini tanggung jawab pendidikan agama dibebankan pada keluarga. Namun, sebagai negara berkembang, bukan hanya negara dan sistem-sistemnya yang sibuk mengejar kemajuan. Masyarakatnya pun demikian. Tiap tulang punggung keluarga mengejar kemajuan dengan dalih ‘demi masa depan’. Ketika para orang tua sibuk bekerja, siapa yang akan menanamkan nilai-nilai moral dan keteladanan pada anak-anaknya? Untuk itulah kita membutuhkan sebuah sistem sebagai alternatif yang bisa diandalkan untuk membentuk moral. Sistem itu bernama pendidikan.

Sayangnya, pendidikan di negeri ini pun turut mengejar tujuan yang sama : kemajuan logika dan peraihan gelar tertinggi. Sekolah telah berubah menjadi mesin bisnis dengan menetapkan biaya sekolah yang mahal. Biaya pendidikan yang tinggi dan tak mampu dijangkau oleh kalangan menengah kebawah, dapat disebut sebagai : diskriminasi dan penyingkiran kesempatan bagi otak si miskin. Selain itu sekolah juga menjadi perusahaan penyaring sumber daya. Disebut penyaring karena banyak sekolah bergelar favorit menyaring dan melakukan seleksi kemampuan akademis untuk para pendaftarnya. Sistem ini sama dengan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan sumber daya manusia terbaik demi kemajuan perusahaan. Padahal, sekolah semestinya menjadi tempat bagi setiap anak untuk belajar tanpa membeda-bedakan dalam hal apapun. Melakukan seleksi akademis, sama artinya dengan menutup kesempatan bagi anak-anak dengan kemampuan akademis rendah untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.

Visi sekolah turut mempengaruhi visi guru-guru yang bertugas didalamnya. Ketika sekolah tak lagi memegang prinsip pendidikan untuk semua, guru pun tak bisa leluasa menerima murid dari kalangan mana saja. Banyak guru yang dengan mudahnya memberi label ‘bodoh’ pada murid. Melupakan bahwa sejatinya guru harus mengajar murid yang tidak bisa agar jadi bisa, bukan hanya mengajar murid yang pintar-pintar saja. Guru melakukan tugasnya untuk menyampaikan pelajaran, namun melupakan kewajibannya untuk mendidik dan memberi teladan.

Pendidikan agama di sekolah juga harus mendapatkan perhatian khusus. Di beberapa daerah, banyak kasus di sekolah, siswa yang beragama Katolik dan Kristen diajar oleh guru yang sama. Siswa Hindu dan Budha, diajar oleh guru beragama lain. Selama ini keadaan ini dimaklumi dengan pertimbangan kurangnya tenaga pendidik. Namun, para guru ini hanya berpedoman pada buku. Bagaimana mungkin, pesan-pesan agama, ajaran moral dalam agama dapat tersampaikan apabila sang pendidik bukanlah orang yang meyakininya. Permasalahan seperti ini seringkali tertutup oleh pemberitaan demo kenaikan gaji maupun gongang-ganjing menjelang ujian nasional. Padahal inilah permasalahan yang paling krusial dalam dunia pendidikan kita: ketika pendidik tidak kompeten dibidangnya. Untuk itu bukan hanya kualitas pendidik dibidang keilmuan saja yang selalu ditingkatkan, namun kebutuhan dan kualitas para pendidik dibidang agama ini juga perlu dipenuhi.

Saat ini kita tak punya cukup waktu untuk menyalahkan keadaan. Bangsa ini memerlukan solusi yang harus segera direalisasikan. Negara ini boleh saja mengejar kemajuan di berbagai bidang, namun pendidikan harus berdiri sebagai sebuah sistem yang independen dalam berprinsip dan bertujuan. Sekolah dan guru tak boleh lupa dengan prinsip pendidikan untuk semua. Anggaran pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pengelolaannya sebaiknya bukan hanya untuk memajukan fasilitas, tapi juga kualitas. Pemerintah yang baru harus berkomitmen untuk mewujudkan pendidikan bagi si miskin. Bukan hanya melengkapi fasilitas bagi si kaya. Sistem penerimaan siswa baru dengan seleksi akademis tak perlu dipertahankan. Dengan demikian semua anak bangsa memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan dengan kualitas yang sama. Sistem sertifikasi, pelatihan serta tunjangan yang didapat oleh para guru saat ini, semestinya tak menjadikan mereka mengeluh apabila di kelasnya, ada siswa dengan kemampuan akademis dibawah rata-rata. Sekolah dan guru harus ingat, mereka tak hanya bertanggung jawab untuk peningkatan kemampuan akademis, tapi juga menjadi pencetak generasi bermoral. Pendidikan bermoral merupakan pendidikan dimana mereka harus berlaku adil dan menjadi teladan. Sebagaimana diungkapkan oleh Pramudya Ananta Toer melalui tokoh Jean Marais dalam buku Bumi Manusia : “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”.

No comments:

Post a Comment