Tuesday, 3 June 2014

Membangun Pendidikan - Korupsi dan Immoralitas, di Ambang Batas Stadium Empat

Sudah barang pasti, “immoralitas” merupakan bagian inheren dari “korupsi”. Lantas apa gerangan yang menggelitik logika penulis, untuk menceraikannya dalam judul sub-bab esai berikut? Adapun yang diangkat sebagai pertimbangan utama, yakni tidak jauh dari rasa prihatin penulis atas fenomena “korupsi anti mainstream”. Misalnya, pe-nilep-an uang hasil pengadaan Kitab Suci, distorsi rapi pundi-pundi “rupiah” demi dorongan hasrat pribadi di dunia Perguruan Tinggi, sampai penyelewengan-penyelewengan yang lekat mewarnai jagat kesehatan, sekalipun dibilang canggih proteksinya. Jadi esensinya, titik berat latar belakang penulis guna men-“separatis”-asi dua kata tersebut (korupsi dan immoralitas) yaitu sebagai manifes kritis terhadap kejahatan korupsi yang semakin brutal di luar akses nalar kebaikan atau kesalehan.

Kasus pertama, korupsi pengadaan Al-Qur’an misalnya, KPK mengungkap korupsi ber-jama’ah terkait pembahasan anggaran proyek pengadaan Al-Qur’an pada Kementerian Agama.[1] Kasus kedua, korupsi di Perguruan Tinggi. Menarik, sebab, korupsi ini melibatkan Wakil Rektor Universitas Indonesia (UI) dalam proyek pembangunan sekaligus instalasi TI Perpustakaan Pusat UI. Kasus ketiga, yaitu kasus korupsi bidang kesehatan yang menyeret Mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Kementrian Kesehatan (BPMDKK). Untuk perkara ini, “Majelis Hakim Pengadilan Tipikor” memvonis pelaku 5 tahun penjara karena terbukti menyalahgunakan kewenangan, membuat keuangan negara merugi sebesar Rp 50 miliar, dan memperkaya korporasi.[2]

Edukasi: Mengapa Menjadi Preventisasi yang Diaksentuasi?
Jika diri ketiga “aktor” kasus di atas coba dikaji dari perspektif yang berbeda (track record pendidikan), kita akan menemukan fakta mengejutkan: bahwa ketiganya merupakan tokoh yang riwayat akademisnya lumayan cemerlang. Zulkarnaen, terlepas dari kasus yang tengah melilitnya, sesungguhnya adalah seorang Magister Bidang Ekonomi Islam.[3] Belum lagi menengok Tafsir Nurchamid, tersangka korupsi Perpustakaan Pusat UI, yang ternyata tamatanDoktoral bidang Administrasi Pajak.[4] Kemudian, “biang” kasus korupsi Kemenkes yakni Ratna Dewi Umar, pula termasuk “sosok intelektual” dengan gelar M. Kes (Magister Kesehatan).[5]

Maka, tidak mengejutkan bila korupsi kerap juga dijuluki sebagai kejahatan “kerah putih”. Sebab orang-orang yang mestinya memiliki intelektualisme tinggi, di samping pula mempunyai pangkat tinggi, ternyata justru banyak tercebur ke dalam kubangan kotor kultur koruptif. Bicara soal kultur, ada dua kemungkinan. Pertama, terbentuk karena orang-orang mau tidak mau harus mengikutinya. Kedua, terbangun akibat orang-orang yang tak bersedia serta berani frontal melawan arus? Penulis berkeyakinan, kultur (budaya) koruptif yang kini sedang menjangkiti Indonesia ialah lebih tendentif kepada konsekuensi lemahnya “political will” dari penguasa, bahkan, diri kita sendiri. Lantas, apa yang perlu kita lakukan? Dengan cara apa?

Pendidikan. Ya, pendidikan dapat dijadikan salah satu solusi guna melawan budaya koruptif di negeri ini. Sebuah koran Singapura The Strait Times, pernah menamai Indonesia sebagai The Envelope Country. Secara harfiah, frasa tersebut berarti “negara amplop” yang merepresentasikan lancarnya segala hal di Indonesia jika: amplop sudah bersabda. Korupsi yang penulis katakan sebagai penyakit, lagi budaya, sebenarnya berhubungan erat dengan permasalahan rendahnya integritas, dan pencipta sekaligus katalisator integritas yang paling mujarab ialah pendidikan. Lebih spesifik, pendidikan integritas. Karena pendidikan teoritis tidaklah terlalu kuat menjadi zatantibodi bangsa dari penyakit korupsi. Sebab, pendidikan akademis tidaklah akan mampu membendung gelombang budaya koruptif (immoral) yang non fisik itu. Pendidikan semacam “ilmu-ilmu terapan” memang, sanggup mentransformasi Sainstek suatu bangsa. Namun tidak pada kebudayaan. Apalagi, kebudayaan “niskala” yang berwujud karakter.
 
Integritas Pembangunan melalui Pembangunan Berintegritas!

            Integritas pembangunan, tentu tak akan bisa dijalankan tanpa sebuah pembangunan yang berintegritas. Sebagaimana menarafkan kualitas pendidik, pasti memerlukan prelinier langkah yang matang. Dalam vis-à-vis melawan korupsi lewat jalur “pendidikan”, pendidik sebagai salah satu subjek pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Dapat dikatakan pendidik (guru) merupakan sentris pembelajaran.[6] Tingkah laku, tidak terkecuali integritas siswapun sangat dipengaruhi oleh sosok guru.[7] Sehingga secara tidak langsung, tetapi logis jika pembelajaran dianggap bisa membentuk perilaku (karakter) siswa. Via belajar, karakter siswa sedikit demi sedikit mengalami konstruksi. Hakikatnya, makna “belajar” sendiri tidak terlepas dengan perubahan perilaku. Hal itu sesuai pandangan Cronboch, learning is shown by a change in behavior as a result of experience.[8]

            Para pendidik yang merupakan “abiturien (alumnus)” Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)[9] harus jadi pelopor developmentasi pendidikan integritas. Apa saja yang wajib mereka aplikasikan? Bagaimana langkah-langkahnya? Pertama, paradigma guru layak diposisikan secara “futuristik”. Artinya, tidak rigid terhadap perubahan dan juga masa depan. Contoh, Kurikulum 2013 yang saat ini digunakan dalam sistem pendidikan nasional untuk pengembangan karakter dan masa depan bangsa mesti didukung supaya dapat masif terimplementasi. “Praksisnya”, ketika menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru perlu mencatut kolom “Karakter yang Ingin Ditampilkan”.[10] Di samping itu, evaluasi pembelajaran yang kini menempatkan tiga domain Taksonomi Bloom secara proporsional juga patut diterapkan.

Kedua, mengaktualkan prinsip-prinsip fundamen pendidikan integritas yang relevan dengan tingkat pendidikan peserta didik. Rincinya, pada jenjang SD ditanamkan nilai-nilai Kejujuran dan Keadilan. Berikutnya di derajat SMP dan SMA, nilai Etika serta Moral yang disematkan untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terakhir di Perguruan Tinggi, pendidikan integritas dihadirkan secara komprehensif melalui Kajian Anti Korupsi Permulaan dan Kajian Anti Korupsi Terapan.[11] Ekspektasi sistematika tersebut, tidak cuma preventif terhadap budaya koruptif, tetapi juga kuratif. Pasca dua prelinier langkah utuh dan konsekuen dilaksanakan, generasi Indonesia bersih pasti akan segera terlahir. Hal itu yang memungkinkan konkretisasi cita “Indonesia Bersih 2045”.[12] Walapun restorasi kebudayaan membutuhkan waktu yang panjang, namun hal itu tidak pernah absurd untuk dilakukan.

No comments:

Post a Comment