Tidak dapat disangkal, tanggal 09 April 2014, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengadakan pesta demokrasi. Rakyat
Indonesia diundang dan diajak bahkan diberi kesempatan seluas-luasnya
untuk mengikuti pesta demokrasi ini. Secara khusus mereka yang telah
memenuhi persyaratan untuk terlibat aktif dalam pesta demokrasi ini,
sebut saja, mereka yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih dan
dipilih menjadi wakil rakyat Indonesia periode 2014-2019 diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka yang
berhak memilih dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas untuk memilih
legislator terbaik bagi Indonesia tercinta. Sementara itu mereka yang
berhak dipilih menikmati haknya pada waktu itu dengan penuh harap,
sekiranya ia dipercaya rakyat untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), entah di kabupaten/kota, provinsi maupun tingkat nasional.
Sebelum
pesta demokrasi itu dinikmati rakyat Indonesia, terlebih dahulu rakyat
didatangi partai-partai politik dalam bingkai kampanye. Tiga belas
partai politik (parpol) nasional dan tiga parpol lokal yang
diperkenankan Republik Indonesia untuk meramaikan pesta demokrasi,
memanfaatkan masa kampanye tersebut secara optimal. Beragam cara dan
aneka jurus digunakan parpol-parpol itu semasa kampanye demi memenangkan
partainya dan terutama para calon legislatif (caleg) yang diusungnya.
Setiap partai berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan rakyat bahwa
partainya adalah yang terbaik dan para calegnya adalah yang paling
pantas dan layak mewakili rakyat Indonesia untuk duduk di kursi-kursi
DPR dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Tentu apa
yang dilakukan para parpol semasa kampanye ini adalah bagian utuh dari
dinamika demokrasi Indonesia. Ketika rakyat didatangi parpol, itu
artinya rakyat sedang dimintai restu dan dukungannya untuk kemenangan
parpol (dan tentu juga para calegnya). Lebih jauh dari itu, saya
mengatakan bahwa aksi parpol menjumpai rakyat selama masa kampanye
adalah ekspresi luhur dari pengakuan atas diri rakyat sebagai pemilik
kedaulatan penuh dalam tubuh NKRI. Parpol peserta pemilihan legislative
(pileg) dalam kesatuan dengan para calegnya menyadari bahwa dalam negara
kesatuan republik yang menganut sistem demokrasi, sesungguhnya rakyat
adalah subjek pemerintahan dan pemegang kedaulatan tertinggi. Kesadaran
parpol dan para calegnya telah terkristalisasi dan teraktualisasi dalam
aksi menjumpai rakyat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke selama
masa kampanye.
Bagi saya tindakan tersebut telah
sesuai dengan hakekat demokrasi Indonesia. Sistem demokrasi yang
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan disadari para parpol dan
calegnya sehingga mereka pun pentransit (berkeliling) dari
daerah ke daerah untuk mendapatkan limpahan kedaulatan rakyat atas diri
mereka. Dengan menyaksikan semangat dan daya juang mereka untuk
menjumpai rakyat hingga daerah-daerah terpencil guna mendapatkan
kedaulatan rakyat tersebut, dapat disimpulkan bahwa demokrasi Indonesia
sedang bertumbuh dan berkembang. Di sini saya boleh berbangga dengan
parpol dan para caleg yang gesit memanfaatkan peluang semasa kampanye
sebab mereka secara tidak langsung telah menunjukan dan membuktikan pada
dunia kalau demokrasi Indonesia tidak hanya sebatas slogan, semboyan
dan formalitas sistem negaranya. Demokrasinya terus bertumbuh dan
berkembang seiring perputaran waktu dalam dalam kerangka aturan main
yang berlaku di tanah air tercinta.
Namun setelah menyimak content
(isi) atau kualitas aksi dari partai politik bersama para calegnya
selama masa kampanye, timbul pertanyaan dalam hati, ‘Quo vadis demokrasi
Indonesia?’. Demokrasi Indonesia mau dibawa kemana kalau cara-cara yang
digunakan parpol dan para calegnya sangat murahan dan bahkan tidak
beradab? Gaya mencari dan mendapatkan simpati rakyat hingga meyakinkan
rakyat untuk melimpahkan kedaulatannya kepada para caleg dan parpol
melalui money politics- bagi-bagi uang saat kampanye, panggung
hiburan-menurunkan artis saat kampanye, kunjungan ke panti jompo dan
panti asuhan untuk sekedar makan siang bersama lalu menceritakan segala
kehebatan, orasi politik di tempat-tempat terbuka untuk mengumbar
janji-janji manis, blusukan ke pasar-pasar dan kampung-kampung
sekedar untuk menyatakan diri sebagai representan (wakil) dari kaum
kecil dan sederhana sambil melepas senyum sinis dan bagi-bagi kartu
nama, tampil di televisi dan media massa dalam beragam rupa guna
meyakinkan rakyat Indonesia adalah fenomena kampanye murahan yang
dimainkan para caleg dan kendaraan-kendaraan politiknya. Kampanye
murahan seperti ini menunjukan ketidaknormalan dari pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi Indonesia.
Ketidaknormalan pertumbuhan demokrasi yang disebabkan black campaign
(kampanye hitam) sebagaimana diuraikan di atas berlandas pada beberapa
pertimbangan partai politik dan para calegnya. Pertimbangan pertama,
negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sudah pasti
belum matang dalam berdemokrasi. Pertimbangan ini diikuti analisa,
‘kalau belum matang berdemokrasi maka demokrasi dapat dipermainkan
sesuka hati, asal legislatornya untuk periode 2014-2019 ada sehingga
negara lain mengakui bahwa sistem negaranya tetap berjalan’.
Pertimbangan kedua, ekonomi rakyat yang morat-marit, bagai kerakap
tumbuh di batu: hidup enggan, mati tak sudi. Pertimbangan ini diikuti
analisa, ‘kalau pendapatan rakyatnya rendah, dengan sendirinya
menggampangkan parpol dan para caleg untuk melancarkan money politics
sebab rakyat yang berpenghasilan rendah membutuhkan uang untuk
keberlangsungan hidupnya. Dengan uang kedaulatan rakyat gampang
didapat’. Pertimbangan ketiga, sumber daya manusia (SDM) yang rendah.
Rendahnya sumber daya rakyat Indonesia diikuti analisa, ‘Kalau sumber
daya rakyat rendah, besar kemungkinan mereka tidak tahu dan tidak
memahami politik, apalagi demokrasi Indonesia yang berlandas pada
pancasila secara benar dan tepat. Karenanya kalau kita membelokan
hakekat demokrasi atau setidaknya memainkan kampanye hitam, toh mereka
tidak tahu dan tidak protes.
Bagi rakyat, yang terpenting adalah calon
anggota dewan membagi sedikit uang kepada mereka dan tanggal 09 April
mereka ikut pesta demokrasi lalu mereka memiliki DPR baru untuk lima
tahun ke depan’.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut
secara tidak langsung memberi titik aman bagi para caleg dan
parpol-parpol yang ada untuk lebih leluasa dalam spirit ‘semau gue’
memanfaatkan moment kampanye demi meraup suara terbanyak pada hari H
pelaksanaan pileg. Parpol dan para caleg bebas menampilkan dirinya
sebagai Machiavellian sepanjang masa kampanye. Segala cara
dapat digunakan sepanjang masa kampanye demi menggapai kursi empuk di
parlemen. Di sini, fokus parpol dan caleg semata pada tujuan dan bukan
pada proses. Prosesnya baik atau tidak baik, bermartabat atau tidak
bermartabat sungguh tidak dipersoalkan parpol dan caleg sebab sasarannya
bukan pada proses melainkan tujuan dari proses itu sehingga kalau
memang situasi menuntut black campaign, parpol dan caleg segera menggunakannya demi mengamankan targetnya.
Prinsip
dan gaya kampanye yang demikian menampakan sandiwara politik yang
memprihatinkan dan boleh dibilang memalukan. Bagaimana mungkin partai
politik dan caleg-calegnya sesuka hati mendatangi rakyat yang adalah
pemegang kedaulatan tertinggi dan segampang mungkin merayu rakyat dengan
aneka caranya untuk mendapatkan kedaulatan rakyat? Bukankah rakyat di
sini adalah tuan yang mesti dijumpai dengan cara yang santun dan
bermartabat demi mendapatkan kedaulatannya selama lima tahun ke depan?
Mengapa mereka dijumpai dengan hiburan panggung? Adakah mereka tidak
lebih dari gerombolan anak muda yang lagi stress menata hidup sehingga
butuh hiburan panggung? Mengapa mereka didatangi dengan selembar lima
puluh ribu rupiah? Adakah kedaulatan mereka tak lebih dari sepotong baju
di pasar seharga lima puluh ribu rupiah? Mengapa mereka disapa dengan
sederetan janji manis yang tiada mungkin terwujudkan? Adakah mereka tak
lebih dari pasangan-pasangan muda yang sedang fall in love
(jatuh cinta) sehingga membutuhkan kata-kata pujian dan rangkaian
janji-janji manis? Mengapa pada mereka ditinggalkan kartu-kartu nama
caleg? Adakah mereka tidak lebih dari kolektor kertas dan kartu untuk
selanjutnya ditimbang demi mendapatkan rejeki tambahan guna menyambung
hidup hari esok?
Black campaign yang
dijalankan para caleg dengan kendaraan politiknya menuju pesta demokrasi
berujung perendahan martabat dan derajat rakyat Indonesia sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi dalam negeri ini. Kenyataan ini
menghadirkan pertanyaan maha penting terkait eksistensi (keberadaan)
demokrasi Indonesia: Quo vadis (kemanakah, kearah mana) demokrasi
Indonesia lima tahun ke depan?
Pertanyaan tersebut
tidak dimaksudkan sebagai ekspresi kekecewaan seorang anak negeri atas
realita miris yang hadir di atas panggung politik sebelum pesta
demokrasi. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan reflektif untuk saban
insan pencinta demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia sedang tidak
sehat. Anda dan saya tidak bisa duduk berpangku tangan. Kita dimandatkan
ibu pertiwi untuk segera menyelamatkan demokrasi bangsa. Kita bangkit
bersama, membebaskan diri dari black campaign dan memberi
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada rakyat Indonesia sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi dalam negeri ini. Dalam semangat
kebangkitan itu, bersama media massa kita sadarkan sekaligus arahkan
parpol-parpol yang ada dengan para calegnya agar menyadari kesalahannya
dan segera kembali ke jalan yang benar. Kampanye yang dilakukan mestinya
bermartabat dan aksi menjumpai rakyat semasa kampanye harus lebih
santun dan memastikan rakyat sungguh menjadi pemegang kedaulatan
tertinggi dalam NKRI. Kampanye yang demikian menjamin pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik sehingga
pertanyaan, Quo vadis demokrasi Indonesia pun terjawabi. Selamat menuju
pesta demokrasi. Pastikan demokrasi Indonesia terus bertumbuh dan
berkembang ke arah yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment