Tuesday, 3 June 2014

Membangun Demokrasi - Quo Vadis Demokrasi Indonesia?

Tidak dapat disangkal, tanggal 09 April 2014, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengadakan pesta demokrasi. Rakyat Indonesia diundang dan diajak bahkan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengikuti pesta demokrasi ini. Secara khusus mereka yang telah memenuhi persyaratan untuk terlibat aktif dalam pesta demokrasi ini, sebut saja, mereka yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih dan dipilih menjadi wakil rakyat Indonesia periode 2014-2019 diberi kesempatan seluas-luasnya  untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka yang berhak memilih dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas untuk memilih legislator terbaik bagi Indonesia tercinta. Sementara itu mereka yang berhak dipilih menikmati haknya pada waktu itu dengan penuh harap, sekiranya ia dipercaya rakyat untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), entah di kabupaten/kota, provinsi maupun tingkat nasional.

Sebelum pesta demokrasi itu dinikmati rakyat Indonesia, terlebih dahulu rakyat didatangi partai-partai politik dalam bingkai kampanye. Tiga belas partai politik (parpol) nasional dan tiga parpol lokal yang diperkenankan Republik Indonesia untuk meramaikan pesta demokrasi, memanfaatkan masa kampanye tersebut secara optimal. Beragam cara dan aneka jurus digunakan parpol-parpol itu semasa kampanye demi memenangkan partainya dan terutama para calon legislatif (caleg) yang diusungnya. Setiap partai berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan rakyat bahwa partainya adalah yang terbaik dan para calegnya adalah yang paling pantas dan layak mewakili rakyat Indonesia untuk duduk di kursi-kursi DPR dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Tentu apa yang dilakukan para parpol semasa kampanye ini adalah bagian utuh dari dinamika demokrasi Indonesia. Ketika rakyat didatangi parpol, itu artinya rakyat sedang dimintai restu dan dukungannya untuk kemenangan parpol (dan tentu juga para calegnya). Lebih jauh dari itu, saya mengatakan bahwa aksi parpol menjumpai rakyat selama masa kampanye adalah ekspresi luhur dari pengakuan atas diri rakyat sebagai pemilik kedaulatan penuh dalam tubuh NKRI. Parpol peserta pemilihan legislative (pileg) dalam kesatuan dengan para calegnya menyadari bahwa dalam negara kesatuan republik yang menganut sistem demokrasi, sesungguhnya rakyat adalah subjek pemerintahan dan pemegang kedaulatan tertinggi. Kesadaran parpol dan para calegnya telah terkristalisasi dan teraktualisasi dalam aksi menjumpai rakyat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke selama masa kampanye.

Bagi saya tindakan tersebut telah sesuai dengan hakekat demokrasi Indonesia. Sistem demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan disadari para parpol dan calegnya sehingga mereka pun pentransit (berkeliling) dari daerah ke daerah untuk mendapatkan limpahan kedaulatan rakyat atas diri mereka. Dengan menyaksikan semangat dan daya juang mereka untuk menjumpai rakyat hingga daerah-daerah terpencil guna mendapatkan kedaulatan rakyat tersebut, dapat disimpulkan bahwa demokrasi Indonesia sedang bertumbuh dan berkembang. Di sini saya boleh berbangga dengan parpol dan para caleg yang gesit memanfaatkan peluang semasa kampanye sebab mereka secara tidak langsung telah menunjukan dan membuktikan pada dunia kalau demokrasi Indonesia tidak hanya sebatas slogan, semboyan dan formalitas sistem negaranya. Demokrasinya terus bertumbuh dan berkembang seiring perputaran waktu dalam dalam kerangka aturan main yang berlaku di tanah air tercinta. 

Namun setelah menyimak content (isi) atau kualitas aksi dari partai politik bersama para calegnya selama masa kampanye, timbul pertanyaan dalam hati, ‘Quo vadis demokrasi Indonesia?’. Demokrasi Indonesia mau dibawa kemana kalau cara-cara yang digunakan parpol dan para calegnya sangat murahan dan bahkan tidak beradab? Gaya mencari dan mendapatkan simpati rakyat hingga meyakinkan rakyat untuk melimpahkan kedaulatannya kepada para caleg dan parpol melalui money politics- bagi-bagi uang saat kampanye, panggung hiburan-menurunkan artis saat kampanye, kunjungan ke panti jompo dan panti asuhan untuk sekedar makan siang bersama lalu menceritakan segala  kehebatan, orasi politik di tempat-tempat terbuka untuk mengumbar janji-janji manis, blusukan ke pasar-pasar dan kampung-kampung sekedar untuk menyatakan diri sebagai representan (wakil) dari kaum kecil dan sederhana sambil melepas senyum sinis dan bagi-bagi kartu nama, tampil di televisi dan media massa dalam beragam rupa guna meyakinkan rakyat Indonesia adalah fenomena kampanye murahan yang dimainkan para caleg dan kendaraan-kendaraan politiknya. Kampanye murahan seperti ini menunjukan ketidaknormalan dari pertumbuhan dan perkembangan demokrasi Indonesia.

Ketidaknormalan pertumbuhan demokrasi yang disebabkan black campaign (kampanye hitam) sebagaimana diuraikan di atas berlandas pada beberapa pertimbangan partai politik dan para calegnya. Pertimbangan pertama, negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sudah pasti belum matang dalam berdemokrasi. Pertimbangan ini diikuti analisa, ‘kalau belum matang berdemokrasi maka demokrasi dapat dipermainkan sesuka hati, asal legislatornya untuk periode 2014-2019 ada sehingga negara lain mengakui bahwa sistem negaranya tetap berjalan’. Pertimbangan kedua, ekonomi rakyat yang morat-marit, bagai kerakap tumbuh di batu: hidup enggan, mati tak sudi. Pertimbangan ini diikuti analisa, ‘kalau pendapatan rakyatnya rendah, dengan sendirinya menggampangkan parpol dan para caleg untuk melancarkan money politics sebab rakyat yang berpenghasilan rendah membutuhkan uang untuk keberlangsungan hidupnya. Dengan uang kedaulatan rakyat gampang didapat’. Pertimbangan ketiga, sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Rendahnya sumber daya rakyat Indonesia diikuti analisa, ‘Kalau sumber daya rakyat rendah, besar kemungkinan mereka tidak tahu dan tidak memahami politik, apalagi demokrasi Indonesia yang berlandas pada pancasila secara benar dan tepat. Karenanya kalau kita membelokan hakekat demokrasi atau setidaknya memainkan kampanye hitam, toh mereka tidak tahu dan tidak protes. 

Bagi rakyat, yang terpenting adalah calon anggota dewan membagi sedikit uang kepada mereka dan tanggal 09 April mereka ikut pesta demokrasi lalu mereka memiliki DPR baru untuk lima tahun ke depan’.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut secara tidak langsung memberi titik aman bagi para caleg dan parpol-parpol yang ada untuk lebih leluasa dalam spirit ‘semau gue’ memanfaatkan moment kampanye demi meraup suara terbanyak pada hari H pelaksanaan pileg. Parpol dan para caleg bebas menampilkan dirinya sebagai Machiavellian sepanjang masa kampanye. Segala cara dapat digunakan sepanjang masa kampanye demi menggapai kursi empuk di parlemen. Di sini, fokus parpol dan caleg semata pada tujuan dan bukan pada proses. Prosesnya baik atau tidak baik, bermartabat atau tidak bermartabat sungguh tidak dipersoalkan parpol dan caleg sebab sasarannya bukan pada proses melainkan tujuan dari proses itu sehingga kalau memang situasi menuntut black campaign, parpol dan caleg segera menggunakannya demi mengamankan targetnya.

Prinsip dan gaya kampanye yang demikian menampakan sandiwara politik yang memprihatinkan dan boleh dibilang memalukan. Bagaimana mungkin partai politik dan caleg-calegnya sesuka hati mendatangi rakyat yang adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan segampang mungkin merayu rakyat dengan aneka caranya untuk mendapatkan kedaulatan rakyat? Bukankah rakyat di sini adalah tuan yang mesti dijumpai dengan cara yang santun dan bermartabat demi mendapatkan kedaulatannya selama lima tahun ke depan? Mengapa mereka dijumpai dengan hiburan panggung? Adakah mereka tidak lebih dari gerombolan anak muda yang lagi stress menata hidup sehingga butuh hiburan panggung? Mengapa mereka didatangi dengan selembar lima puluh ribu rupiah? Adakah kedaulatan mereka tak lebih dari sepotong baju di pasar seharga lima puluh ribu rupiah? Mengapa mereka disapa dengan sederetan janji manis yang tiada mungkin terwujudkan? Adakah mereka tak lebih dari pasangan-pasangan muda yang sedang fall in love (jatuh cinta) sehingga membutuhkan kata-kata pujian dan rangkaian janji-janji manis? Mengapa pada mereka ditinggalkan kartu-kartu nama caleg? Adakah mereka tidak lebih dari kolektor kertas dan kartu untuk selanjutnya ditimbang demi mendapatkan rejeki tambahan guna menyambung hidup hari esok?

Black campaign yang dijalankan para caleg dengan kendaraan politiknya menuju pesta demokrasi berujung perendahan martabat dan derajat rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan  tertinggi dalam negeri ini. Kenyataan ini  menghadirkan pertanyaan maha penting terkait eksistensi (keberadaan) demokrasi Indonesia: Quo vadis (kemanakah, kearah mana) demokrasi Indonesia lima tahun ke depan?

Pertanyaan tersebut tidak dimaksudkan sebagai ekspresi kekecewaan seorang anak negeri atas realita miris yang hadir di atas panggung politik sebelum pesta demokrasi. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan reflektif untuk saban insan pencinta demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia sedang tidak sehat. Anda dan saya tidak bisa duduk berpangku tangan. Kita dimandatkan ibu pertiwi untuk segera menyelamatkan demokrasi bangsa. Kita bangkit bersama, membebaskan diri dari black campaign dan memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negeri ini. Dalam semangat kebangkitan itu, bersama media massa kita sadarkan sekaligus arahkan parpol-parpol yang ada dengan para calegnya agar menyadari kesalahannya dan segera kembali ke jalan yang benar. Kampanye yang dilakukan mestinya bermartabat dan aksi menjumpai rakyat semasa kampanye harus lebih santun dan memastikan rakyat sungguh menjadi pemegang kedaulatan tertinggi dalam NKRI. Kampanye yang demikian menjamin pertumbuhan dan perkembangan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik sehingga pertanyaan, Quo vadis demokrasi Indonesia pun terjawabi. Selamat menuju pesta demokrasi. Pastikan demokrasi Indonesia terus bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment