Perkembangan jaman telah melahirkan generasi berbeda dari peserta
didik. Mereka adalah para Generasi Z atau lebih dikenal dengan sebutan net generation yang
merupakan generasi terkini yang terlahir sesudah tahun 1994. Begitu
terlahir, mereka langsung “menggenggam mouse”. Generasi digital ini
banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan
bersosialisasi.
Guru sekarang, seharusnya berbeda dengan guru dahulu. Perkembangan jaman dengan kondisinya yang semakin dinamis tentu saja melahirkan generasi berbeda dari peserta didik. Itulah satu hal utama untuk alasan perubahan tersebut. Bertahan pada kondisi lama, bagi seorang guru sama dengan pengingkaran terhadap profesi keguruannya yang telah disyaratkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Maka sudah sepatutnya seorang guru memberikan empat macam kompetensinya kepada siswa, yaitu pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial sesuai dengan tuntutan UUGD tersebut.
Dulu, seorang guru masih bertindak sebagai penguasa kelas, dengan segala otoritasnya dia akan menjadikan dirinya ekslussive, membangun pola hubungan top-down (vertikal) dengan murid serta bersikap individual. Perkembangan teknologi informasi, meminggirkan ketiga gaya guru lama tersebut. Bergesernya pola relasi akibat perkembangan jaman ini, mengharuskan seorang guru menjadi inklusif, hubungan guru dan murid sejajar (horisontal) dan guru menjadi lebih terbuka terhadap siswanya.
Tapscott, juga telah mengatakan dalam Growing up Digital (1998), bahwa proses belajar dalam kebudayaan global mempunyai ciri antara lain, bahwa guru bertindak sebagai fasilitator, proses belajar adalah sesuatu yang menyesuaikan dengan siswa (costumized), sekolah sebagai pusat untuk bergembira, dan pembelajaran berpusat kepada siswa.
Kondisi ini akan membawa muara pembelajaran yang konstruktif. Bahwa belajar itu melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya, sehingga para siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.
Artinya Kelahiran net generation telahmenghilangkan mitos bahwa guru adalah satu-satunya sumber utama yang dijadikan rujukan siswa dalam mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Pembelajaran tidak lagi berpusat kepada guru, guru kini tidak bisa secara otoriter memberikan informasi yang sepihak. Hal ini menuntut seorang guru harus bergerak secara masif untuk segera berbenah.
Namun kenyataan yang terpapar berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia pada 14 Maret 2013 mengejutkan banyak pihak. bahwa para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum, nyatanya menunjukkan prestasi yang relatif sama. Artinya perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional setelah program sertifikasi tidak berdampak secara signifikan.
Penelitian tersebut dilakukan sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP. (Kompas, 12 Juni 2013)
Sehingga tidak salah jika kemudian muncul mitos baru yang menggantikan mitos pahlawan tanpa tanda jasa menjadi guru materialistik. Pembiaran terhadap hal ini tentu akan menodai upaya perbaikan guru yang selama ini telah dibangun. Naik daunnya profesi guru nyaris karena alasan peningkatan ekonomi yang mereka peroleh. Inilah yang menjadi kekhawatiran, jiwa keguruan akan menjadi memudar.
Guru yang sudah ada perlu terus diarahkan melalui karena guru kini mempunyai peran yang lebih berat, yaitu menjadi fasilitator dalam setiap pembelajarannya. Dibutuhkan kompetensi yang harus terus diasah dan dikembangkan melalui berbagai program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), yaitu Penguasaan kompetensi, pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovasi.
Pun demikian, guru tidak akan mampu membangun motivasi intrinsik nya tanpa pengaruh dari luar dirinya. Fungsi dan peran kepala serta pengawas sekolah mutlak diperlukan. Kompetensi supervisi yang mereka miliki adalah garda terdepan dalam upaya membantu guru dalam mendongkrak perubahan kualitas pembelajarannya hingga kedalam kelas.
Artinya optimalisasi peran keduanya perlu dilakukan. Diawali dengan perbaikan mekanisme rekruitmen kepala dan pengawas sekolah, pun demikian dengan pembenahan kapasitas mereka, tidak boleh terpinggirkan. Karena relasi guru – pengawas – kepala sekolah adalah satu mata rantai yang akan membawa pendidikan ini kepada arah yang dicitakan.
Guru sekarang, seharusnya berbeda dengan guru dahulu. Perkembangan jaman dengan kondisinya yang semakin dinamis tentu saja melahirkan generasi berbeda dari peserta didik. Itulah satu hal utama untuk alasan perubahan tersebut. Bertahan pada kondisi lama, bagi seorang guru sama dengan pengingkaran terhadap profesi keguruannya yang telah disyaratkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Maka sudah sepatutnya seorang guru memberikan empat macam kompetensinya kepada siswa, yaitu pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial sesuai dengan tuntutan UUGD tersebut.
Dulu, seorang guru masih bertindak sebagai penguasa kelas, dengan segala otoritasnya dia akan menjadikan dirinya ekslussive, membangun pola hubungan top-down (vertikal) dengan murid serta bersikap individual. Perkembangan teknologi informasi, meminggirkan ketiga gaya guru lama tersebut. Bergesernya pola relasi akibat perkembangan jaman ini, mengharuskan seorang guru menjadi inklusif, hubungan guru dan murid sejajar (horisontal) dan guru menjadi lebih terbuka terhadap siswanya.
Tapscott, juga telah mengatakan dalam Growing up Digital (1998), bahwa proses belajar dalam kebudayaan global mempunyai ciri antara lain, bahwa guru bertindak sebagai fasilitator, proses belajar adalah sesuatu yang menyesuaikan dengan siswa (costumized), sekolah sebagai pusat untuk bergembira, dan pembelajaran berpusat kepada siswa.
Kondisi ini akan membawa muara pembelajaran yang konstruktif. Bahwa belajar itu melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya, sehingga para siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.
Artinya Kelahiran net generation telahmenghilangkan mitos bahwa guru adalah satu-satunya sumber utama yang dijadikan rujukan siswa dalam mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Pembelajaran tidak lagi berpusat kepada guru, guru kini tidak bisa secara otoriter memberikan informasi yang sepihak. Hal ini menuntut seorang guru harus bergerak secara masif untuk segera berbenah.
Namun kenyataan yang terpapar berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia pada 14 Maret 2013 mengejutkan banyak pihak. bahwa para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum, nyatanya menunjukkan prestasi yang relatif sama. Artinya perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional setelah program sertifikasi tidak berdampak secara signifikan.
Penelitian tersebut dilakukan sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP. (Kompas, 12 Juni 2013)
Sehingga tidak salah jika kemudian muncul mitos baru yang menggantikan mitos pahlawan tanpa tanda jasa menjadi guru materialistik. Pembiaran terhadap hal ini tentu akan menodai upaya perbaikan guru yang selama ini telah dibangun. Naik daunnya profesi guru nyaris karena alasan peningkatan ekonomi yang mereka peroleh. Inilah yang menjadi kekhawatiran, jiwa keguruan akan menjadi memudar.
Guru yang sudah ada perlu terus diarahkan melalui karena guru kini mempunyai peran yang lebih berat, yaitu menjadi fasilitator dalam setiap pembelajarannya. Dibutuhkan kompetensi yang harus terus diasah dan dikembangkan melalui berbagai program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), yaitu Penguasaan kompetensi, pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovasi.
Pun demikian, guru tidak akan mampu membangun motivasi intrinsik nya tanpa pengaruh dari luar dirinya. Fungsi dan peran kepala serta pengawas sekolah mutlak diperlukan. Kompetensi supervisi yang mereka miliki adalah garda terdepan dalam upaya membantu guru dalam mendongkrak perubahan kualitas pembelajarannya hingga kedalam kelas.
Artinya optimalisasi peran keduanya perlu dilakukan. Diawali dengan perbaikan mekanisme rekruitmen kepala dan pengawas sekolah, pun demikian dengan pembenahan kapasitas mereka, tidak boleh terpinggirkan. Karena relasi guru – pengawas – kepala sekolah adalah satu mata rantai yang akan membawa pendidikan ini kepada arah yang dicitakan.
No comments:
Post a Comment