Kabut masih membalut pagi, tetes-tetes embun bergerak pelan di
ujung-ujung daun, bersiap menghempas tanah. Langkah-langkah kecil
anak-anak Grumbul Cibun berderap cepat, secepat aliran Sungai
Logawa yang melintasi jalan setapak. Kala itu awal Januari, hujan masih
menjadi-jadi, air sungai pun meluap-luap. Tapi tak ada pilihan, mereka
harus melintasi arus deras itu untuk sekolah, beberapa bambu yang
disusun sedemikian rupa dengan kawat tebal di salah satu sisi menjadi
jembatan mereka.
Kalau tak mau melewati derasnya arus Logawa mereka harus berputar melewati hutan di kaki Gunung Slamet dan perjalanan akan menjadi empat atau lima kali lebih jauh. Itulah keseharian anak-anak Cibun, kalau hujan begitu deras dan menghanyutkan jembatan bambu mereka, maka tak ada pilihan selain meliburkan diri. “Nek jembatane keli, yo mesti libur,” kalau jembatannya hanyut, ya harus libur. Begitu kata anak-anak disana ketika itu.
Itu peristiwa sebelum 2002 lalu, beruntung pada 2003 sebuah jembatan permanen berwarna merah dibangun megah melewati Logawa. Anak-anak Cibun cukup beruntung karena akhirnya bisa sekolah dengan lancar. Grumbul Cibun adalah bagian dari Desa Sunyalangu, Karang Lewas, Banyumas. Sebuah satuan pemukiman kecil yang ada di kaki Gunung Slamet. Keberuntungan Cibun belum tentu dirasakan oleh ribuan anak-anak di berbagai pelosok terpencil nusantara, menyabung nyawa hanya untuk sekolah.
Lain Cibun lain pula kisah anak-anak orang rimba yang luput dari perhatian negara. Pendidikan bagi sebagian besar mereka tak tersentuh, impian akan perbaikan nasib hanya sebatas harapan yang mengambang di atas awan, tak terjangkau.
Bayangkan,
orang rimba adalah entitas yang menjadikan hutan sebagai ruang hidup
sekaligus simbol kultural mereka. Di hutan-hutan dataran rendah Sumatera
Selatan dan Jambi mereka berdiam. Pusatnya di Taman Nasional Bukit Dua
Belas, sekian lama ruang hidup mereka ini dicecar pemburu harta, hutan
mereka dirampas dan sumber penghidupan mereka pun tergilas. Mulai dari
masa-masa illegal logging dulu hingga masa-masa pemberian izin pengelolaan hutan dan HGU (Hak Guna Usaha) dikeluarkan negara.
Tapi negara lupa dan lalai akan nasib orang rimba, anak-anak orang rimba nyaris tanpa akses terhadap pendidikan formal. Mereka pun tak didekati secara kultural, jadilah mereka anak-anak negeri yang nyaris tanpa harapan dan masa depan.
Satu Asa
Sebuah hal yang kerap menghantui kita adalah bagaimana melahirkan sebuah sistem pendidikan yang genuine dan khas Indonesia. Tetapi bukan berarti sistem atau pola yang tradisional, melainkan sebuah sistem atau pola yang bisa mengantisipasi perubahan zaman di satu sisi tetapi juga bisa mangakomodasi keragaman geografis, budaya dan sejarah negeri ini di sisi lain. Kemudian pendidikan alternatif itu juga harus mampu menerobos batas-batas formal. Seperti fasilitas sekolah harus bergedung, sekolah harus ada di ruangan dan segala hal yang bersifat penunjang tak harus selalu dengan standar kota.
Pendidikan berbasis komunitas, proses pendidikan yang menjadikan komunitas sebagai basis utama dalam pendidikan. Konsep ini adalah adopsi dari konsepsi demokrasi, dari, oleh dan untuk komunitas. Pendidikan dibangun atas inisiatif komunitas, dikelola komunitas dan ditujukan untuk komunitas itu sendiri.
Dalam bahasa lain, pendidikan ini bersifat semi formal, dimana tenaga guru, kurikulum dan pelaksanaannya dikelola komunitas namun pendampingan dan juga standarisasi dilakukan oleh negara, dalam hal ini Departemen Pendidikan. Tentu kita akan membayangkan pendidikan non formal setingkat paket A atau B atau lainnya. Namun ini berbeda, pendidikan berbasis komunitas lahir dari keinginan komunitas. Bisa jadi lahir ide untuk membuat sekolah setingkat SD, karena di sebuah dusun terpencil di Kalimantan sana tak ada sekolah. Lalu guru diambilkan dari komunitas itu sendiri. Penyusunan kurikulum (apa saja yang ingin dipelajari) dilakukan oleh komunitas demikian juga dengan pengelolaannya. Negara hanya mendampingi dan mensubsidi pendanaan.
Secara lebih jelas berikut karakter pendidikan berbasis komunitas,
Tentu saja konsep ini diperuntukkan bagi komunitas dengan kondisi yang khas (khusus), misal saja kawasan terpencil, kelompok masyarakat tertentu yang secara budaya atau sosial memiliki kekhususan, suku-suku marjinal misalnya atau komunitas pemilah sampah.
Pada akhirnya satu asa yang lahir dari dua kisah dalam tulisan ini adalah bentuk ikhtiar penulis dalam mencoba memberi kontribusi atas banyaknya permasalahan pendidikan di tanah air. Tantangan pendidikan nasional kita salah satunya adalah heterogenitas budaya, sejarah, geografis, sosial dan ekonomi bangsa ini. Pendidikan berbasis komunitas ini adalah salah satu jalan yang bisa dicoba.
Kalau tak mau melewati derasnya arus Logawa mereka harus berputar melewati hutan di kaki Gunung Slamet dan perjalanan akan menjadi empat atau lima kali lebih jauh. Itulah keseharian anak-anak Cibun, kalau hujan begitu deras dan menghanyutkan jembatan bambu mereka, maka tak ada pilihan selain meliburkan diri. “Nek jembatane keli, yo mesti libur,” kalau jembatannya hanyut, ya harus libur. Begitu kata anak-anak disana ketika itu.
Itu peristiwa sebelum 2002 lalu, beruntung pada 2003 sebuah jembatan permanen berwarna merah dibangun megah melewati Logawa. Anak-anak Cibun cukup beruntung karena akhirnya bisa sekolah dengan lancar. Grumbul Cibun adalah bagian dari Desa Sunyalangu, Karang Lewas, Banyumas. Sebuah satuan pemukiman kecil yang ada di kaki Gunung Slamet. Keberuntungan Cibun belum tentu dirasakan oleh ribuan anak-anak di berbagai pelosok terpencil nusantara, menyabung nyawa hanya untuk sekolah.
Lain Cibun lain pula kisah anak-anak orang rimba yang luput dari perhatian negara. Pendidikan bagi sebagian besar mereka tak tersentuh, impian akan perbaikan nasib hanya sebatas harapan yang mengambang di atas awan, tak terjangkau.
Tapi negara lupa dan lalai akan nasib orang rimba, anak-anak orang rimba nyaris tanpa akses terhadap pendidikan formal. Mereka pun tak didekati secara kultural, jadilah mereka anak-anak negeri yang nyaris tanpa harapan dan masa depan.
Satu Asa
Sebuah hal yang kerap menghantui kita adalah bagaimana melahirkan sebuah sistem pendidikan yang genuine dan khas Indonesia. Tetapi bukan berarti sistem atau pola yang tradisional, melainkan sebuah sistem atau pola yang bisa mengantisipasi perubahan zaman di satu sisi tetapi juga bisa mangakomodasi keragaman geografis, budaya dan sejarah negeri ini di sisi lain. Kemudian pendidikan alternatif itu juga harus mampu menerobos batas-batas formal. Seperti fasilitas sekolah harus bergedung, sekolah harus ada di ruangan dan segala hal yang bersifat penunjang tak harus selalu dengan standar kota.
Pendidikan berbasis komunitas, proses pendidikan yang menjadikan komunitas sebagai basis utama dalam pendidikan. Konsep ini adalah adopsi dari konsepsi demokrasi, dari, oleh dan untuk komunitas. Pendidikan dibangun atas inisiatif komunitas, dikelola komunitas dan ditujukan untuk komunitas itu sendiri.
Dalam bahasa lain, pendidikan ini bersifat semi formal, dimana tenaga guru, kurikulum dan pelaksanaannya dikelola komunitas namun pendampingan dan juga standarisasi dilakukan oleh negara, dalam hal ini Departemen Pendidikan. Tentu kita akan membayangkan pendidikan non formal setingkat paket A atau B atau lainnya. Namun ini berbeda, pendidikan berbasis komunitas lahir dari keinginan komunitas. Bisa jadi lahir ide untuk membuat sekolah setingkat SD, karena di sebuah dusun terpencil di Kalimantan sana tak ada sekolah. Lalu guru diambilkan dari komunitas itu sendiri. Penyusunan kurikulum (apa saja yang ingin dipelajari) dilakukan oleh komunitas demikian juga dengan pengelolaannya. Negara hanya mendampingi dan mensubsidi pendanaan.
Secara lebih jelas berikut karakter pendidikan berbasis komunitas,
Instrumen
|
Pendidikan Berbasis Komunitas
|
Peran Negara
|
Inisiatif | Komunitas atau kelompok masyarakat tertentu yang menginginkan sebuah pendidikan khusus untuk menerobos kesulitan akses dan kondisi khusus lainnya | Formulasi inisiatif dan pendampingan proses pembentukan |
Pembiayaan | Dana kolektif komunitas | Subsidi melalui APBD atau APBN |
Sarana Prasarana | Menggunakan
sarana dan prasarana yang sudah ada di sekitar, ruang balai desa,
rumah-rumah penduduk atau apa saja yang disepakati komunitas. Intinya
tidak harus bergedung dan membangun tempat baru | Memberi dukungan fasilitas belajar seperti buku bacaan dan alat tulis |
Karakter Proses Belajar | Informal dan mengandalkan potensi yang sudah ada. | |
Fokus Belajar | Kemampuan dasar (Baca, Tulis dan Hitung) dan kurikulum spesifik yang disusun oleh komunitas dengan mempertimbangakan aspek sejarah, budaya dan geografis mereka | Mendampingi menyusun kurikulum khusus |
Tenaga Pengajar | Direkrut dari komunitas sendiri | Menempatkan satu atau dua guru untuk membantu proses |
Legalitas | Pengakuan dari Departemen Pendidikan (SK Khusus) | Pengakuan khusus atas lulusan dengan ujian khusus yang sangat khas, bukan Ujian Nasional |
Tentu saja konsep ini diperuntukkan bagi komunitas dengan kondisi yang khas (khusus), misal saja kawasan terpencil, kelompok masyarakat tertentu yang secara budaya atau sosial memiliki kekhususan, suku-suku marjinal misalnya atau komunitas pemilah sampah.
Pada akhirnya satu asa yang lahir dari dua kisah dalam tulisan ini adalah bentuk ikhtiar penulis dalam mencoba memberi kontribusi atas banyaknya permasalahan pendidikan di tanah air. Tantangan pendidikan nasional kita salah satunya adalah heterogenitas budaya, sejarah, geografis, sosial dan ekonomi bangsa ini. Pendidikan berbasis komunitas ini adalah salah satu jalan yang bisa dicoba.
No comments:
Post a Comment