Pemilu merupakan gelaran pesta demokrasi yang tak pernah
kekurangan peminat dalam pelaksanaannya baik yang memilih atau dipilih.
Tak terkecuali dengan pemilu 2014 yang kini menginjak masa kampanye
terbuka. Presiden cuti, anggota dewan cuti, menteri cuti, gubernur dan
wakilnya cuti, bupati dan walikota juga tak mau ketinggalan untuk cuti.
Ini adalah fenomena menarik yang terjadi di Republik Indonesia. Cuti
’massal’ ini terjadi pada masa pemilu, khususnya disaat masa kampanye
(terbuka). Kondisi ini bukanlah menyalahi aturan (karena ada aturannya
dan diperbolehkan pejabat cuti) tetapi sekiranya perlu dipertimbangkan
para pembuat kebijakan negeri ini untuk meninjaunya. Hal ini dikarenakan
memungkinkannya para pejabat negeri ini untuk “cuti berjama’ah” di masa
kampanye terbuka yang memakan waktu kurang lebih 3 minggu. Ini tentunya
akan berdampak pada pelaksanaan tugas negara yang diembannya. Karenanya
selama masa kampanye, untuk sementara Republik Indonesia berganti
menjadi republik autopilot.
Sistem autopilot diartikan sebagai sistem yang memandu sebuah kendaraan (umumnya diartikan pesawat) tanpa campur tangan dari manusia.
Kendaraan disini dianalogikan sebagai sebuah negara. Dimana didalamnya
terdapat bermacam-macam lembaga yang dipimpin oleh seorang kepala atau
pemimpin (anggota dewan, presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota)
tergantung ruang lingkup wilayah kerjanya dan rakyat sebagai
penumpangnya.
Salah satu aktor penting dalam
republik ini yaitu pejabat politik. Pejabat politik adalah pejabat yang
diraih atas dasar karir dan proses politik. Seperti anggota dewan,
presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota dan wakil-wakilnya.
Pejabat politik ini memiliki peran penting dalam pelaksanaan tugas pokok
dan fungsinya dalam pemerintahan. Mereka adalah pimpinan (pemimpin) di
lingkupnya masing-masing sekaligus pengendali utama disetiap posisi
penting penggerak roda pemerintahan. Tetapi, pada masa pemilu, peran
mereka ’diragukan’ efektivitas dan loyalitasnya terhadap negara, karena
tugas mereka terbagi antara negara dan partai. Dimana mereka dituntut
mengikuti kampanye pemilu demi kesuksesan partai nya dalam berkampanye
atau tetap melakukan tugasnya sebagai pejabat negara.
Dalam
republik autopilot ini, peran para pejabat untuk sementara ditiadakan
karena mereka akan disibukkan dengan kampanye masing-masing partainya.
Namanya juga pejabat politik, karena lahirnya mereka dari proses politik
yang diusung oleh parpol maka sebagai imbal balik mereka secara moriil
dan bahkan sistemik diharuskan membantu partai yang mengusungnya
menjadi pejabat politik dengan menjadi juru kampanye dan ’get voter’
dengan tujuan menyukseskan kampanye politik dari partainya dengan tujuan
agar partai mampu mendapatkan suara yang lebih banyak apabila pejabat
terkait muncul di tengah-tengah kampanye yang dilakukan.
Terlepas
dari bagaimana hasil kampanye dengan atau tanpa para pejabat-pejabat
yang menanggalkan tugas negara demi tugas partai ini. Muncul sebuah
pertanyaan dalam konteks ini, jika para pejabat ini berani menanggalkan
tugas negara maka bagaimana nasib negara, institusi atau lembaga yang
ditinggalkannya? Meski sementara, tugas yang ditinggalkan tersebut
meninggalkan kekosongan pimpinan. Ini berarti sistem yang ditinggalkan
akan berganti dari yang tadinya ’manual’ (digerakkan oleh manusia dalam
hal ini pejabat sebagai kepala) berubah menjadi ’semi automatis’ atau
bahkan ’automatis’ (tanpa pejabat kepala), disebut semi automatis
(autopilot) karena pejabat cuti 2 hari kerja selama satu minggu (masih
ada wakil).
Di republik autopilot ini, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi semua pihak berkepentingan untuk dipertimbangkan.
Pertama,
perihal rangkap jabatan para pejabat. Terlepas besar kecilnya pengaruh
dalam pemerintahan, ini diindikasikan dapat mengganggu kinerja
pemerintahan. Meskipun secara aturan hal itu diperbolehkan dan menjadi
hak pejabat negara. Idealnya, pejabat negara harus lebih mengedepankan
kepentingan publik bukan partai. Jadi secara norma dan etika, pejabat
negara adalah milik negara (rakyat), bukan milik partai.
Kedua,
perlu sanksi tegas terhadap pejabat berkaitan dengan penggunaan
fasilitas negara dalam kampanye. Hanya presiden yang diberikan fasilitas
yang melekat menurut Undang-Undang dan tetap diberikan fasilitas
pengawalan. Sementara pejabat daerah tak diijinkan menggunakan fasilitas
negara. Ini dilakukan karena fasilitas negara diperuntukkan hanya untuk
urusan kenegaraan, bukan pribadi atau partai.
Ketiga,
berkaitan dengan cuti pejabat, sekiranya perlu di tinjau kembali aturan
yang mengatur tentang cuti khususnya perihal rangkap jabatan (contoh:
disatu sisi sebagai anggota dewan, presiden, menteri, disisi lain
sebagai ketua partai). Hal ini dimaksudkan agar pejabat berkonsentrasi
dalam menunaikan tugasnya sebagai pejabat negara tanpa harus terbagi
dengan partai karena kepentingan partai dan negara jelas berbeda. Selain
itu, supaya menegaskan kepada masyarakat bahwa meskipun pejabat negara
berasal dari partai politik tetapi ketika duduk sebagai pejabat maka
dirinya sudah siap menjadi pemimpin negara (rakyat) bukan partai atau
kelompoknya.
Keempat, perlunya komitmen
tegas atau semacam konsensus dari setiap partai politik untuk tidak
melibatkan bahkan mewajibkan pejabat yang terpilih dari partainya agar
mengikuti kampanye dan menjadi juru kampanye partainya setelah terpilih
menjadi pejabat negara. Hal ini dinilai penting demi efektivitas
pelaksanaan fungsi dan tugas seorang pejabat negara.
Sepintas,
republik autopilot mencerminkan suatu keadaan negeri yang berjalan
sendiri tanpa adanya seseorang yang dijadikan tumpuan untuk
mengendalikannya (meski ada pengganti sementara atau wakil). Republik
ini juga mengindikasikan rakyat yang tetap bergerak bersifat mobile
dan seolah tanpa campur tangan pemimpin (meski sementara). Karena meski
sesaat, republik ini di sebut republik autopilot disebabkan para
pemimpin mereka sedang disibukkan masing-masing dalam proses pemilu baik
itu sebagai juru kampanye ataupun sekedar ‘get voter’ bahkan sampai
peramai suasana semata. Pemilu ini bertujuan untuk memilih para pemimpin
(baru) seperti halnya memilih para pejabat politik yang kini
didudukinya. Apalagi dalam masa kampanye, sehingga mereka legal
(sah) menanggalkan tugas negara yang diembannya tersebut dengan tujuan
membantu kelompok atau parpol yang mendukung dan mengantarkannya ke
posisi yang kini mereka tempati.
Setelah masa
kampanye berakhir, republik autopilot pun akan berakhir dan berubah
(kembali) menjadi republik (bukan) autopilot. Sejatinya berganti menjadi
Republik Indonesia, tentunya dengan beberapa pekerjaan rumah (PR) yang
mesti di bereskan, diantaranya poin-poin yang yang telah dipaparkan
diatas. Karena rakyat merindukan pemimpin sejati yang mampu menanggalkan
segala atribut kepartaian demi tugas negara dan rakyat.
No comments:
Post a Comment