Monday, 2 June 2014

Membangun Demokrasi - Republik (Bukan) Autopilot

Pemilu merupakan gelaran pesta demokrasi yang tak pernah kekurangan peminat dalam pelaksanaannya baik yang memilih atau dipilih. Tak terkecuali dengan pemilu 2014 yang kini menginjak masa kampanye terbuka.  Presiden cuti, anggota dewan cuti, menteri cuti, gubernur dan wakilnya cuti, bupati dan walikota juga tak mau ketinggalan untuk cuti. Ini adalah fenomena menarik yang terjadi di Republik Indonesia. Cuti ’massal’ ini terjadi pada masa pemilu, khususnya disaat masa kampanye (terbuka). Kondisi ini bukanlah menyalahi aturan (karena ada aturannya dan diperbolehkan pejabat cuti) tetapi sekiranya perlu  dipertimbangkan para pembuat kebijakan negeri ini untuk meninjaunya. Hal ini dikarenakan memungkinkannya para pejabat negeri ini untuk “cuti berjama’ah” di masa kampanye terbuka yang memakan waktu kurang lebih 3 minggu. Ini tentunya akan berdampak pada pelaksanaan tugas negara yang diembannya. Karenanya selama masa kampanye, untuk sementara Republik Indonesia berganti menjadi republik autopilot.

Sistem autopilot diartikan sebagai sistem yang memandu sebuah kendaraan (umumnya diartikan pesawat) tanpa campur tangan dari manusia. Kendaraan disini dianalogikan sebagai sebuah negara. Dimana didalamnya terdapat bermacam-macam lembaga yang dipimpin oleh seorang kepala atau pemimpin (anggota dewan, presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota) tergantung ruang lingkup wilayah kerjanya dan rakyat sebagai penumpangnya. 

Salah satu aktor penting dalam republik ini yaitu pejabat politik. Pejabat politik adalah pejabat yang diraih atas dasar karir dan proses politik. Seperti anggota dewan, presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota dan wakil-wakilnya. Pejabat politik ini memiliki peran penting dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dalam pemerintahan. Mereka adalah pimpinan (pemimpin) di lingkupnya masing-masing sekaligus pengendali utama disetiap posisi penting penggerak roda pemerintahan. Tetapi, pada masa pemilu, peran mereka ’diragukan’ efektivitas dan loyalitasnya terhadap negara, karena tugas mereka terbagi antara negara dan partai. Dimana mereka dituntut  mengikuti kampanye pemilu demi kesuksesan partai nya dalam berkampanye atau tetap  melakukan tugasnya sebagai pejabat negara.

Dalam republik autopilot ini, peran para pejabat untuk sementara ditiadakan karena mereka akan disibukkan dengan kampanye masing-masing partainya. Namanya juga pejabat politik, karena lahirnya mereka dari proses politik yang diusung oleh parpol maka sebagai imbal balik mereka secara  moriil dan bahkan sistemik diharuskan membantu partai yang mengusungnya menjadi pejabat politik dengan menjadi juru kampanye dan ’get voter’ dengan tujuan menyukseskan kampanye politik dari partainya dengan tujuan agar partai mampu mendapatkan suara yang lebih banyak apabila pejabat terkait muncul di tengah-tengah kampanye yang dilakukan.

Terlepas dari bagaimana hasil kampanye dengan atau tanpa para pejabat-pejabat yang menanggalkan tugas negara demi tugas partai ini. Muncul sebuah pertanyaan dalam konteks ini, jika para pejabat ini berani menanggalkan tugas negara maka bagaimana nasib negara, institusi atau lembaga yang ditinggalkannya? Meski sementara, tugas yang ditinggalkan tersebut meninggalkan kekosongan pimpinan. Ini berarti sistem yang ditinggalkan akan berganti dari yang tadinya ’manual’ (digerakkan oleh manusia dalam hal ini pejabat sebagai kepala) berubah menjadi ’semi automatis’ atau bahkan ’automatis’ (tanpa pejabat kepala), disebut semi automatis (autopilot) karena pejabat cuti 2 hari kerja selama satu minggu (masih ada wakil).
Di republik autopilot ini, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi semua pihak berkepentingan untuk dipertimbangkan.

Pertama, perihal rangkap jabatan para pejabat. Terlepas besar kecilnya pengaruh dalam pemerintahan, ini diindikasikan dapat mengganggu kinerja pemerintahan. Meskipun secara aturan hal itu diperbolehkan dan menjadi hak pejabat negara. Idealnya, pejabat negara harus lebih mengedepankan kepentingan publik bukan partai. Jadi secara norma dan etika, pejabat negara adalah milik negara (rakyat), bukan milik partai.

Kedua, perlu sanksi tegas terhadap pejabat berkaitan dengan penggunaan fasilitas negara dalam kampanye. Hanya presiden yang diberikan fasilitas yang melekat menurut Undang-Undang dan tetap diberikan fasilitas pengawalan. Sementara pejabat daerah tak diijinkan menggunakan fasilitas negara. Ini dilakukan karena fasilitas negara diperuntukkan hanya untuk urusan kenegaraan, bukan pribadi atau partai.

Ketiga, berkaitan dengan cuti pejabat, sekiranya perlu di tinjau kembali aturan yang mengatur tentang cuti khususnya perihal rangkap jabatan (contoh: disatu sisi sebagai anggota dewan, presiden, menteri, disisi lain sebagai ketua partai). Hal ini dimaksudkan agar pejabat berkonsentrasi dalam menunaikan tugasnya sebagai pejabat negara tanpa harus terbagi dengan partai karena kepentingan partai dan negara jelas berbeda. Selain itu, supaya menegaskan kepada masyarakat bahwa meskipun pejabat negara berasal dari partai politik tetapi ketika duduk sebagai pejabat maka dirinya sudah siap menjadi pemimpin negara (rakyat) bukan partai atau kelompoknya.

Keempat, perlunya komitmen tegas atau semacam konsensus dari setiap partai politik untuk tidak melibatkan bahkan mewajibkan pejabat yang terpilih dari partainya agar mengikuti kampanye dan menjadi juru kampanye partainya setelah terpilih menjadi pejabat negara. Hal ini dinilai penting demi efektivitas pelaksanaan fungsi dan tugas seorang pejabat negara.

Sepintas, republik autopilot mencerminkan suatu keadaan negeri yang berjalan sendiri tanpa adanya seseorang yang dijadikan tumpuan untuk mengendalikannya (meski ada pengganti sementara atau wakil). Republik ini juga mengindikasikan rakyat yang tetap bergerak bersifat mobile dan seolah tanpa campur tangan pemimpin (meski sementara). Karena meski sesaat, republik ini di sebut republik autopilot disebabkan para pemimpin mereka sedang disibukkan masing-masing dalam proses pemilu baik itu sebagai juru kampanye ataupun sekedar ‘get voter’ bahkan sampai peramai suasana semata. Pemilu ini bertujuan untuk memilih para pemimpin (baru) seperti halnya memilih para pejabat politik yang kini didudukinya. Apalagi dalam masa kampanye, sehingga mereka legal (sah) menanggalkan tugas negara yang diembannya tersebut dengan tujuan membantu kelompok atau parpol yang mendukung dan mengantarkannya ke posisi yang kini mereka tempati.

Setelah masa kampanye berakhir, republik autopilot pun akan berakhir dan berubah (kembali) menjadi republik (bukan) autopilot. Sejatinya berganti menjadi Republik Indonesia, tentunya dengan beberapa pekerjaan rumah (PR) yang mesti di bereskan, diantaranya poin-poin yang yang telah dipaparkan diatas. Karena rakyat merindukan pemimpin sejati yang mampu menanggalkan segala atribut kepartaian demi tugas negara dan rakyat.

No comments:

Post a Comment