Monday, 2 June 2014

Membangun Demokrasi - Demokrasi itu mahal

Makna demokrasi terletak pada banyak-banyakan suara. Demokrasi adalah tentang kuantitas  bukan kualitas. Siapa yang suaranya paling banyak maka dialah yang “benar”.  Jika ada seorang anak yang tidak mencontek dalam sebuah kelas, sementara sisanya mencontek semua, maka anak ini akan disepakati salah oleh semua orang yang mencontek. Jika disuatu mall ada seroang wanita berjilbab menutup auratnya, sementara yang lain banyak yang menggunakan celana cuma sepaha maka  wanita  itu akan terlihat sangat salah karena ketinggalan zaman.

Munculnya sistem pemilihan umum  yang lebih langsung,umum,bebas dan rahasia diharapkan menjadi sebuah jalan menjadikan Indonesia lebih benar, karena pemimpin yang  terpilih nantinya  murni hasil dari kemauan sebagian besar suara rakyat.  Suara rakyat adalah suara Tuhan, jika suara rakyat bisa ditukar dengan rupiah apakah artinya suara Tuhan juga bisa dibeli?? atau rakyat hanya sekedar melaksanakan kewajibannya untuk memilih karena golput disamakan dengan  atheis, tak punya suara dan tak punya Tuhan. Sehingga memilih dilakukan bukan demi  kemajuan Negara tetapi cuma mengikuti apa yang sudah terlanjur terjadi di Negara ini.  Begitu juga arti bebas dalam memilih calon pemimpin bangsa haruslah memang benar-benar bermakna bebas, termasuk bebas untuk tidak memilih siapapun.

Satu hal yang mau tak mau kita akui semua bahwa memilih itu bukalah hak tetapi kewajiban.
Demokrasi sudah lama menjadi beban untuk . Saat ini ada sekitar kurang lebih 497 kabupaten kota di Indonesia. Jika  dihitung maka dalam setahun ada saja kabupaten kota yang  melaksanakan pemilihan.  Berapa uang negara yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut?  Sangat banyak pastinya, padahal uang yang digunakan adalah hutang dari luar negeri. Maka jika tata cara demokrasi  terus seperti ini maka kita akan terus menambah beban hutang negara. Negara ini terlalu terbebani oleh mahalnya biaya Demokrasi. Rakyat dibebani dengan anggaran milyaran untuk membeli kotak suara, anggaran kampanye partai, demi acara yang disebut Pesta Demokrasi.

Luar negeri memberi apresiasi dan memuji Indonesia karena keberhasilan pemilu yang dilakukan dengan cara demokrasi sebagaimana cara mereka disana. Kita digiring pada kebanggaan  cara ‘benar’ menurut versi mereka, padahal banyak sekali hal yang kita rasakan keliru pada system demokrasi itu, mulai dari kampanye caleg, hingga putusan MK yang ternyata baru-baru ini diketahui dapat di tukar rupiah. Pujian dari pihak asing padahal terbalik dengan keadaan yang ada. Indonesia justru menjadi negara sangat  kacau demokrasinya. Setiap pemilu dan pilkada selalu saja penuh dengan keributan,perkelahian dan kericuhan. Keributan antar pendukung yang mengarah pada anarkis dan perusakan fasilitas umum hingga pertikaian antar pendukung yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu. Jadi sebenarnya yang di puji apanya??
Semua partai pastilah membawa visi dan misi yang baik, jika tidak, sudah tentu tidak ada orang baik yang bersedia terlibat didalam partai  tersebut. Maka jangan salah begitu mudahnya orang dalam partai berpindah ‘keyakinan’ demi kemudahan pada pemilu berikutnya. Semua demi tahta bukan demi rakyat, semua demi uang, bukan untuk pengabdian. Sayangnya mayoritas bangsa indonesia bukanlah orang-orang yang menggeleng untuk tidak menukar suaranya dengan mata uang atau sekantong beras.  Isi perut hari ini lebih penting daripada apa yang akan terjadi pada Negara ini 5 tahun kedepan. Toh Siapapun pemimpinya sama saja, siapapun presidennya sama saja.  Bodoh amat suara-suara itu suara penjahat, atau suara orang koruptor. Nilai suara orang berpendidikan sama dengan suara orang yang tidak sekolah  yaitu satu suara. Jadi dalam Pilkada suara seorang profesor  sama saja nilainya degan suara orang yang tidak pernah sekolah.  Jika di Indonesia ini banyak penjahat maka jadilah Indonesia negara penjahat. Kalau Negara kita  banyak koruptor maka Indonesia akan menjadi negara Koruptor. Karena suara terbanyak adalah “benar”
Saya pribadi hanya rakyat sipil yang bangga pada Bangsa ini, saya bersyukur ada Negara yang bersedia menampung saya bersama keluarga saya, tidak seperti banyaknya Negara yang mengusir rakyatnya oleh konflik yang berkepanjangan atau seperti rakyat Palestina yang belum bisa dengan tenang mengibarkan benderanya.

Saya kira mengembalikan wacana pemilihan kepala daerah terutama Gubernur bisa  melalui pemilihan tak langsung tapi seperti dulu di tunjuk oleh Menteri dalam Negeri atau presiden melalui persetujuan DPRD Tingkat I. Hal ini bisa tentu meminamlis anggaran Pemilu, tapi tentu saja ini tidak mudah,  namun jika para pejabat tinggi Negara bisa memberitahukan kesalahan-kesalahan demokrasi maka bukanlah hal yang mustahil.

Saya juga pernah mengharapkan Kartu Tanda Penduduk  (KTP) yang sudah lebih terpercaya e-ktp dapat mengganti panggilan surat suara.  Sehingga dengan menunjukan KTPnya seorang rakyat sudah dapat memilih, bahkan ide saya bisakah kelak system pemilu dilaksanakan seperti pemilihan Indonesia Idol, melalui poling vote, entah sms atau  like seperti yang ngetrend di media social? Pemimpin mengajukan visi dan misinya di TV, KPU menyiarkan lewat Media Elektonik, TV,Radio, internet, baliho, spanduk, sosialisasi di desa hingga dusun. Para calon pemimpin melakukan kinerja yang baik, dan biarkan rakyat memilih  melalui registrasi no e-ktpnya. Cukup duduk dirumah hasilnya segera terlihat di tv, tanpa melalui perhitungan manual yang lebih memungkinkan terjadi kecurangan, lebih makan biaya, dan lebih lama. Jika masyarakat bisa mempercayakan tehnologi mesin ATM untuk uang mereka, saya fikir itu sebuah modal bagus untuk  Indonesia dalam memanfaatkan tehnologi untuk berdemokrasi.

Demokrasi semestinya dibangun oleh pemimpin-pemimpin yang tidak berencana mendapat uang dari kepercayaan demokrasi itu, bukan sebagai mata pencaharian baru karena pekerjaan lama kurang banyak gajinya.  Kita adalah subjek sekaligus objek dari demokrasi, jika ingin merubah demokrasi menjadi lebih benar maka ubahlah kebiasan buruk  kita sendiri. Salahsatunya dengan melakukan tugas dan fungsi kita sebagai warga Negara. Sebagai pelajar jadilah pelajar yang baik, sebagai polisi jadilah polisi yang baik, sebagai ustadz jadilah ustadz yang baik jangan sesat, sebagai pedagang jadilah pedagang yang jujur, menjadi pemilih maka memilihlah dengan benar untuk kualitas demokrasi yang lebih baik, begitu  juga sebagai pemimpin jadilah pemimpin yang amanah yang  mengingat bahwa pemimpin akan mempertanggung jawabkan semua yang dipimpinnya.

Entah semampu apa sebuah tulisan ini dapat merubah keadaan bangsa, apalagi lagi tulisan ini hanya di tulis oleh rakyat jelata yang tidak bisa memiliki kekuatan suara untuk membuat suaranya lebih besar terdengar. Tapi tidak ada salahnya mencoba, daripada berteriak dengan microphone di tengah jalan protocol, memacetkan lalu lintas yang sudah macet, merusak fasilitas umum, menimbulkan sampah karena spanduk dan orasi yang  membakar ban di tengah jalan yang justru membuat pengguna jalan mengutuk semua itu. Tidak ada salahnya mencoba, mungkin melalui media ini, dan semoga itu berhasil. Karena orang yang gagal jauh lebih mulia daripada mereka yang malas mencoba.

No comments:

Post a Comment