Monday, 2 June 2014

Membangun Demokrasi - Penentu Kualitas Demokrasi Indonesia

Indonesia sudah mengenal kata demokrasi sejak zaman Soekarno, Soeharto, hingga sekarang. Sebagai bentuk tatanan kehidupan bernegara, demokrasi dianggap bentuk yang paling ideal bagi Indonesia yang plural dan majemuk. 

Pada era awal setelah kemerdekaan kita mengenal demokrasi parlementer, demokrasi konstitusional, dan demokrasi terpimpinnya Soekarno (1959-1965). Soekarno menegaskan dirinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam kata ‘terpimpin’ itu. Terjadi sentralisasi kekuasaan yang memusat pada Soekarno dalam setiap kegiatan bernegara.  Sementara peran partai politik belum terlalu menonjol sebagai salah satu unsur demokrasi. Alhasil demokrasi ini tak mampu mendengar suara-suara dari daerah secara menyeluruh. Bukti nyatanya belum ada pembangunan atau rencana-rencana pembangunan di daerah yang dihasilkan pada masa itu.

Demokrasi kedua adalah demokrasi Pancasila yang dicetuskan pemerintahan Soeharto. Bukannya melindungi rakyat Indonesia dan memberikan kebebasan serta rasa aman, masa ini justru cenderung represif dan mengekang hak-hak warga negara. Maka yang terjadi sesungguhnya pada masa orde baru ini adalah pembajakan demokrasi oleh rezim penguasa. Contoh paling nyata tentu saja partai politik (parpol) yang dikerdilkan jumlah dan perannya serta pemilihan umum (pemilu) yang selalu direkayasa.
Demokrasi kita baru ada perkembangan setelah reformasi 1998 terjadi. Setidaknya para aktivis dan reformis menuntut demokrasi ‘sesungguhnya’ diberlakukan di Indonesia. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan pers, penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan kebebasan mendirikan parpol menjadi beberapa agenda reformasi yang membawa kita pada alam demokrasi seperti sekarang ini.

Kita bersyukur, perjalanan demokrasi kita tak  seberdarah yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Tapi, kita tak boleh menutup mata bahwa demokrasi yang kita miliki saat ini belum berhasil apalagi sempurna.
Sejatinya, tujuan kita berdemokrasi adalah untuk menuju kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia (kesejahteraan). Demokrasi adalah jalan, metode, cara, bahkan sistem yang kita yakini paling cepat untuk mengantarkan kita menuju kesejahteraan itu. Tapi demokrasi yang seperti apa? Terbukti, dari era Soekarno hingga reformasi kini, belum ada manfaat yang signifikan kita dapatkan dari demokrasi tersebut. Tahun 2012, skor indeks demokrasi kita masih 63,17 (dari skala 0-100).
Victor Silaen (2012: 173) mengatakan  bahwa dalam masa transisi demokrasi Indonesia pasca 1998, ketika demokratisasi tidak diikuti dengan pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, maka orang mulai mempertanyakan bahkan menggugat premis dasar demokrasi yang katanya menjanjikan sistem (baru penataan) kehidupan demi kebaikan.

Aktor-aktor demokrasi
Yang bisa kita evaluasi dari perjalanan demokrasi kita adalah aktor-aktornya. Demokrasi perwakilan atau elektoral yang kita anut selama ini adalah sebuah keniscayaan. Sistem ini memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara (baik ataupun buruk) untuk menjadi aktor-aktor itu.

Beberapa tahun belakangan sudahlah cukup menjadi titik nadir kegagalan aktor-aktor selama ini. Korupsi yang menggerogoti hampir seluruh lini pemerintahan dan kekuasaan menggambarkan betapa besarnya kerusakan demokrasi kita. Mereka tak ubahnya oligarki yang menguasai sumber-sumber daya seperti era Soeharto. Bahkan kini lebih buruk, korupsi tak hanya di  lingkaran kekuasaan utama, tapi terdesentralisasi hingga ke daerah-daerah.

Kepercayaan rakyat tak ketinggalan jatuh hingga titik nadir. Padahal kredo dari demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat. Maka, kebutuhan akan aktor-aktor yang tak bermental koruptif menjadi  suatu keharusan, sebab kita tak berharap demokrasi ini justru makin menjauhkan kita dari kesejahteraan.
Sesuai amanat konstitusi kita, pemilihan umum (pemilu), baik pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, adalah sarana mendapatkan aktor-aktor tersebut. Sehingga, pemilu harus menghasilkan orang-orang yang tepat. Orang-orang yang berkualitas dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat banyak.  Agar ‘janji’ yang dibawa demokrasi  tadi tak  diingkari.

Rakyat harus memilih anggota legislatif dan presiden yang  berdasarkan kualitas,  kapasitas, intelektualitas, dan empati, serta meritokrasi. Sudah saatnya meninggalkan cara-cara tradisional yang memilih berdasarkan kedekatan, suku, janji-janji manis dalam kampanye, dan sebagainya. Mindset rakyat harus diatur bahwa pemilihan aktor-aktor menjadi penentu pencapaian tujuan kesejahteraan yang kita idamkan.
Seperti yang paham yang diyakini Baconia, dunia akan tertata dengan baik jika orang-orang berpengetahuan menduduki posisi yang memengaruhi kebijakan.

Yudi Latif berujar orang-orang yang mewakili rakyat itu harus sungguh-sungguh menjunjung daulat rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai subyek yang harus dihormati, bukan obyek tirani militeristik atau tirani modal. Selama ini kita belum mendapatkan aktor yang demikian.

Masdar Hilmy memperingatkan kita bahwa jika demokrasi kembali dibajak para gerombolan yang hanya mencari perutungan belaka, dipastikan kualitas demokrasi kita mengalami stagnasi. Kita punya pengalaman dan masih menyisakan luka mengenai itu. Tentu kita tak ingin kembali  ke situasi seperti itu.
Maka sudah saatnya bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membuka mata dan sadar bahwa tidak ada jalan lain untuk meperbaiki kerusakan demokrasi negara ini selain berpartisipasi aktif untuk memilih aktor-aktor yang tepat untuk mengemban amanah rakyat. Rakyat Indonesia harus sadar bahwa ia lah pemegang kekuasaan yang utama dalam sistem demokrasi. Ancaman nyata datang dari mulut Plato bahwa jika rakyat menolak partisipasi politik, bersiaplah dipimpin oleh orang bodoh.

No comments:

Post a Comment