“kita tetap melihat matahari atau bulan yang sama,
meskipun dari pijakan bumi yang berbeda-beda.”
Demokrasi sampai saat ini masih menjadi satu-satunya cara yang paling dipercaya dapat memberikan harapan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Ungkapan Abraham Lincoln; government by the people, from the people, and for the people, menjadi semacam kesepahaman umum di seluruh dunia terhadap apa yang disebut demokrasi. Tetapi bagaimana menerapkannya di Indonesia dalam kultur yang jelas-jelas berbeda? Lislie Lipson (1964) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan demokrasi, setidaknya ada tiga hal penting yang dapat saja terjadi. Pertama; tentang suara mayoritas yang dalam praktiknya bisa saja menjadi tirani mayoritas atas minoritas. Kedua; tentang persamaan atas hak politik pada akhirnya dapat keliru karena setiap orang memiliki kemampuan dan keterampilan yang tidak sama sebagai pelaku politik. Ketiga; tentang pemerintahan kerakyatan (popular democracy) juga dapat mengelabui karena kenyataannya dapat saja yang memerintah hanya sekelompok orang (oligarkhi) yang sama sekali belum menjadi representasi dari suara seluruh rakyat.
Terlepas dari teori itu, yang pasti bahwa yang ingin dibangun adalah demokrasi dengan azas-azas universalnya yakni nilai-nilai yang menjadi substansi dari setiap budaya yang pernah ada di dunia, misalnya adil, jujur, musyawarah, pengakuan atas hak dasar setiap orang, dan lain sebagainya. Dengan nilai universal tersebut sebagai dasar, lalu demokrasi dibangun dengan mencari bentuknya yang kontekstual sesuai “warna” kebudayaan masing-masing bangsa atau negara.
Membangun dan menentukan masa depan negara dan bangsa bukan hal mudah dan karenanya ia harus ditangani oleh institusi dan personal yang memiliki kapabilitas memadai. Apalagi bila instrumen yang digunakan adalah demokrasi. Masa depan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh partai politik hari ini. Membenahi masa depan harus dimulai dengan pembenahan demokrasi, dan membenahi demokrasi harus dimulai dengan pembenahan partai politik. Untuk membenahi partai politik, kita harus memahami kondisi objektif parpol hari ini, baik internal maupun eksternal. Jika parpol baik dan sehat, maka hal-hal lain dalam penyelenggaraan demokrasi seperti parlemen, pemilihan umum, pemerintahan, dan lain sebagainya akan ikut membaik pula.
Dalam praktik demokrasi, khususnya dinamisasi proses reformasi yang demokratis, partai politik sebagai “mesin” memiliki posisi dan peran sangat penting. Ia menjadi mesin produksi utama yang dapat dengan tanggap memenuhi kebutuhan rakyat secara umum. Partai politik hampir dapat dikatakan sebagai satu-satunya solusi untuk membangun demokrasi. Namun di saat yang sama, partai juga dapat menjadi masalah jika ia dibangun seadanya untuk memenuhi hasrat politik semata. Dengan posisi dan perannya yang urgen itu, partai harus bekerja keras menghadapi berbagai masalah yang muncul, yang tidak saja bersifat internal-institusional tapi juga yang bersifat eksternal. Masalah internal sejak era reformasi, beberapa partai politik berjalan cukup tanggap dan dengan cepat melakukan perbaikan di tubuh isntitusinya. Bahkan banyak bermunculan partai-partai baru dengan mengusung harapan-harapan baru. Selain persoalan internal kepartaian, masalah eksternal juga banyak memengaruhi bentuk institusi kepartaian tersebut, dan ini lebih dalam —dan sukar disadari— yakni kondisi sosial budaya. Kondisi ini banyak memengaruhi cara berfikir dan sikap setiap person yang ada dalam institusi partai tersebut, dan selanjutnya dapat juga memengaruhi dinamika partai.
Secara teoritis, parpol dapat diklasifikasi ke dalam beberapa jenis yakni; Partai Proto, Partai Kader, Partai Massa,Partai Diktaktoral, dan Catch All.Sebagian besar partai politik di Indonesia pemenang Pemilu pada era reformasi masuk dalam kategori jenis Catch-All. Jenis partai ini merupakan gabungan antara partai kader dan massa. Mereka berusaha menampung kelompok sosial sebanyak-banyaknya untuk menjadi anggota. Tujuannya memenangkan pemilu berkaitan dengan berkembangnya kelompok kepentingan dan penekan, dan karena itu ideologinya tidak terlalu kaku. Sayangnya, ciri partai kader dan massa tidak terakumulasi secara keseluruhan melainkan separuh-separuh. Di indonesia kita masih sulit mencari mana aspek dasar yang mencirikan partai kader, terutama karena semua partai tidak memiliki mekanisme perkaderan di samping dengan mudahnya seorang figur pindah-masuk parpol. Kita juga masih sulit menemukan aspek dasar yang mencirikan partai massa karena semua partai mengabaikan penyelenggaraan proses pendidikan politik terhadap massanya.
Oleh karena itu yang terpenting untuk dilakukan secara intensif adalah penguatan parpol dengan kembali memperhatikan dan mengimplementasikan fungsi parpol. V.O. Key menekankan bahwa segala hal tentang demokrasi akan menjadi absurd kecuali jika aspirasi dan pandangan masyarakat memperoleh ruang dalam penyusunan berbagai aspek kebijakan. Disinilah fingsi parpol harus dikembalikan. Ada tiga fungsi parpol menurut Key, yakni; fungsi elektoral di antaranya menyederhanakan pilihan bagi para pemilih, memberikan pendidikan politik bagi warga negara, menghidupkan simbol identifikasi dan komitmen, serta menggerakkan massa untuk dapat berpartisipasi dalam politik. Fungsiorganisasi di antaranya; melatih para elite politik, melakukan rekruitmen kepemimpinan politik dan memperjuangkan jabatan pemerintahan, mengartikulasikan kepentingan politik, serta mengagregasi kepentingan politik. Fungsi pemerintahan antara lain; mengorganisasikan pemerintahan, mengimplementasikan tujuan kebijakan, mengorganisir oposisi, menjamin tanggung jawab bagi tindakan pemerintah, mengontrol jalannya pemerintahan, serta membantu terciptanya stabilitas dalam pemerintahan.
Akhirnya, kami ingin mengakhiri tulisan singkat ini dengan sebuah anekdot sufi: suatu saat, tanpa bermaksud apa-apa, Bahlul naik (duduk) di atas tahta Raja. Para pengawal tanpa instruksi berlarian ke arahnya, lalu mengusir Bahlul dengan tongkat dan batu. Bahlul lalu berpaling ke arah Raja dan berkata; “aku duduk di kursi ini tidak lebih dari satu menit, tetapi sudah begitu menderita. Kasihan betul mereka yang duduk di sini sepanjang hidupnya.”
meskipun dari pijakan bumi yang berbeda-beda.”
Demokrasi sampai saat ini masih menjadi satu-satunya cara yang paling dipercaya dapat memberikan harapan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Ungkapan Abraham Lincoln; government by the people, from the people, and for the people, menjadi semacam kesepahaman umum di seluruh dunia terhadap apa yang disebut demokrasi. Tetapi bagaimana menerapkannya di Indonesia dalam kultur yang jelas-jelas berbeda? Lislie Lipson (1964) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan demokrasi, setidaknya ada tiga hal penting yang dapat saja terjadi. Pertama; tentang suara mayoritas yang dalam praktiknya bisa saja menjadi tirani mayoritas atas minoritas. Kedua; tentang persamaan atas hak politik pada akhirnya dapat keliru karena setiap orang memiliki kemampuan dan keterampilan yang tidak sama sebagai pelaku politik. Ketiga; tentang pemerintahan kerakyatan (popular democracy) juga dapat mengelabui karena kenyataannya dapat saja yang memerintah hanya sekelompok orang (oligarkhi) yang sama sekali belum menjadi representasi dari suara seluruh rakyat.
Terlepas dari teori itu, yang pasti bahwa yang ingin dibangun adalah demokrasi dengan azas-azas universalnya yakni nilai-nilai yang menjadi substansi dari setiap budaya yang pernah ada di dunia, misalnya adil, jujur, musyawarah, pengakuan atas hak dasar setiap orang, dan lain sebagainya. Dengan nilai universal tersebut sebagai dasar, lalu demokrasi dibangun dengan mencari bentuknya yang kontekstual sesuai “warna” kebudayaan masing-masing bangsa atau negara.
Membangun dan menentukan masa depan negara dan bangsa bukan hal mudah dan karenanya ia harus ditangani oleh institusi dan personal yang memiliki kapabilitas memadai. Apalagi bila instrumen yang digunakan adalah demokrasi. Masa depan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh partai politik hari ini. Membenahi masa depan harus dimulai dengan pembenahan demokrasi, dan membenahi demokrasi harus dimulai dengan pembenahan partai politik. Untuk membenahi partai politik, kita harus memahami kondisi objektif parpol hari ini, baik internal maupun eksternal. Jika parpol baik dan sehat, maka hal-hal lain dalam penyelenggaraan demokrasi seperti parlemen, pemilihan umum, pemerintahan, dan lain sebagainya akan ikut membaik pula.
Dalam praktik demokrasi, khususnya dinamisasi proses reformasi yang demokratis, partai politik sebagai “mesin” memiliki posisi dan peran sangat penting. Ia menjadi mesin produksi utama yang dapat dengan tanggap memenuhi kebutuhan rakyat secara umum. Partai politik hampir dapat dikatakan sebagai satu-satunya solusi untuk membangun demokrasi. Namun di saat yang sama, partai juga dapat menjadi masalah jika ia dibangun seadanya untuk memenuhi hasrat politik semata. Dengan posisi dan perannya yang urgen itu, partai harus bekerja keras menghadapi berbagai masalah yang muncul, yang tidak saja bersifat internal-institusional tapi juga yang bersifat eksternal. Masalah internal sejak era reformasi, beberapa partai politik berjalan cukup tanggap dan dengan cepat melakukan perbaikan di tubuh isntitusinya. Bahkan banyak bermunculan partai-partai baru dengan mengusung harapan-harapan baru. Selain persoalan internal kepartaian, masalah eksternal juga banyak memengaruhi bentuk institusi kepartaian tersebut, dan ini lebih dalam —dan sukar disadari— yakni kondisi sosial budaya. Kondisi ini banyak memengaruhi cara berfikir dan sikap setiap person yang ada dalam institusi partai tersebut, dan selanjutnya dapat juga memengaruhi dinamika partai.
Secara teoritis, parpol dapat diklasifikasi ke dalam beberapa jenis yakni; Partai Proto, Partai Kader, Partai Massa,Partai Diktaktoral, dan Catch All.Sebagian besar partai politik di Indonesia pemenang Pemilu pada era reformasi masuk dalam kategori jenis Catch-All. Jenis partai ini merupakan gabungan antara partai kader dan massa. Mereka berusaha menampung kelompok sosial sebanyak-banyaknya untuk menjadi anggota. Tujuannya memenangkan pemilu berkaitan dengan berkembangnya kelompok kepentingan dan penekan, dan karena itu ideologinya tidak terlalu kaku. Sayangnya, ciri partai kader dan massa tidak terakumulasi secara keseluruhan melainkan separuh-separuh. Di indonesia kita masih sulit mencari mana aspek dasar yang mencirikan partai kader, terutama karena semua partai tidak memiliki mekanisme perkaderan di samping dengan mudahnya seorang figur pindah-masuk parpol. Kita juga masih sulit menemukan aspek dasar yang mencirikan partai massa karena semua partai mengabaikan penyelenggaraan proses pendidikan politik terhadap massanya.
Oleh karena itu yang terpenting untuk dilakukan secara intensif adalah penguatan parpol dengan kembali memperhatikan dan mengimplementasikan fungsi parpol. V.O. Key menekankan bahwa segala hal tentang demokrasi akan menjadi absurd kecuali jika aspirasi dan pandangan masyarakat memperoleh ruang dalam penyusunan berbagai aspek kebijakan. Disinilah fingsi parpol harus dikembalikan. Ada tiga fungsi parpol menurut Key, yakni; fungsi elektoral di antaranya menyederhanakan pilihan bagi para pemilih, memberikan pendidikan politik bagi warga negara, menghidupkan simbol identifikasi dan komitmen, serta menggerakkan massa untuk dapat berpartisipasi dalam politik. Fungsiorganisasi di antaranya; melatih para elite politik, melakukan rekruitmen kepemimpinan politik dan memperjuangkan jabatan pemerintahan, mengartikulasikan kepentingan politik, serta mengagregasi kepentingan politik. Fungsi pemerintahan antara lain; mengorganisasikan pemerintahan, mengimplementasikan tujuan kebijakan, mengorganisir oposisi, menjamin tanggung jawab bagi tindakan pemerintah, mengontrol jalannya pemerintahan, serta membantu terciptanya stabilitas dalam pemerintahan.
Akhirnya, kami ingin mengakhiri tulisan singkat ini dengan sebuah anekdot sufi: suatu saat, tanpa bermaksud apa-apa, Bahlul naik (duduk) di atas tahta Raja. Para pengawal tanpa instruksi berlarian ke arahnya, lalu mengusir Bahlul dengan tongkat dan batu. Bahlul lalu berpaling ke arah Raja dan berkata; “aku duduk di kursi ini tidak lebih dari satu menit, tetapi sudah begitu menderita. Kasihan betul mereka yang duduk di sini sepanjang hidupnya.”
No comments:
Post a Comment