Salah satu perhelatan politik akbar akan digelar pada tahun 2014 ini,
dimana rakyat memiliki kesempatan untuk memilih wakilnya dalam jajaran
legislative (DPR, DPRD, dan DPD) serta memilih pemimpin dalam ranah
eksekutif (presiden dan wakil presiden). Hal ini merupakan karakteristik
penting dalam demokrasi, dimana masyarakat bebas untuk memilih wakil
yang mereka percayai.
Salah satu hal menarik yang perlu untuk dikaji adalah besarnya biaya kampanye calon presiden yang mencapai angka puluhan hingga ratusan miliar rupiah, demikian pula biaya kampanye calon legislatif yang mencapai angka ratusan juta rupiah. Sedemikian pentingnya pembahasan mengenai biaya kampanye ini, di Amerika terdapat sebuah organisasi dengan alamat domain opensecret.org yang memberikan data terkait dana kampanye yang digunakan oleh calon pemimpin legislatif dan eksekutif di Amerika Serikat. Dalam situs tersebut dapat dijumpai bahwa dana kampanye yang rata-rata digunakan oleh pemenang pemilihan umum untuk legislatif berkisar pada angka $1,567,293 (House) dan $11,474,077 (Senate).
Sebagian besar biaya kampanye ini digunakan untuk publikasi semata, seperti iklan di televisi yang menayangkan sosok sang calon presiden sibuk bergaya bak bintang televisi Hollywood. Biaya sebesar itu sebenarnya tidak mencegangkan, mengingat biaya pemasangan iklan berdurasi 30 detik di salah satu stasiun televisi nasional bisa berkisar jutaan hingga belasan juta rupiah sekali tayang. Namun banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh calon presiden sebenarnya tidak menjamin kemenangan bagi mereka, kenyataan pahit bagi pasangan calon presiden yang telah terbukti pada pemilihan umum tahun 2004 dan tahun 2009.
Besarnya dana kampanye yang dikeluarkan seolah-olah telah menjadi parameter yang akan berperan terhadap kemenangan calon presiden, dimana parameter ini memiliki persentase cukup besar dan menggeser parameter lainnya seperti kompetensi, visi, dan program calon presiden. Pada akhirnya, hal ini akan memicu kekecewaan dari masyarakat karena sosok yang mereka lihat melalui publikasi sesungguhnya adalah sosok yang semu dan tidak pernah ada. Lebih buruk lagi, mereka yang memberikan sumbangan terhadap biaya kampanye tersebut berlomba-lomba melakukan berbagai upaya agar modal mereka kembali, jika perlu disertai dengan beberapa keuntungan. Sebagai akibatnya, janji-janji manis yang diucapkan oleh calon presiden tidak dapat terlaksana karena diberati oleh politik kepentingan dari para pemberi sumbangan. Calon presiden yang telah menjadi presiden tersebut diingatkan kembali akan hutang budi mereka pada para pemberi sumbangan, sehingga kembali memberikan bantuan yang diinginkan oleh para pemberi sumbangan adalah hal yang lumrah dan wajib dilakukan.
Pada akhirnya, bukan demokrasi yang tercipta di Indonesia, namun justru Oligarki. John Nichols dan Robert W. McChesney sendiri memiliki istilah yang lebih tepat, yaitu Dollarocracy. Dimana penggunaan uang dan media menghancurkan demokrasi yang selama ini dibangga-banggakan di Amerika. Keadaan serupa terjadi di Indonesia dimana kedaulatan sudah tidak berada ditangan rakyat sebagaimana diamatkan oleh Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, kedaulatan kini berada ditangan kelompok elit dengan kekayaan yang luar biasa. Sebagai mana yang pernah dikatakan oleh Jeffery A. Winters, “within three decades Indonesia was already sharply stratified with an extremely group of oligarchs at the top”, hal buruk yang terus terjadi hingga saat ini. Ditangan kelompok elite inilah kedaulatan Indonesia kini berada, sehingga tidak heran ketika berbagai produk kebijakan yang diterbitkan justru bertentangan dengan harapan sebagian besar masyarakat.
Rusak sudah demokrasi sebagaimana diharapkan oleh para founding father kita, terutama Bung Karno yang pernah menyatakan “…bahwa segala sesuatu yang mengenai hidup “bebrayan” itu harus kita dasarkan atas dasar kekeluargaan, demokrasi, kedaulatan rakyat…”. Bagaimana Indonesia dapat mempertahankan demokrasinya bila pemimpinnya merupakan hasil dari sistem Dollarocracy, yang mengagungkan uang dan media. Dimana pemilik kedua elemen tersebut adalah mereka yang sesungguhnya memegang kedaulatan, merenggut kedaulatan yang seharusnya dimiliki oleh rakyat. Ingatlah seruan Bung Karno yang mengatakan bahwa “Demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perseorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapetaka”.
Saya secara pribadi tidak menginginkan calon presiden yang muncul minimal 3x sehari di layar televisi, sebab saya tidak menginginkan seorang presiden pemenang piala citra atau bintang film yang sibuk syuting hingga melupakan keinginan masyarakatnya secara global. Calon presiden yang baik adalah calon presiden yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia, beliau dikenal karena karya nyata yang telah dilakukan oleh beliau sepanjang hidup beliau sehingga meninggalkan bekas dalam sanubari masyarakat yang terlibat. Calon presiden yang baik bukanlah calon presiden "karbitan" yang baru terlihat sibuk mengenal dan dikenal masyarakat ketika pemilihan umum akan berlangsung. Sehingga calon presiden yang baik bukanlah calon presiden yang sibuk mempublikasikan dirinya dimana-mana, calon presiden yang baik sudah diketahui kepeduliannya kepada masyarakat dan bukan orang asing yang baru dikenal namanya oleh masyarakat.
Hal ini memang sulit untuk terwujud, namun setidaknya hal ini dapat didorong perwujudannya melalui pembatasan dana kampanye yang dipergunakan oleh setiap calon presiden. Pembatasan ini akan memicu kreativitas bagi seluruh calon presiden untuk menggunakan dana kampanye yang dimilikinya seefektif mungkin, sebab mereka tidak dapat menghambur-hamburkan dana untuk kampanye seperti yang biasa dilakukan selama ini. Pembatasan dana kampanye memberikan nyawa bagi demokrasi, sebab hal ini akan meminggirkan potensi berlebih yang dimiliki kelompok oligarki. Hal ini lebih memberikan jaminan kesetaraan bagi seluruh penduduk yang siap menjadi calon presiden, karena sistem yang tidak mengagungkan uang dan media.
Salah satu hal menarik yang perlu untuk dikaji adalah besarnya biaya kampanye calon presiden yang mencapai angka puluhan hingga ratusan miliar rupiah, demikian pula biaya kampanye calon legislatif yang mencapai angka ratusan juta rupiah. Sedemikian pentingnya pembahasan mengenai biaya kampanye ini, di Amerika terdapat sebuah organisasi dengan alamat domain opensecret.org yang memberikan data terkait dana kampanye yang digunakan oleh calon pemimpin legislatif dan eksekutif di Amerika Serikat. Dalam situs tersebut dapat dijumpai bahwa dana kampanye yang rata-rata digunakan oleh pemenang pemilihan umum untuk legislatif berkisar pada angka $1,567,293 (House) dan $11,474,077 (Senate).
Sebagian besar biaya kampanye ini digunakan untuk publikasi semata, seperti iklan di televisi yang menayangkan sosok sang calon presiden sibuk bergaya bak bintang televisi Hollywood. Biaya sebesar itu sebenarnya tidak mencegangkan, mengingat biaya pemasangan iklan berdurasi 30 detik di salah satu stasiun televisi nasional bisa berkisar jutaan hingga belasan juta rupiah sekali tayang. Namun banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh calon presiden sebenarnya tidak menjamin kemenangan bagi mereka, kenyataan pahit bagi pasangan calon presiden yang telah terbukti pada pemilihan umum tahun 2004 dan tahun 2009.
Besarnya dana kampanye yang dikeluarkan seolah-olah telah menjadi parameter yang akan berperan terhadap kemenangan calon presiden, dimana parameter ini memiliki persentase cukup besar dan menggeser parameter lainnya seperti kompetensi, visi, dan program calon presiden. Pada akhirnya, hal ini akan memicu kekecewaan dari masyarakat karena sosok yang mereka lihat melalui publikasi sesungguhnya adalah sosok yang semu dan tidak pernah ada. Lebih buruk lagi, mereka yang memberikan sumbangan terhadap biaya kampanye tersebut berlomba-lomba melakukan berbagai upaya agar modal mereka kembali, jika perlu disertai dengan beberapa keuntungan. Sebagai akibatnya, janji-janji manis yang diucapkan oleh calon presiden tidak dapat terlaksana karena diberati oleh politik kepentingan dari para pemberi sumbangan. Calon presiden yang telah menjadi presiden tersebut diingatkan kembali akan hutang budi mereka pada para pemberi sumbangan, sehingga kembali memberikan bantuan yang diinginkan oleh para pemberi sumbangan adalah hal yang lumrah dan wajib dilakukan.
Pada akhirnya, bukan demokrasi yang tercipta di Indonesia, namun justru Oligarki. John Nichols dan Robert W. McChesney sendiri memiliki istilah yang lebih tepat, yaitu Dollarocracy. Dimana penggunaan uang dan media menghancurkan demokrasi yang selama ini dibangga-banggakan di Amerika. Keadaan serupa terjadi di Indonesia dimana kedaulatan sudah tidak berada ditangan rakyat sebagaimana diamatkan oleh Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, kedaulatan kini berada ditangan kelompok elit dengan kekayaan yang luar biasa. Sebagai mana yang pernah dikatakan oleh Jeffery A. Winters, “within three decades Indonesia was already sharply stratified with an extremely group of oligarchs at the top”, hal buruk yang terus terjadi hingga saat ini. Ditangan kelompok elite inilah kedaulatan Indonesia kini berada, sehingga tidak heran ketika berbagai produk kebijakan yang diterbitkan justru bertentangan dengan harapan sebagian besar masyarakat.
Rusak sudah demokrasi sebagaimana diharapkan oleh para founding father kita, terutama Bung Karno yang pernah menyatakan “…bahwa segala sesuatu yang mengenai hidup “bebrayan” itu harus kita dasarkan atas dasar kekeluargaan, demokrasi, kedaulatan rakyat…”. Bagaimana Indonesia dapat mempertahankan demokrasinya bila pemimpinnya merupakan hasil dari sistem Dollarocracy, yang mengagungkan uang dan media. Dimana pemilik kedua elemen tersebut adalah mereka yang sesungguhnya memegang kedaulatan, merenggut kedaulatan yang seharusnya dimiliki oleh rakyat. Ingatlah seruan Bung Karno yang mengatakan bahwa “Demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perseorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapetaka”.
Saya secara pribadi tidak menginginkan calon presiden yang muncul minimal 3x sehari di layar televisi, sebab saya tidak menginginkan seorang presiden pemenang piala citra atau bintang film yang sibuk syuting hingga melupakan keinginan masyarakatnya secara global. Calon presiden yang baik adalah calon presiden yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia, beliau dikenal karena karya nyata yang telah dilakukan oleh beliau sepanjang hidup beliau sehingga meninggalkan bekas dalam sanubari masyarakat yang terlibat. Calon presiden yang baik bukanlah calon presiden "karbitan" yang baru terlihat sibuk mengenal dan dikenal masyarakat ketika pemilihan umum akan berlangsung. Sehingga calon presiden yang baik bukanlah calon presiden yang sibuk mempublikasikan dirinya dimana-mana, calon presiden yang baik sudah diketahui kepeduliannya kepada masyarakat dan bukan orang asing yang baru dikenal namanya oleh masyarakat.
Hal ini memang sulit untuk terwujud, namun setidaknya hal ini dapat didorong perwujudannya melalui pembatasan dana kampanye yang dipergunakan oleh setiap calon presiden. Pembatasan ini akan memicu kreativitas bagi seluruh calon presiden untuk menggunakan dana kampanye yang dimilikinya seefektif mungkin, sebab mereka tidak dapat menghambur-hamburkan dana untuk kampanye seperti yang biasa dilakukan selama ini. Pembatasan dana kampanye memberikan nyawa bagi demokrasi, sebab hal ini akan meminggirkan potensi berlebih yang dimiliki kelompok oligarki. Hal ini lebih memberikan jaminan kesetaraan bagi seluruh penduduk yang siap menjadi calon presiden, karena sistem yang tidak mengagungkan uang dan media.
No comments:
Post a Comment