Pusat Studi dan Kawasan Universitas Gadjah Mada seperti yang dikutip
di https://nusantaranews.wordpress.com melansir tentang tingkat
partisipasi masyarakat pada pemilihan umum legislatif yang dilakukan di
Indonesia makin mendekati angka yang kritis. Pada pemilihan umum
terakhir sebelum reformasi yaitu pemilu 1997, tingkat orang yang tidak
menggunakan hak pilihnya sekitar 9.42 %. Kemudian setahun setelah
reformasi, tingkat orang yang tidak menggunakan hak pilihnya meningkat
menjadi 10.21 %. Meningkatnya angka golput ini kemungkinan disebabkan
sebagian orang yang masih bimbang dengan gerakan reformasi yang terjadi,
namun harapan orang akan terjadinya perbaikan di negara ini masih cukup
besar.
Namun apa yang hendak dikata, pada pemilihan umum tahun 2004, tingkat orang yang tidak menggunakan hak pilihnya justru meningkat menjadi sekitar 23.34 %, dan bahkan angka yang sangat memprihatinkan ditunjukkan pada pemilu 2009 dimana 39.1% orang yang berhak memilih justru tidak menggunakan hak pilihnya.
Jika kita perhatikan perkembangan angka golput ini, maka kemungkinan besar pemilihan umum yang akan kita laksanakan pada 2014 ini justru akan memunculkan kelompok golput yang semakin besar. Jika angka golput sudah semakin besar, seharusnya kita sudah harus mulai bertanya dengan sistem yang kita kembangkan saat ini. Masihkan relevan pemilihan secara langsung? Mana yang harus kita perbaiki, sistem kah atau konteks yang membungkus sistem tersebut.
Fakta menunjukkan bahwa pemilihan secara langsung menjadi tren yang sangat dominan dilaksanakan. Dari mulai tingkar RT pun saat ini dilakukan melalui pemilihan langsung. Kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur hingga Presiden dipilih secara langsung. Hanya Lurah dan Camat saja mungkin yang saat ini tidak melalui pemilihan langsung.
Tanpa memandang tingkatan, level, serta kepentingannya, pemilihan langsung dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa kita adalah negara demokrasi terbesar. Pemahaman sempit ini menyebabkan munculnya persepsi bahwa tidak ada demokrasi tanpa pemilihan langsung. Penulis tidak anti pada pemilihan langsung, namun fakta menunjukkan pemilihan langsung tidak pas untuk diterapkan pada semua level.
Kalau kita percaya bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memiliki budaya yang mengakar kuat, dimana semua kearifan lokal yang kita punya? Dimana pola penyelesaian musyawarah yang kita cantumkan pada dasar negara kita?
Meningkatkan angka golput seharus membuka mata kita bahwa ada sesuatu yang tidak pas pada sistem demokrasi kita. Itupun kalau kita memang tidak mau mengakui bahwa ada yang salah pada sistem kita. Ada pendapat yang mengatakan bahwa untuk memajukan demokrasi, kita harus menguatkan parlemen. Pertanyaannya adalah bagaimana memperkuat parlemen yang dikalahkan oleh kelompok golput? Bisakah dikatakan mereka mewakili mayoritas masyarakat?
Golput adalah sebuah pilihan politik. Memilih untuk tidak memilih juga merupakan suatu pilihan politik yang harus kita hormati. Kita harus percaya bahwa mereka yang golput juga memimpikan sistem demokrasi yang lebih baik. Hanya saja mereka tidak menemukan saluran penyaluran pendapat yang tepat melalui pemilihan langsung.
Pernahkah terpikir oleh kita kalau tiba-tiba saja ada orang atau kelompok masyarakat yang mengajukan peninjauan hukum terhadap pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia? Setiap pemilihan umum pasti memerlukan biaya yang cukup besar, dan jika diikuti oleh minoritas karena mayoritas memilih golput, bukannya justru merugikan negara?
Biaya demokrasi memang mahal, tapi orang jangan lupa, biaya untuk mensejahterakan rakyat juga mahal. Sama-sama mahal, jika bisa memilih, masihkan kita memilih untuk mengalokasikan ‘dana’ yang kita punya untuk demokrasi daripada mensejahterahkan?
Sayangnya, pemimpin itu tidak tiba-tiba turun dari langit. Pemimpin bukanlah nabi yang dikirim dari yang mahakuasa untuk memimpin di bumi. Pemimpin sebuah bangsa atau negara harus dicari dan dipilih, maka mau tidak mau pemilihan harus tetap dilakukan dalam menseleksi calon pemimpin yang akan memimpin bangsa dan negara kita.
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi secara sederhana hanya ada dua bentuk saja. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Namun kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan.
Sebelum kita melihat sistem mana yang perlu kita kembangkan, mungkin lebih baik kita memulainya dengan melakukan pendidikan politik mulai dari tingkat pelajar. Demokrasi diajarkan bahwa kita bebas untuk mengemukakan pendapat, namun pendapat kita belum tentu yang paling benar. Ketika sebuah pendapat telah diputuskan, maka semua orang terikat pada keputusan tersebut, bahkan ketika nantinya keputusan itu salah.
Demokrasi merupakan pilihan kita dalam bernegara, namun itu tidak akan berhasil bila sebagian besar masyarakat berpartisipasinya. Mungkin kita perlu melakukan langkah ektrim, misalnya jika golput mencapai angka lebih dari 50%, maka pemerintahan, anggota parlemen yang terpilih dianggap kalah atau batal, maka pemerintah dan parlemen yang saat sebelumnya memimpin akan secara otomatis melanjutkan kinerja mereka.
Jika hal tersebut terjadi, maka penulis yakin banyak orang berpikir dua kali untuk tidak memilih. Lebih baik mencoba memilih yang baru walau salah, daripada tidak memilih dan keadaannya sudah pasti itu-itu saja. Silahkan jawab sendiri.
Namun apa yang hendak dikata, pada pemilihan umum tahun 2004, tingkat orang yang tidak menggunakan hak pilihnya justru meningkat menjadi sekitar 23.34 %, dan bahkan angka yang sangat memprihatinkan ditunjukkan pada pemilu 2009 dimana 39.1% orang yang berhak memilih justru tidak menggunakan hak pilihnya.
Jika kita perhatikan perkembangan angka golput ini, maka kemungkinan besar pemilihan umum yang akan kita laksanakan pada 2014 ini justru akan memunculkan kelompok golput yang semakin besar. Jika angka golput sudah semakin besar, seharusnya kita sudah harus mulai bertanya dengan sistem yang kita kembangkan saat ini. Masihkan relevan pemilihan secara langsung? Mana yang harus kita perbaiki, sistem kah atau konteks yang membungkus sistem tersebut.
Fakta menunjukkan bahwa pemilihan secara langsung menjadi tren yang sangat dominan dilaksanakan. Dari mulai tingkar RT pun saat ini dilakukan melalui pemilihan langsung. Kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur hingga Presiden dipilih secara langsung. Hanya Lurah dan Camat saja mungkin yang saat ini tidak melalui pemilihan langsung.
Tanpa memandang tingkatan, level, serta kepentingannya, pemilihan langsung dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa kita adalah negara demokrasi terbesar. Pemahaman sempit ini menyebabkan munculnya persepsi bahwa tidak ada demokrasi tanpa pemilihan langsung. Penulis tidak anti pada pemilihan langsung, namun fakta menunjukkan pemilihan langsung tidak pas untuk diterapkan pada semua level.
Kalau kita percaya bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memiliki budaya yang mengakar kuat, dimana semua kearifan lokal yang kita punya? Dimana pola penyelesaian musyawarah yang kita cantumkan pada dasar negara kita?
Meningkatkan angka golput seharus membuka mata kita bahwa ada sesuatu yang tidak pas pada sistem demokrasi kita. Itupun kalau kita memang tidak mau mengakui bahwa ada yang salah pada sistem kita. Ada pendapat yang mengatakan bahwa untuk memajukan demokrasi, kita harus menguatkan parlemen. Pertanyaannya adalah bagaimana memperkuat parlemen yang dikalahkan oleh kelompok golput? Bisakah dikatakan mereka mewakili mayoritas masyarakat?
Golput adalah sebuah pilihan politik. Memilih untuk tidak memilih juga merupakan suatu pilihan politik yang harus kita hormati. Kita harus percaya bahwa mereka yang golput juga memimpikan sistem demokrasi yang lebih baik. Hanya saja mereka tidak menemukan saluran penyaluran pendapat yang tepat melalui pemilihan langsung.
Pernahkah terpikir oleh kita kalau tiba-tiba saja ada orang atau kelompok masyarakat yang mengajukan peninjauan hukum terhadap pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia? Setiap pemilihan umum pasti memerlukan biaya yang cukup besar, dan jika diikuti oleh minoritas karena mayoritas memilih golput, bukannya justru merugikan negara?
Biaya demokrasi memang mahal, tapi orang jangan lupa, biaya untuk mensejahterakan rakyat juga mahal. Sama-sama mahal, jika bisa memilih, masihkan kita memilih untuk mengalokasikan ‘dana’ yang kita punya untuk demokrasi daripada mensejahterahkan?
Sayangnya, pemimpin itu tidak tiba-tiba turun dari langit. Pemimpin bukanlah nabi yang dikirim dari yang mahakuasa untuk memimpin di bumi. Pemimpin sebuah bangsa atau negara harus dicari dan dipilih, maka mau tidak mau pemilihan harus tetap dilakukan dalam menseleksi calon pemimpin yang akan memimpin bangsa dan negara kita.
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi secara sederhana hanya ada dua bentuk saja. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Namun kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan.
Sebelum kita melihat sistem mana yang perlu kita kembangkan, mungkin lebih baik kita memulainya dengan melakukan pendidikan politik mulai dari tingkat pelajar. Demokrasi diajarkan bahwa kita bebas untuk mengemukakan pendapat, namun pendapat kita belum tentu yang paling benar. Ketika sebuah pendapat telah diputuskan, maka semua orang terikat pada keputusan tersebut, bahkan ketika nantinya keputusan itu salah.
Demokrasi merupakan pilihan kita dalam bernegara, namun itu tidak akan berhasil bila sebagian besar masyarakat berpartisipasinya. Mungkin kita perlu melakukan langkah ektrim, misalnya jika golput mencapai angka lebih dari 50%, maka pemerintahan, anggota parlemen yang terpilih dianggap kalah atau batal, maka pemerintah dan parlemen yang saat sebelumnya memimpin akan secara otomatis melanjutkan kinerja mereka.
Jika hal tersebut terjadi, maka penulis yakin banyak orang berpikir dua kali untuk tidak memilih. Lebih baik mencoba memilih yang baru walau salah, daripada tidak memilih dan keadaannya sudah pasti itu-itu saja. Silahkan jawab sendiri.
No comments:
Post a Comment