Monday, 2 June 2014

Membangun Demokrasi - Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru

Memang sangat menarik bilamana melihat perubahan-perubahan masyarakat di seluruh dunia pada akhir abab yang baru lalu, dimana masyarakat dunia sedang berupaya memutuskan kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi.

Contohnya, permasalahan bangsa di Uni Soviet (Rusia) misalnya mengenai fenomena glasnost yang melanda di negeri tirai besi tersebut, menurut sarjana senior Alec Nove, merupakan a real cultural renaissance, or revolution. Untuk memahami skala perubahannya, maka perlu digambarkan suatu status quo ante. Titik atensi banyak ditujukan pada masa Stalin dan stalinisme. Bahkan, Gorbachev di dalam pidatonya bulan November 1987, telah berani membongkar berbagai kejahatan masa Stalin. Sejarawan besar seperti Roy Medvedev, yang menulis buku Let History Judge, berani berkonklususi, “Dari sudut pandang kemauan baja dan kekejaman, Stalin adalah unik. Sebagai pembantai rakyatnya sendiri dan seorang tiran, ia sulit menyamai siapa pun dalam sejarah”!.

Perdebatan terus berlanjut dibawah “payung glasnost”. Aneka pro dan kontra terhadap berbagai bukti sejarah berlangsung hangat. Para sarjana Barat pun ikut serta. Dari Stephen Cohen sampai wawancara dengan Robert Tucker tentang Stalin dan Stalinisme dimuat dalam Moskovskie Novosti (21-8-1988).
Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan

Lebih dari 20 bangsa dalam tempo 25 tahun lebih terakhir ini telah mencoba untuk menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”, dan hal ini telah memunculkan suatu disiplin akademis yang dinamakan “keadilan transional”, dengan kosa katanya sebagai berikut: “keadilan retributif”, “keadilan restoratif”, “klarifikasi historis”, dan sebagainya.

Keadilan adalah suatu kata yang sangat tidak jelas dan syarat dengan berbagai arti. Walau kata itu juga dipakai orang-orang tak terdidik untuk menyatakan setuju atau tidak setujunya mereka terhadap suatu situasi social dengan mengatakan bahwa keadilan telah ditegakkan atau belum ditegakkan oleh mereka, arti dari Keadilan itu sendiri masih jauh dari kejelasan. Kita menggambarkan seseorang sebagai adil jika memandang tindakannya telah sesuai dengan keadilan yang kita mengerti. Sekali lagi situasi atau tindakan atau tindakan yang bertentangan dengan keadilan dianggap sebagai tidak adil. Apa itu keadilan? Apakah Keadilan adalah suatu kebenaran Moral? Apakah keadilan adalah kata lain dari pada kebaikan? Apakah keadilan adalah persamaan daripada moralitas? Bagaimana kita membedakan keadilan dari kebaikan atau moralitas? Atasa dasar apa kita menilai suatu hukum sebagai adil atau tidak adil?

Ada banyak macam-macam pengertian mengenai masalah Keadilan tersebut, seperti hal keadilan sosial (Social Justice), keadilan komutatif (Commulative Justice), keadilan substantive (Substantive Justice), keadilan procedural (Procedural Juatice), keadilan korektif (Corrective Justice), keadilan perbandingan dan bukan perbandingan (Comparative and Comparative Justice), keadilan global (Global Justice), keadilan tertentu (Particular Justice), keadilan hukum (Legal Justice).

Pandangan Aristoteles dan Plato mengenai Keadilan
Para filsuf telah memikirkan pertanyaan ini sejak lama. Aristotles mendefenisikan keadilan dalam nichmochean ethics sebagai mmeberikan kepada seseorang apa yang due nya, memberikan kepada seseorang apa yang merupakan miliknya. Tapi bagaimana kita menentukan apa yang merupakan due upahnya lebih rendah daripada upah minimum.

Kritikan dalam apa yang disampaikan Aristoteles adalah menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi upah minimum untuk pekerja ini? Upah apa yang merupakan due-nya? Intinya adalah bagaimana kita menentukan gaji yang berkeadilan bagi pekerja tersebut. Apakah itu berarti kita memperhitungkan desert (performa) si pekerja dalam memperhitungkan gaji minimumnya? Berapa banyak waktu yang dihabiskannya untuk bekerja? Haruskah kita memasukkan pelatihan atau skillnya dalam menghitung desert-nya? Apa yang merupakan nilai/harganya? Hal ini menimbulkan banyak polemik.

Doktrin Aristoteles “mean” yang ia terapkan dalam mendefenisikan keadilan dengan menyatakan bahwa Keadilan adalah suatu median (titik imbang) emas antara dua kutub ekstrim. Semisal A merusak mobil B dan B meminta kompensasi yang besarnya dua kali lipat biaya untuk memperbaiki mobil. Aristoteles akan meminta B untuk menurunkan besar permintaan kompensasi yang diminta besarnya setara dengan kerugian yang diderita. Inilah yang menjadi median emas tersebut. Dan inilah yang disebut Keadilan pada kasus ini.
Plato menunjukkan bahayanya dalam menerima keadilan sebagaimana diatur oleh hukum. Suatu situasi yang dapat digambarkan dimana hukum melindungi kepentingan satu pihak dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Perancang hukum akan mengutamakan untuk menjaga kepentingannya sendiri selama pembuatan hukum. Pemegang kedaulatan atau penguasa dapat memasukkan pandangannya atas orang lain yang mungkin tidak adil atau benar. Bahkan dalam hal demokrasi, hal ini dapat terjadi.

No comments:

Post a Comment