Kita sudah mendengar bahwa ada putra-putri Indonesia yang sangat berprestasi di kancah internasional, salah satunya dalam Olimpiade Sains Internasional. Mereka mengharumkan nama ibu pertiwi di mata dunia dengan berhasil meraih medali. Lalu ketika kembali ke tanah air, mereka mempersembahkan kepingan emas, perak dan perunggu kepada negerinya, dengan penuh rasa cinta. Mengutip salah satu artikel di website kompas.com per tanggal 13 juni 2013, menyebutkan “Dalam kurun waktu 20 tahun, Indonesia memperoleh 103 medali emas, 86 medali perak, dan 129 medali perunggu dari berbagai ajang olimpiade sains di dunia. Tahun ini saja, Indonesia meraih 7 medali emas, 5 medali perak, dan 7 medali perunggu. Murid Indonesia untuk pertama kalinya meraih medali emas tahun 1999 dalam ajang Olimpiade Fisika Internasional Ke-30 di Padova, Italia.” Hal ini sebenarnya cukup membuktikan bahwa kwalitas sumber daya manusia di negeri kita tidak bisa di pandang sebelah mata. Namun ada satu hal yang sangat disayangkan, yaitu kenyataan bahwa sebagian besar pelajar berprestasi tersebut dididik di sekolah-sekolah swasta. Bukan sekolah negeri yang dikelola langsung oleh pemerintah.
Di samping itu, kita pun telah bosan mengetahui banyak pelajar Indonesia yang ‘tidak sukses’ melalui masa pendidikannya di bangku sekolah. Buktinya? Pengangguran menjamur, lulusan yang tak berkwalitas membanjir dan yang paling mengkhawatirkan adalah banyak dari mereka yang tak bermoral. Alasannya macam-macam, mulai dari mewajarnya tradisi saling contek, kurang adanya tekad yang kuat untuk mewujudkan cita-cita, ekonomi keluarga yang terbatas hingga langkah untuk mencari ilmu terhenti, mewabahnya kerusakan moral pada diri generasi muda yang mengerdilkan pola pikir mereka, terbatasnya tenaga pengajar yang berkwalitas, dan yang paling mendasar menurut penulis, mungkin karena pemerintah kita kurang berhasil menerapkan sistem pendidikan yang baik di Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang setiap harinya berlarian di lampu merah, turun naik angkutan kota, membawa gitar sambil menyanyi semaunya, berdagang asongan atau sekadar menyodorkan bungkus permen kosong kepada setiap orang yang lewat dengan harapan mereka sudi mengisi kantong-kantong tersebut dengan beberapa keping rupiah. Ah, ini adalah wajah lain yang buram dari Indonesia. Seharusnya, bukan di jalanlah tempat mereka. Mereka berhak berada di sekolah, menikmati ilmu sambil mempersiapkan diri menjadi generasi penerus bumi pertiwi.
Terlepas dari itu semua, ada hal yang harus disyukuri yaitu gratisnya sekolah SDN, SMPN, SMAN dan sederajat. Ini langkah yang baik dari pemerintah untuk mengurangi angka putus sekolah. Namun nyatanya, masih saja banyak anak-anak yang berkeliaran di jalan demi mencari uang. Jalanan telah menanamkan keyakinan pada diri mereka, bahwa jika mereka pergi ke sekolah maka tak akan ada makanan untuk hari esok. Pola fikir seperti ini harus diubah. Negara harus menjamin sepenuhnya kehidupan anak-anak jalanan agar mereka bisa besekolah dengan tenang.
Tak cukup sampai digratiskannya pendidikan, pendidikan yang berkwalitas juga sangat penting untuk mencetak manusia-manusia terdidik dan bermoral. Kita sudah mengetahui bahwa kecerdasan seseorang tak hanya diukur pada intelegensinya saja. Ada faktor-faktor lain yang juga menuntut untuk diasah. Kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional bahkan lebih mempengaruhi keberhasilan seseorang dibandingkan dengan nilai-nilai yang hanya menunjukkan intelegensinya. Harus ada porsi yang sesuai. Tidak berat sebelah. Sebagai contoh, pada jenjang sekolah dasar sebaiknya anak-anak terlebih dahulu diberi pendidikan agama yang kuat. Hal ini dapat membentuk akhlak yang baik sejak dini juga dapat mengajarkan tentang hakikat hidup yang sebenarnya. Di samping itu, pendidikan emosional juga penting untuk melatih mereka bersikap dengan baik. Masa seusia mereka, tak perlulah dijejali dengan ilmu-ilmu rumit metematika, fisika, sejarah, biologi, komputer, bahasa asing dan sebagainya. Bukan karena ilmu-ilmu tersebut tidak penting. Ilmu-ilmu tersebut juga harus dipelajari namun tak boleh mendominasi. Masa mereka adalah masa yang paling baik untuk membentuk karakter. Jika mereka sudah mengerti dengan baik bagaimana harus bersikap, barulah mempelajari ilmu lain sambil menuntun mereka mencari minat dan mengembangkan bakat.
Masa SMP, adalah masa yang baik untuk mempelajari banyak hal. Dengan begitu, diharapkan siswa mempunyai wawasan yang luas. Lalu di masa SMA, mulailah mereka mempelajari satu bidang yang menjadi pilihanya. Tak perlu dibebani dengan pelajaran macam-macam yang tak jelas manfaatnya bagi diri mereka. Contohnya, siswa di paksa mempelajari rumus-rumus integral dan deferensial padahal minatnya adalah seni. Menderita sekali pasti, mempelajari sesuatu tanpa kerelaan di hati. Sejak SMA, mereka seharusnya sudah serius mempelajari satu bidang yang diminati. Agar tak bingung menentukan bidang kuliah saat lulus sekolah. Atau jika mereka tak mampu melanjutkan ke jenjang pergurun tinggi, minimal mereka punya spesifikasi keahlian yang bisa diandalkan.
Lalu, siapa yang paling bertanggungjawab terhadap pendidikan di Indonesia? Pemerintah pastinya. Namun tidak sepenuhnya. Kita, sebagai warga Negara Indonesia-pun harus turut serta membangun pendidikan yang berkwalitas. Kita bisa memulainya sesuai dengan kapasistas yang dipunya. Salah satunya pada keluarga kita sendiri. Sebagai unit terkecil dari suatu negara, peran keluarga justru sangat besar untuk membentuk kepribadian setiap anggotanya. Orang tua harus memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya, menyemangati mereka untuk lebih berprestasi, mengarahkan bakat mereka agar tidak bingung kemana harus melangkah.
No comments:
Post a Comment