Saya tergelitik dengan sebuah pertanyaan yang bernada menggugat,
‘’Haruskah Presiden Indonesia itu orang Jawa?’’ Saya mencoba menelusuri
riwayat presiden yang pernah memimpin negara kita, yaitu Soekarno,
Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono,
semuanya memang orang Jawa. Hanya Habibie yang bukan orang Jawa,
melainkan putra dari Sulawesi. Itu pun Habibie menduduki kursi presiden
karena menggantikan Soeharto yang mundur.
Pertanyaan bernada menggugat di atas juga disertai dengan argumen, karena presidennya orang Jawa maka hanya daerah-daerah di Jawa saja yang diperhatikan dan maju. Padahal hasil pendapatan negara terbesar justru diperoleh dari pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dan ironisnya, masyarakat dari daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah tersebut malah banyak yang hidupnya tidak sejahtera. Akibat dari konsentrasi kepemimpinan yang ‘’jawa sentris’’ maka banyak daerah di luar Jawa yang merasa ‘’iri’’. Sehingga terjadilah sejumlah gerakan seperti Aceh Merdeka, Papua Merdeka, serta Maluku, dan Tapanuli yang juga menuntut kemerdekaan.
Persoalan di atas mengusik hati saya, karena ada kaitannya dengan tahun 2014 sebagai tahun politik, sekaligus tahun berakhirnya masa jabatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat ini, Indonesia tengah membuka ‘’audisi’’ calon presiden yang akan akan memimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan melalui pemilihan umum. Tentu saja, tak mudah untuk mendapatkan presiden ideal dan sempurna dalam memimpin negara. Namun, harapan harus terus ditumbuhkan, karena harapan positif akan menjadi sebuah doa.
Untuk saya sendiri, saya sangat mendambakan presiden berjiwa pemimpin yang sekaligus seorang negarawan serta memiliki visi tentang keindonesiaan. Dan, dia, tak harus orang Jawa!
Mengapa presiden yang berjiwa pemimpin? Karena Indonesia dan rakyatnya tak membutuhkan presiden yang seorang pejabat, melainkan seseorang yang bisa menjadi pemimpin karena panggilan jiwa, memiliki kemampuan mengatur, mengelola dirinya sendiri, orang lain, dan komunitas, mampu menjadi pelayan, sumber inspirasi, serta teladan. Pemimpin yang seorang negarawan juga akan berpikir untuk jangka panjang, sedangkan politisi hanya berpikir untuk jangka pendek (lima tahunan). Negarawan akan berpikir bagaimana mewujudkan idealismenya untuk menghadirkan perubahan, perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Saya juga berharap, presiden Indonesia mendatang, merupakan pemimpin yang visioner, memiliki visi tentang keindonesiaan, yang mengetahui dengan persis keunggulan, kelemahan, potensi, dan tantangan Indonesia di masa depan sehingga bisa membuat grand design yang jelas, terukur dan dapat terlaksana dalam membangun dan memajukan bangsa dan negara.
Selebihnya, selain syarat di atas, Presiden Indonesia harapan saya haruslah punya sifat jujur. Ketidakjujuran pemimpin akan menghadirkanhutang fundamental, hutang yang skalanya tidak bisa diselesaikan dan dilunasi hanya dengan uang. Jika presiden tidak jujur maka rakyat akan merasa dizalimi, pihak yang sudah merasa di puncak penderitaan biasanya siap mengibarkan bendera perang.
Hal lain yang juga menjadi harapan saya, presiden yang menjadi pemimpin Indonesia tidak memiliki beban dan keterkaitan dengan sejarah masa lalu. Dengan begitu, ia akan mampu mengarahkan bangsa dan negara dengan tegas, penuh percaya diri, serta independen. Tak mungkin presiden yang memiliki sejarah masa lalu terkait kasus korupsi dan suap misalnya, bisa memimpin negara menjadi makmur, tentram dan sejahtera. Jika seorang pemimpin pada masa lalu, serta saat menduduki jabatan melakukan kecurangan dan penghianatan, maka sudah dipastikan dia akan sulit menepati janji. Jika jabatan presiden hanya disikapi sebagai arena ‘’rekreasi’’ untuk mengamankan kepentingan dan kerajaan pribadinya, maka ia akan kehilangan pusatnya sebagai pemimpin negara. Ia menjadi pusat penipuan, pusat hadirnya kecurangan dan ketidakadilan.
Jika ditarik benang merah, presiden Indonesia harapan saya, dialah pemimpin pembebas yang mendobrak dan memutus masalah bangsa, mulai dari korupsi, kemiskinan, ketidakdilan, sekaligus pemimpin pemersatu yang bisa mengonsolidasikan wilayah yang terpecah belah, mensinergikan, mengintegrasikan semua daerah agar tidak terjadi ketimpangan antardaerah. Dan, terakhir dia adalah pemimpin pemakmur yang bisa mengembangkan sumber daya material dan spiritual yang dimiliki Indonesia.
Cukup sulit memang menemukan seseorang yang memiliki tiga tipe di atas sekaligus. Namun, bukan berarti mustahil memiliki Presiden yang ideal. Karena ‘’kekurangan’’ tersebut bisa disiasati. Presiden bisa membentuk tim aparatur negara dan pimpinan kepada daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas baik, yang akan membantu melancarkan tugas-tugasnya dalam mencapai tujuan negara.
Sebenarnya, banyak figur pemimpin yang mendekati kriteria harapan saya di atas. Namun, pada kenyataannya, banyak orang baik berjiwa pemimpin, visioner, berani, dan jujur malah frustasi karena tak memiliki kesempatan untuk naik menjadi orang nomor satu Indonesia.
Pertanyaan bernada menggugat di atas juga disertai dengan argumen, karena presidennya orang Jawa maka hanya daerah-daerah di Jawa saja yang diperhatikan dan maju. Padahal hasil pendapatan negara terbesar justru diperoleh dari pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dan ironisnya, masyarakat dari daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah tersebut malah banyak yang hidupnya tidak sejahtera. Akibat dari konsentrasi kepemimpinan yang ‘’jawa sentris’’ maka banyak daerah di luar Jawa yang merasa ‘’iri’’. Sehingga terjadilah sejumlah gerakan seperti Aceh Merdeka, Papua Merdeka, serta Maluku, dan Tapanuli yang juga menuntut kemerdekaan.
Persoalan di atas mengusik hati saya, karena ada kaitannya dengan tahun 2014 sebagai tahun politik, sekaligus tahun berakhirnya masa jabatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat ini, Indonesia tengah membuka ‘’audisi’’ calon presiden yang akan akan memimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan melalui pemilihan umum. Tentu saja, tak mudah untuk mendapatkan presiden ideal dan sempurna dalam memimpin negara. Namun, harapan harus terus ditumbuhkan, karena harapan positif akan menjadi sebuah doa.
Untuk saya sendiri, saya sangat mendambakan presiden berjiwa pemimpin yang sekaligus seorang negarawan serta memiliki visi tentang keindonesiaan. Dan, dia, tak harus orang Jawa!
Mengapa presiden yang berjiwa pemimpin? Karena Indonesia dan rakyatnya tak membutuhkan presiden yang seorang pejabat, melainkan seseorang yang bisa menjadi pemimpin karena panggilan jiwa, memiliki kemampuan mengatur, mengelola dirinya sendiri, orang lain, dan komunitas, mampu menjadi pelayan, sumber inspirasi, serta teladan. Pemimpin yang seorang negarawan juga akan berpikir untuk jangka panjang, sedangkan politisi hanya berpikir untuk jangka pendek (lima tahunan). Negarawan akan berpikir bagaimana mewujudkan idealismenya untuk menghadirkan perubahan, perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Saya juga berharap, presiden Indonesia mendatang, merupakan pemimpin yang visioner, memiliki visi tentang keindonesiaan, yang mengetahui dengan persis keunggulan, kelemahan, potensi, dan tantangan Indonesia di masa depan sehingga bisa membuat grand design yang jelas, terukur dan dapat terlaksana dalam membangun dan memajukan bangsa dan negara.
Selebihnya, selain syarat di atas, Presiden Indonesia harapan saya haruslah punya sifat jujur. Ketidakjujuran pemimpin akan menghadirkanhutang fundamental, hutang yang skalanya tidak bisa diselesaikan dan dilunasi hanya dengan uang. Jika presiden tidak jujur maka rakyat akan merasa dizalimi, pihak yang sudah merasa di puncak penderitaan biasanya siap mengibarkan bendera perang.
Hal lain yang juga menjadi harapan saya, presiden yang menjadi pemimpin Indonesia tidak memiliki beban dan keterkaitan dengan sejarah masa lalu. Dengan begitu, ia akan mampu mengarahkan bangsa dan negara dengan tegas, penuh percaya diri, serta independen. Tak mungkin presiden yang memiliki sejarah masa lalu terkait kasus korupsi dan suap misalnya, bisa memimpin negara menjadi makmur, tentram dan sejahtera. Jika seorang pemimpin pada masa lalu, serta saat menduduki jabatan melakukan kecurangan dan penghianatan, maka sudah dipastikan dia akan sulit menepati janji. Jika jabatan presiden hanya disikapi sebagai arena ‘’rekreasi’’ untuk mengamankan kepentingan dan kerajaan pribadinya, maka ia akan kehilangan pusatnya sebagai pemimpin negara. Ia menjadi pusat penipuan, pusat hadirnya kecurangan dan ketidakadilan.
Jika ditarik benang merah, presiden Indonesia harapan saya, dialah pemimpin pembebas yang mendobrak dan memutus masalah bangsa, mulai dari korupsi, kemiskinan, ketidakdilan, sekaligus pemimpin pemersatu yang bisa mengonsolidasikan wilayah yang terpecah belah, mensinergikan, mengintegrasikan semua daerah agar tidak terjadi ketimpangan antardaerah. Dan, terakhir dia adalah pemimpin pemakmur yang bisa mengembangkan sumber daya material dan spiritual yang dimiliki Indonesia.
Cukup sulit memang menemukan seseorang yang memiliki tiga tipe di atas sekaligus. Namun, bukan berarti mustahil memiliki Presiden yang ideal. Karena ‘’kekurangan’’ tersebut bisa disiasati. Presiden bisa membentuk tim aparatur negara dan pimpinan kepada daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas baik, yang akan membantu melancarkan tugas-tugasnya dalam mencapai tujuan negara.
Sebenarnya, banyak figur pemimpin yang mendekati kriteria harapan saya di atas. Namun, pada kenyataannya, banyak orang baik berjiwa pemimpin, visioner, berani, dan jujur malah frustasi karena tak memiliki kesempatan untuk naik menjadi orang nomor satu Indonesia.
No comments:
Post a Comment