Sunday, 1 June 2014

Presiden Harapanku - Siapakah?

Jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia menjadi incaran siapapun yang merasa dirinya mampu memimpin 237.000.000 lebih penduduk. Ambisi maupun keinginan untuk mengabdi pada negeri tersemat melalui janji-janji ketika kampanye. Mereka menghadirkan citra diri sebagai sosok yang beragam dengan berbagai slogan. Bersih, peduli, tegas, pemberantasan korupsi, membuat Macan Asia kembali mengaum dan lain-lain. Semua cara ditempuh demi meningkatkan elektabilitas, tetapi sudahkah mereka belajar tentang kelemahan dan kelebihan dari presiden sebelumnya?

Tulisan ini akan membahas mengenai siapa sosok yang pantas menjadi presiden Indonesia periode 2014-2019. Sosok yang dibahas bukan langsung menyebutkan sebuah nama, melainkan masih dalam pencarian, siapa yang mendekati kualifikasi. Kualifikasi ini disusun berdasarkan dua kategori yakni negarawan dan politisi. Sebagaimana dilukiskan oleh Abdul Gaffar Karim, dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM, “salah satu ciri seorang negarawan: ia dihargai dan dijadikan rujukan oleh orang-orang secara lintas parpol. Bagi seorang negarawan, parpol adalah baju yang kekecilan. Jika seseorang masih memerlukan “pemujaan” dan pembelaan dari parpol tertentu, ia baru politisi, bukan negarawan”.
Siapakah sosok presiden Republik Indonesia yang berhasil menjadi seorang negarawan, dan siapa yang hanya sebatas politisi? Berikut akan dipaparkan kelebihan dan kekurangan ketika menjabat sebagai presidan dan pada kategori mana dia berada berdasarkan klasifikasi tersebut.

Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia menjabat pada tahun 1945-1967. Sosoknya dikenal sebagai orator ulung, setiap pidatonya mampu membuat orang berdecak kagum dan mengobarkan semangat juang untuk meraih kemerdekaan. Ketika Indonesia sudah dideklarasikan sebagai sebuah negara merdeka, beragam upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan mendapatkan pengakuan dari dunia internasional terus dilakukan. Pertempuran terjadi di berbagai daerah untuk menghalau kembalinya kekuasaan penjajah. Pertempuran yang terjadi diantaranya: pertempuran lima hari di Semarang, pertempuran Yogyakarta, pertempuran Surabaya, pertempuran Ambarawa, pertempuran Medan Area, dan Bandung Lautan Api.
Upaya mendapatkan pengakuan dari dunia internasional nampak ketika inisiatif untuk membantu negara-negara di Asia Afrika yang belum mendapatkan kemerdekaan. Melalui Konferensi Asia Afrika (KAA), Sukarno tampil sebagai pemimpin Indonesia yang memotivasi mereka untuk memerdekakan diri dari imperialisme dan kolonialisme. Meskipun tidak sepenuhnya berhasil membuat semua negara merdeka, tetapi semangat kemerdekaan yang ditularkan mampu membangkitkan semangat juang. Lawan, Merdeka atau Mati, merupakan pekik pejuang yang lantang diucapkan pada masa itu.

Sukarno dengan segala kesuksesannya membuat konstruksi citra diri di akhir masa jabatan menjadi negatif. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa label yang sengaja disematkan pada dirinya yakni: mandataris MPR, presiden seumur hidup, dan bapak revolusi. Pengangkatan sebagai presiden seumur hidup justru membuat segala citra dirinya yang positif sebagai orator ulung dan tokoh revolusioner menjadi hancur. Dia dinilai haus akan kekuasaan.

Soeharto, menjabat pada tahun 1966-1998. Dia adalah presiden terlama yang memegang jabatan. Kepemimpinannya dinilai sebagai masa kelam bagi sejarah Indonesia. Pembredelan beberapa media pemberitaan, penembakan misterius, dwifungsi ABRI, nepotisme. Otoritarianisme adalah kata kunci dalam menggambarkan kepemimpinan Soeharto. Meskipun jelas bahwa dia memiliki visi yang terwujud dalam trilogi pembangunan yakni: stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Sayangnya, implementasi dari visi tersebut melibatkan berbagai cara termasuk menghilangkan nyawa para pemberontak yang tidak sepaham dengannya.

Baharudin Jusuf (BJ) Habibie, menjabat sebagai presiden pada tahun 1998-1999. Presiden dengan masa jabatan paling singkat. Dia adalah presiden yang berasal dari golongan teknokrat dan telah mengambil beberapa keputusan penting yang dinilai kontroversial oleh sebagian kalangan. Melepaskan Timor-Timor dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengizinkan pers bersuara termasuk mengkritik pemerintah, menjadikan Golkar sebagai salah satu partai, melarang Pegawai Negeri Sipil menjadi konstituen partai. Terobosan yang ditempuhnya sebagian telah berhasil dijalankan, tetapi yang lainnya belum karena keterbatasan waktu. Dia memikirkan segala keputusan yang hendak diambil dengan segala analisa resiko dan keuntungan, waktu, dan biaya secara detail, serinci dia mendesain mesin pesawat.
Abdurahman Wahid (Gus Dur), menjabat sebagai presiden pada tahun 1999-2001. Dia dikenal sebagai presiden yang egaliter dengan toleransi tinggi. Pembawaannya santai dan ceplas-ceplos.

Dia menghargai pemeluk agama lain selain Islam seperti agama yang dianutnya. Sehingga pada masa kepemimpinannya, para pemeluk agama Konghucu diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinan mereka. Hari besar semua agama dijadikan libur nasional. Ketika Gus Dur harus lengser dari kursi kepresidenan, jabatannya kemudian digantikan oleh wakilnya yakni Megawati Soekarnoputri. Keberhasilan menonjol dari kepemimpinannya adalah di bidang ekonomi yakni rendahnya inflasi, stabilnya nilai tukar dan cadangan devisa. Namun, dalam bidang lainnya belum tampak keberhasilan signifikan yang diraih.

Susilo Bambang Yudhoyono, menjabat pada tahun 2004-2014. Lima tahun masa kepemimpinannya yang pertama, terobosan terutama di bidang penegakan hukum bagi para koruptor massif dilakukan. Hukum dijalankan tanpa pandang bulu bahkan besannya sendiri harus masuk bui karena tertangkap melakukan korupsi. Kedisiplinan dan ketaatan pada hukum masih tampak dalam kepemimpinannya hingga kini. Namun, pada periode kedua kepemimpinannya prestasi pemberantasan korupsi tidak lagi menjadi fokus melainkan kesibukannya membangun citra diri. Dia responsif terhadap berbagai macam isu yang muncul di masyarakat, tetapi seringkali salah fokus. Porsi menyampaikan kegelisahan, keprihatinan, dan mencari simpati rakyat lebih dominan sehingga memunculkan kesan ‘presiden galau’.

Tahun 2014 merupakan momentum untuk kembali menentukan pemimpin yang ideal. Sosok pemimpin ideal adalah mereka yang mampu menjadi politisi-negarawan, perpaduan antara Gus Dur dan BJ Habibie. Menjadi politisi ketika berada dalam institusi, mengantisipasi segala kemungkinan yang muncul dari oposisi maupun koalisi. Tidak anti kritik terhadap segala implementasi kebijakan yang dinilai merugikan rakyat, dan siap menanggung segala resiko ketika keputusan yang diambil ternyata merugikan termasuk lengser dari kursi kepresidenan. Menjadi negarawan ketika sendirian, memikirkan regenerasi pemimpin, tidak berambisi menguasai.

No comments:

Post a Comment