Silogisme
merupakan suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif (dari hal
umum kepada hal khusus). Silogisme disusun dari dua premis/ proposisi,
kemudian dari dua pernyataan tersebut ditariklah sebuah konklusi atau
kesimpulan. Sederhananya adalah seperti ini, bahwa ada premis mayor dan
premis minor, dan dari hubungan kedua premis itulah maka kemudian dapat
ditarik sebuah kesimpulan.
Kita dapat melihatnya dalam contoh berikut:
Setiap perusahaan di Indonesia harus mematuhi UU di Indonesia (premis mayor) // PT. Angin Ribut Jaya adalah perusahaan di Indonesia (premis minor) // PT. Angin Ribut harus mengikuti UU di Indonesia (kesimpulan).
Tapi
silogisme yang kita bangun mestinya harus juga mematuhi kaidah-kaidah
tertentu, sebab tidak semua logika silogisme yang kita bangun akan
berhasil membangun sebuah kesimpulan yang masuk akal, dan dapat diterima
oleh akal sehat kita. Silogisme itu sendiri haruslah memerhatikan
berbagai macam kategori yang sesuai, agar kemudian tidak gagal
kesimpulan. Ada semacam kaidah atau hukum silogisme kategorik yang tidak
boleh kita langgar.
Misalnya, untuk lebih gampangnya silakan Anda lihat pada contoh berikut ini:
Semua korupsi dilakukan boleh pejabat (premis mayor) // SBY adalah pejabat (premis minor) // SBY adalah koruptor (kesimpiulan).
Nah,
silogisme kategorik seperti ini tentu akan ditolak oleh logika dan akal
kita yang masih sehat. Memang, katakanlah bahwa pada kenyataannya semua
tindak kejahatan korupsi dilakukan oleh pejabat, namun demikian tidak
serta merta kita dapat mengatakan bahwa SBY korupsi oleh KARENA
dia adalah seorang pejabat (ini hanya contoh saja, jangan simpan dalam
hati). Bahwa semua korupsi dilakukan oleh pejabat, iya. Namun tidak semua
pejabat melakukan korupsi. Kita mesti hati-hati memainkan logika
silogisme dalam hal ini, karena justru kita bisa terjebak sendiri di
dalamnya.
Apapun
pernyataan yang hendak kita sampaikan, atau debatkan tidak boleh masuk
dalam ranjau ‘gagal kesimpulan’, atau gagal makna. Artinya apa yang kita
debatkan, atau simpulkan dari pernyataan-pernyataan kemudian menjadi
tidak masuk akal dan tidak berlogika, tentu akan memojokkan diri kita
sendiri. Akhirnya apa? Semua argumen maupun pernyataan yang kita bangun
hanya akan ditertawakan atau disalahtafsirkan orang.
Mari
kita bahas sedikit saja tentang perdebatan dan saling lempar pertanyaan
serta pernyataan dari dua kandidat capres republik kita ini, dalam
debat “panas” namun “teduh” dua hari yang lalu itu. Ada beberapa hal
kecil namun terasa sangat krusial yang ingin saya ulas kupas di sini.
Logika Debat Capres
Prabowo
beranggapan bahwa untuk apa Jokowi keluarkan kartu ini dan itu, membuat
kebijakan ini dan itu, kalau tidak ada anggarannya? Apapun yang terjadi
harus ada anggarannya dulu, ya ujung-ujungnya pastilah ambil dana dari
APBN, demikian katanya. Namun setiap tahun APBN dan kekayaan negara kita
bocor sekitar 1000 triliun (dan atau 7000-an triliun versi KPK, menurut
Prabowo). Jadi tutup dulu lubang-lubang kebocorannya, barulah kemudian
dari dananya itu akan dipakai untuk berbagai macam kebijakan dan
kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya. Itu menurut apa yang dia katakan
saat debat dua malam yang lalu.
Maka logika berpikirnya akan menjadi seperti ini:
Semua
kebijakan pembangunan, dan kebijakan-kebijakan lainnya akan jalan dan
dapat dilaksanakan setelah kita berhasil menutup kebocoran APBN dan
kekayaan negara triliunan rupiah itu (premis mayor) //
setiap tahun negara kita masih mengalami kebocoran ribuan triliun
—dijanjikan akan berhasil ditutup kebocorannya oleh Prabowo-Hatta
manakala rakyat memberi mereka mandat— (premis minor) // Maka selama itu negara kita belum bisa membangun, dan menjalankan berbagai kebijakan yang ada (kesimpulan). Selama kebocoran belum tertutupi.
Inilah
yang saya maksudkan gagal kesimpulan. Artinya, premisnya saja sudah
keliru, apalagi kesimpulannya. Bagaimana mungkin negara kita bocor
sampai 1000 triliun setiap tahunnya (7000-an triliun bahkan) kalau
ternyata pembangunan kita masih berlangsung sangat massive
sampai saat ini? Bahkan kalau dirunut ke belakang, bagaimana bisa
pemerintahan SBY menjalankan roda pemerintahan dan membangun ini dan itu
bila bocor sebegitu besarnya per tahunnya?
Bagaimana
dengan Jokowi? Ya Jokowi sendiri juga masih kurang cakap menjelaskan
secara lebih detail garis-garis besar programnya dalam bidang ekonomi.
Tapi kebanyakan logika sederhananya masih jauh lebih masuk akal. Namun
ada yang cukup menarik dari apa yang disampaikan Jokowi. Bahwa katanya
ia akan membuat ruang yang cukup, di seluruh Indonesia, terhadap para
PKL. Logika sederhana Jokowi mengatakan bahwa mereka itu harus diberi
ruang yang cukup. Karena mereka itu bukanlah musuh yang harus
diusir-usir, namun harus dirangkul sebagai juga salah satu roda penggerak perekonomian.
Ide
itu sangat oke, asal saja Jokowi jangan sampai salah langkah. Menurut
sebuah survei ‘aneh-aneh’nya Cak Lontong, bahwa pedagang kaki lima ini
ternyata kakinya cuma dua. Artinya pedagang kaki
limapun manusia biasa yang punya kebiasaan. Nah, mereka ini bisa dan
biasanya suka berpindah kesana-kemari. Bisa saja walaupun sudah
disediakan tempat, toh akhirnya balik juga ke trotoar jalan, dan begitu
seterusnya. Bahkan di beberapa tempat saya lihat mereka justru sudah
sudah berjualan di atas jalan. Saya paling tidak suka kalau lagi jalan,
eh ternyata sudah tidak ada tempat lagi di trotoar jalan, akhirnya kita
harus jalan bersenggol-senggolan sama mobil dan motor. Ini tentu sangat
melanggar hak saya dan ribuan pejalan kaki lainnya. Ini mesti dipikirkan
secara komprehensif, jangan hanya disiapkan ruang yang cukup lantas
kemudian dibiarkan begitu saja tanpa pernah dikontrol. Di Tanah Abang, toh ada juga yang balik lagi jualan di jalan.
Sebetulnya
ada beberapa poin bagus dan penting yang belum digarap dan digagas oleh
keduanya pada saat debat itu. Kenapa tidak ada satupun yang berbicara
mengenai pajak umpamanya? Sesuatu yang kalau diseriusi akan sangat besar
manfaatnya. Berapa kekayaan negara yang jebol di sini? Bisa jadi
kenyataannya, memang yang sudah jelas ada kebocoran ya di sektor
pendapatan pajak. Di Amerika Serikat, pendapatan dari sektor pajak itu
adalah sangat besar, mungkin nomor dua terbesar. Setiap orang harus
membayar pajak sesuai pendapatannya, semakin besar pendapatannya maka
akan semakin besar pajak yang harus ia bayar. Setiap perusahan besar dan
kecil harus bayar pajak. Makanpun kita sebetulnya harus bayar pajak
yang kebanyakan sudah termasuk di dalam tip yang kita bayarkan. Dan
semuanya itu dikontrol dengan apa yang disebut sebagai “single identity” dan ada nomor ‘pelacak’nya. Di sana dikenal dengan sebutaan Social Security Number (SSN).
Kalau
saja pemerintah kita menyeriusi soal pajak, saya amat yakin keuangan
negara kita akan bertambah lumayan besar. Bayangkan saja, di Indonesia
jangankan wajib bayar pajak, tapi pajak yang sudah dibayarkanpun masih
tetap dikorupsi, dicuri, dan dirampok. Dan yang merampok itu justru
adalah para petugas perpajakan. Dua kandidat kita tidak satupun (belum
satupun) yang menyinggung sektor pajak ini.
Esensi Debat
Logika
berpikir tentang ide dan gagasan oleh ke dua capres ini sebetulnya
hampir sama, hanya saja berbeda dari segi teknik dan cara penyampainnya.
Yang satu melihat secara makro, yang lain berbicara mikro. Sebetulnya
apapun teknik berdebat yang mereka pakai seharusnya tak perlu berdampak
pada esensi debat itu sendiri.
Esensi
debat adalah bahwa kedua capres ini mampu mengungkapkan strategi dan
visi misi mereka secara lebih tajam dan lebih detail, langsung menyentuh
ke pokok persoalan, dan mereka juga tentunya harus sanggup menjawab
menyanggah pertanyaan dari lawan debat, yang dirasa kurang detail dan
kurang tajam. Selain itu, keduanya juga sudah mengumbar begitu banyak
janii tentang industri, pangan, energi, keuangan, ekonomi kreatif,
infrastruktur, dan lapangan kerja. Karena esensi debat adalah penajaman
visi misi, maka saya kurang setuju dengan statement, “Apapun itu, maka
JANGAN PERNAH setuju terhadap apa yang dikatakan lawan debat” Ini sama
sekali keliru. Debat yang bermartabat serta bermanfaat adalah debat yang
tidak buta hati. Kalau kita berdebat hanya untuk supaya terlihat
unggul, terlihat gagah, terlihat pintar, maka serta merta kita sudah
membohongi rakyat pemirsa. Itu pasti, sebab serempak kita menolak apapun
yang baik yang dikatakan lawan debat kita. Bisa menyanggah secara
elegan, tapi bukan dengan cara mencari-cari alasan klise demi supaya
lawan debat kita kehilangan pamor.
Bagi
saya, dalam debat tersebut Prabowo sudah mencoba menunjukkan yang
terbaik yang dia bisa. Tapi memang tidak ada gading yang tak retak.
Bukankah ia juga sudah mengatakannya setelah debat usai, bahwa inikan
kali pertama ia dan Jokowi berdebat, jadi harap maklum saja katanya.
Jokowi pun sudah berusaha menampilkan yang terbaik yang ia miliki. Namun
ia tetaplah seorang pemimpin sederhana, yang bukan seorang orator
ulung, ia juga mungkin bukan seorang pendebat ulung. Yang pasti, segala
sederhanaan dan kemauannya bekerja, itulah yang disukai banyak orang.
Jokowi tidak perlu meniru gaya Prabowo, begitupun sebaliknya. Harus
menjadi diri sendiri.
Mereka
yang tinggal di desa-desa itu, mereka tak akan pernah peduli gaya dan
suasana di ruang debat. Sebab, sudah terlalu sering mungkin mereka
melihat tukang jual obat dan tukang jual kecap di kampung-kampung
mereka. Makanya mereka butuh kerja nyata, bukan sekedar debat nyata.
Mereka butuh hasil karya yang menyentuh mereka, bukan karya debat yang
tak pernah menyentuh dan tersentuh oleh mereka.
Apa
mau dikata, kita masih harus menunggu lagi tiga kesempatan debat.
Mudah-mudahan tiga yang tersisa itu, debatnya akan lebih berisi dan
bermanfaat. Sebab kalau debat hanya diisi dengan cerita usang tentang
gaya, bahasa, dan kulit luar penampilan sang capres, buat apa ada debat?
Ya baca saja setiap detail visi misi mereka, dan kalau masih kurang
puas silakan kirim email, atau KPU dan Bawaslu boleh tanya langsung ke
masing-masing kubu. Debat yang hanya mempertontokan kemunafikan, peran
antagonis, gaya bersandiwara bisa-bisa hanya akan melahirkan senyum
sinis, dan cibiran sekian juta pemirsa TV. Semoga saja itu tidak
terjadi. —Michael Sendow—
No comments:
Post a Comment