Wednesday, 18 June 2014

Opinion - Logika Debat Jokowi & Prabowo, dan Logika Pemilih

Silogisme merupakan suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif (dari hal umum kepada hal khusus). Silogisme disusun dari dua premis/ proposisi, kemudian dari dua pernyataan tersebut ditariklah sebuah konklusi atau kesimpulan. Sederhananya adalah seperti ini, bahwa ada premis mayor dan premis minor, dan dari hubungan kedua premis itulah maka kemudian dapat ditarik sebuah kesimpulan.

Kita dapat melihatnya dalam contoh berikut:

Setiap perusahaan di Indonesia harus mematuhi UU di Indonesia (premis mayor) // PT. Angin Ribut Jaya adalah perusahaan di Indonesia (premis minor) // PT. Angin Ribut harus mengikuti UU di Indonesia (kesimpulan).

Tapi silogisme yang kita bangun mestinya harus juga mematuhi kaidah-kaidah tertentu, sebab tidak semua logika silogisme yang kita bangun akan berhasil membangun sebuah kesimpulan yang masuk akal, dan dapat diterima oleh akal sehat kita. Silogisme itu sendiri haruslah memerhatikan berbagai macam kategori yang sesuai, agar kemudian tidak gagal kesimpulan. Ada semacam kaidah atau hukum silogisme kategorik yang tidak boleh kita langgar.

Misalnya, untuk lebih gampangnya silakan Anda lihat pada contoh berikut ini:
Semua korupsi dilakukan boleh pejabat (premis mayor) // SBY adalah pejabat (premis minor) // SBY adalah koruptor (kesimpiulan).

Nah, silogisme kategorik seperti ini tentu akan ditolak oleh logika dan akal kita yang masih sehat. Memang, katakanlah bahwa pada kenyataannya semua tindak kejahatan korupsi dilakukan oleh pejabat, namun demikian tidak serta merta kita dapat mengatakan bahwa SBY korupsi oleh KARENA dia adalah seorang pejabat (ini hanya contoh saja, jangan simpan dalam hati). Bahwa semua korupsi dilakukan oleh pejabat, iya. Namun tidak semua pejabat melakukan korupsi. Kita mesti hati-hati memainkan logika silogisme dalam hal ini, karena justru kita bisa terjebak sendiri di dalamnya.

Apapun pernyataan yang hendak kita sampaikan, atau debatkan tidak boleh masuk dalam ranjau ‘gagal kesimpulan’, atau gagal makna. Artinya apa yang kita debatkan, atau simpulkan dari pernyataan-pernyataan kemudian menjadi tidak masuk akal dan tidak berlogika, tentu akan memojokkan diri kita sendiri. Akhirnya apa? Semua argumen maupun pernyataan yang kita bangun hanya akan ditertawakan atau disalahtafsirkan orang.

Mari kita bahas sedikit saja tentang perdebatan dan saling lempar pertanyaan serta pernyataan dari dua kandidat capres republik kita ini, dalam debat “panas” namun “teduh” dua hari yang lalu itu. Ada beberapa hal kecil namun terasa sangat krusial yang ingin saya ulas kupas di sini.

Logika Debat Capres
Prabowo beranggapan bahwa untuk apa Jokowi keluarkan kartu ini dan itu, membuat kebijakan ini dan itu, kalau tidak ada anggarannya? Apapun yang terjadi harus ada anggarannya dulu, ya ujung-ujungnya pastilah ambil dana dari APBN, demikian katanya. Namun setiap tahun APBN dan kekayaan negara kita bocor sekitar 1000 triliun (dan atau 7000-an triliun versi KPK, menurut Prabowo). Jadi tutup dulu lubang-lubang kebocorannya, barulah kemudian dari dananya itu akan dipakai untuk berbagai macam kebijakan dan kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya. Itu menurut apa yang dia katakan saat debat dua malam yang lalu.

Maka logika berpikirnya akan menjadi seperti ini:

Semua kebijakan pembangunan, dan kebijakan-kebijakan lainnya akan jalan dan dapat dilaksanakan setelah kita berhasil menutup kebocoran APBN dan kekayaan negara triliunan rupiah itu (premis mayor) // setiap tahun negara kita masih mengalami kebocoran ribuan triliun —dijanjikan akan berhasil ditutup kebocorannya oleh Prabowo-Hatta manakala rakyat memberi mereka mandat— (premis minor) // Maka selama itu negara kita belum bisa membangun, dan menjalankan berbagai kebijakan yang ada (kesimpulan). Selama kebocoran belum tertutupi.

Inilah yang saya maksudkan gagal kesimpulan. Artinya, premisnya saja sudah keliru, apalagi kesimpulannya. Bagaimana mungkin negara kita bocor sampai 1000 triliun setiap tahunnya (7000-an triliun bahkan) kalau ternyata pembangunan kita masih berlangsung sangat massive sampai saat ini? Bahkan kalau dirunut ke belakang, bagaimana bisa pemerintahan SBY menjalankan roda pemerintahan dan membangun ini dan itu bila bocor sebegitu besarnya per tahunnya?

Bagaimana dengan Jokowi? Ya Jokowi sendiri juga masih kurang cakap menjelaskan secara lebih detail garis-garis besar programnya dalam bidang ekonomi. Tapi kebanyakan logika sederhananya masih jauh lebih masuk akal. Namun ada yang cukup menarik dari apa yang disampaikan Jokowi. Bahwa katanya ia akan membuat ruang yang cukup, di seluruh Indonesia, terhadap para PKL. Logika sederhana Jokowi mengatakan bahwa mereka itu harus diberi ruang yang cukup. Karena mereka itu bukanlah musuh yang harus diusir-usir, namun harus dirangkul sebagai juga salah satu roda penggerak perekonomian.

Ide itu sangat oke, asal saja Jokowi jangan sampai salah langkah. Menurut sebuah survei ‘aneh-aneh’nya Cak Lontong, bahwa pedagang kaki lima ini ternyata kakinya cuma dua. Artinya pedagang kaki limapun manusia biasa yang punya kebiasaan. Nah, mereka ini bisa dan biasanya suka berpindah kesana-kemari. Bisa saja walaupun sudah disediakan tempat, toh akhirnya balik juga ke trotoar jalan, dan begitu seterusnya. Bahkan di beberapa tempat saya lihat mereka justru sudah sudah berjualan di atas jalan. Saya paling tidak suka kalau lagi jalan, eh ternyata sudah tidak ada tempat lagi di trotoar jalan, akhirnya kita harus jalan bersenggol-senggolan sama mobil dan motor. Ini tentu sangat melanggar hak saya dan ribuan pejalan kaki lainnya. Ini mesti dipikirkan secara komprehensif, jangan hanya disiapkan ruang yang cukup lantas kemudian dibiarkan begitu saja tanpa pernah dikontrol. Di Tanah Abang, toh ada juga yang balik lagi jualan di jalan.

Sebetulnya ada beberapa poin bagus dan penting yang belum digarap dan digagas oleh keduanya pada saat debat itu. Kenapa tidak ada satupun yang berbicara mengenai pajak umpamanya? Sesuatu yang kalau diseriusi akan sangat besar manfaatnya. Berapa kekayaan negara yang jebol di sini? Bisa jadi kenyataannya, memang yang sudah jelas ada kebocoran ya di sektor pendapatan pajak. Di Amerika Serikat, pendapatan dari sektor pajak itu adalah sangat besar, mungkin nomor dua terbesar. Setiap orang harus membayar pajak sesuai pendapatannya, semakin besar pendapatannya maka akan semakin besar pajak yang harus ia bayar. Setiap perusahan besar dan kecil harus bayar pajak. Makanpun kita sebetulnya harus bayar pajak yang kebanyakan sudah termasuk di dalam tip yang kita bayarkan. Dan semuanya itu dikontrol dengan apa yang disebut sebagai “single identity” dan ada nomor ‘pelacak’nya. Di sana dikenal dengan sebutaan Social Security Number (SSN).
 
Kalau saja pemerintah kita menyeriusi soal pajak, saya amat yakin keuangan negara kita akan bertambah lumayan besar. Bayangkan saja, di Indonesia jangankan wajib bayar pajak, tapi pajak yang sudah dibayarkanpun masih tetap dikorupsi, dicuri, dan dirampok. Dan yang merampok itu justru adalah para petugas perpajakan. Dua kandidat kita tidak satupun (belum satupun) yang menyinggung sektor pajak ini.

Esensi Debat
Logika berpikir tentang ide dan gagasan oleh ke dua capres ini sebetulnya hampir sama, hanya saja berbeda dari segi teknik dan cara penyampainnya. Yang satu melihat secara makro, yang lain berbicara mikro. Sebetulnya apapun teknik berdebat yang mereka pakai seharusnya tak perlu berdampak pada esensi debat itu sendiri.

Esensi debat adalah bahwa kedua capres ini mampu mengungkapkan strategi dan visi misi mereka secara lebih tajam dan lebih detail, langsung menyentuh ke pokok persoalan, dan mereka juga tentunya harus sanggup menjawab menyanggah pertanyaan dari lawan debat, yang dirasa kurang detail dan kurang tajam. Selain itu, keduanya juga sudah mengumbar begitu banyak janii tentang industri, pangan, energi, keuangan, ekonomi kreatif, infrastruktur, dan lapangan kerja. Karena esensi debat adalah penajaman visi misi, maka saya kurang setuju dengan statement, “Apapun itu, maka JANGAN PERNAH setuju terhadap apa yang dikatakan lawan debat” Ini sama sekali keliru. Debat yang bermartabat serta bermanfaat adalah debat yang tidak buta hati. Kalau kita berdebat hanya untuk supaya terlihat unggul, terlihat gagah, terlihat pintar, maka serta merta kita sudah membohongi rakyat pemirsa. Itu pasti, sebab serempak kita menolak apapun yang baik yang dikatakan lawan debat kita. Bisa menyanggah secara elegan, tapi bukan dengan cara mencari-cari alasan klise demi supaya lawan debat kita kehilangan pamor.

Bagi saya, dalam debat tersebut Prabowo sudah mencoba menunjukkan yang terbaik yang dia bisa. Tapi memang tidak ada gading yang tak retak. Bukankah ia juga sudah mengatakannya setelah debat usai, bahwa inikan kali pertama ia dan Jokowi berdebat, jadi harap maklum saja katanya. Jokowi pun sudah berusaha menampilkan yang terbaik yang ia miliki. Namun ia tetaplah seorang pemimpin sederhana, yang bukan seorang orator ulung, ia juga mungkin bukan seorang pendebat ulung. Yang pasti, segala sederhanaan dan kemauannya bekerja, itulah yang disukai banyak orang. Jokowi tidak perlu meniru gaya Prabowo, begitupun sebaliknya. Harus menjadi diri sendiri.

Mereka yang tinggal di desa-desa itu, mereka tak akan pernah peduli gaya dan suasana di ruang debat. Sebab, sudah terlalu sering mungkin mereka melihat tukang jual obat dan tukang jual kecap di kampung-kampung mereka. Makanya mereka butuh kerja nyata, bukan sekedar debat nyata. Mereka butuh hasil karya yang menyentuh mereka, bukan karya debat yang tak pernah menyentuh dan tersentuh oleh mereka. 

Apa mau dikata, kita masih harus menunggu lagi tiga kesempatan debat. Mudah-mudahan tiga yang tersisa itu, debatnya akan lebih berisi dan bermanfaat. Sebab kalau debat hanya diisi dengan cerita usang tentang gaya, bahasa, dan kulit luar penampilan sang capres, buat apa ada debat? Ya baca saja setiap detail visi misi mereka, dan kalau masih kurang puas silakan kirim email, atau KPU dan Bawaslu boleh tanya langsung ke masing-masing kubu. Debat yang hanya mempertontokan kemunafikan, peran antagonis, gaya bersandiwara bisa-bisa hanya akan melahirkan senyum sinis, dan cibiran sekian juta pemirsa TV. Semoga saja itu tidak terjadi. —Michael Sendow—


No comments:

Post a Comment