Sunday, 1 June 2014

Membangun Pendidikan - Pernahkah Kau Bayangkan Jika

Menara kampus terbesar di India itu menjulang megah. Di hadapannya, tiga orang pemuda terduduk lesu. Satu dari mereka, memegang botol minuman di tangan kanannya, memandang kelamnya langit malam tak berbintang. Perlahan ia berkata pada temannya, “Pernahkah kau bayangkan jika ayahnya Jet Lee menyuruhnya menjadi penyanyi?”

Dialog itu merupakan salah satu adegan dalam film 3 Idiots yang mengambil latar belakang dunia pendidikan di India. Judul film tersebut menggambarkan para tokoh utamanya: Rancho, Raju dan Farhan, tiga pemuda berbakat yang dianggap “bodoh” oleh para dosennya karena tidak mau mengikuti sistem pendidikan yang diterapkan oleh universitas mereka.

Disadari atau tidak, hal yang sama menimpa jutaan siswa di negeri kita. Ketika mereka tidak lulus ujian, atau gagal mendapatkan pekerjaan bergengsi dengan ijazahnya, masyarakat akan memvonis mereka sebagai orang bodoh. Namun benarkah demikian? Benarkah itu merupakan kesalahan para siswa? Tidak, kegagalan tersebut merupakan hasil dari sistem pendidikan negeri ini dan para pelaksananya. Tanpa memperbaiki hal tersebut, hasil yang sama akan terus berulang.

Masalah pertama terletak pada sistem pendidikan kita sendiri. Selama ini, para siswa di Indonesia masih diwajibkan mempelajari hampir seluruh mata pelajaran hingga akhir SMA, dengan setidaknya enam mata pelajaran diujian-nasionalkan. Pola pikir masyarakat kita masih lebih mengutamakan kuantitas, bukannya kualitas. Mereka baru benar-benar fokus ke satu bidang ilmu ketika kuliah. Akibatnya seorang fresh graduate di Indonesia hanya punya pengalaman belajar di bidang profesinya selama 4 tahun.

Tak heran jika kemudian para pemuda itu kalah bersaing dengan lulusan luar negeri ketika melamar pekerjaan di sebuah perusahaan. Mereka tidak punya cukup waktu untuk mempraktekkan apa yang dipelajari di bangku kuliah karena masa SMA mereka dihabiskan dengan melahap seluruh jenis mata pelajaran. Fakta menunjukkan orang-orang yang “bodoh” di sekolah namun memiliki ketertarikan pada satu bidang seringkali lebih sukses dalam kehidupannya dibandingkan para juara kelas dengan kemampuan merata di berbagai pelajaran. Tak heran jika begitu banyak pengusaha sukses justru drop out dari sekolah atau universitasnya.

Akan lebih efektif jika tahapan SMA di Indonesia diubah sepenuhnya menjadi sekolah kejuruan. Para siswa sejak awal diarahkan untuk memilih jurusan tertentu sesuai keinginannya. Dengan demikian ketika masuk kuliah, siswa tinggal mendalami dan melatih ilmu yang telah mereka pelajari sejak bangku SMA. Ketika lulus kuliah, mereka  telah menjadi pemuda terdidik yang benar-benar mampu secara teori dan berpengalaman secara praktis, dengan masa studi di bidang yang berkaitan sekurang-kurangnya tujuh tahun. Hal ini juga membuat mereka tidak perlu lagi menempuh pendidikan profesi seperti yang berlaku saat ini.

Masalah berikutnya terletak pada guru. Atau lebih tepatnya, mentalitas guru. Mayoritas guru di Indonesia masih memperlakukan siswa sebagai tong kosong yang perlu dijejali ilmu mentah-mentah. Setiap harinya para siswa dituntut untuk menghafal, meringkas, dan menerapkan rumus yang tertulis di dalam buku teks. Saat ujian, mereka diminta untuk menjawab berbagai pertanyaan bernada “apa”, “sebutkan” dan “jawablah sesuai dengan teks”. Tak ada rangsangan untuk berfikir kreatif, tak ada ajakan untuk mengkritisi teori yang sudah ada, tak ada motivasi untuk meneliti sesuatu yang baru. 

Pernahkan terpikir bahwa mungkin si siswa merasa tidak setuju dan ingin menggugat teori yang tertulis di dalam buku teks tersebut? Alih-alih mendengarkan, si guru malah akan menegurnya, menegaskan bahwa ia belum cukup ilmu untuk mengkritik tulisan seorang profesor lulusan luar negeri, dan menghukum si siswa “pemberontak” dengan tugas menyalin isi dari buku teks tersebut. Begitulah potret pendidikan kita. Kita tersinggung ketika negara lain merendahkan bangsa kita, tetapi tanpa kita sadari para guru kita sendiri juga seringkali merendahkan potensi siswanya sendiri. 

Seharusnya siswa diajak untuk berfikir kritis dan membahas kemungkinan-kemungkinan baru yang belum ada, menggabungkan pemikiran mereka dengan informasi yang telah mereka dapatkan sebelumnya.  Hal ini akan memotivasi para siswa –dan juga guru, untuk menciptakan hipotesa-hipotesa baru yang kelak dapat dibuktikan dan menjadi penemuan baru.

Guru juga harus memahami bahwa sekolah bukan satu-satunya tempat untuk belajar. Belajar bukanlah soal berapa lembar PR yang siswa kerjakan setiap minggunya. Belajar adalah melatih otak untuk memahami, berimprovisasi dan berimajinasi. Dan terkadang, ruang kelas tidaklah cukup efektif untuk melatih hal tersebut. Archimedes menemukan hukum fisikanya yang terkenal itu saat berendam santai di dalam bak mandinya.  Isaac Newton menemukan teori gaya gravitasi saat berteduh di bawah sebatang pohon apel di halaman depan rumahnya.  Tidakkah hal ini mengajarkan kita sesuatu?

Masalah terakhir adalah mengenai para orangtua sendiri. Disadari atau tidak, orangtua di negeri kita seringkali mengekang keinginan anaknya untuk belajar sesuai dengan bakat dan keinginannya sendiri. Si anak dari keluarga miskin atau menengah mungkin berbakat menjadi pemusik atau pemain sepakbola, namun kewajiban untuk menghidupi adik-adiknya dan desakan dari orangtua memaksanya bersekolah di jurusan keguruan demi melamar menjadi pegawai negeri sipil yang lebih pasti dan terjamin pendapatannya.
Sementara itu, si anak dari keluarga kaya mungkin berminat menjadi seorang arkeolog atau pelukis, tetapi karena harus menjaga nama baik orangtuanya ia terpaksa mengambil pekerjaan yang lebih “bergengsi” seperti dokter atau birokrat. Akibatnya para pemuda kita yang sebenarnya memiliki potensi luar biasa berubah menjadi robot yang bekerja tanpa gairah atau semangat untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sebagian dari mereka kelak menjadi pejabat yang korup, karena tujuan hidupnya telah dibutakan semata-mata demi uang. Sebagian lainnya menjadi depresi.

Seperti yang diutarakan di awal tulisan ini, andaikan Jet Lee disuruh oleh ayahnya untuk menjadi penyanyi, maka saat ini alih-alih menyaksikan kibasan kungfunya yang hebat di film-film Holywood, kita justru akan mendapati seorang penyanyi pinggiran yang setiap tarikan nadanya menyesakkan telinga. Untunglah Jet Lee diijinkan untuk memaksimalkan bakatnya. Para pemuda di Indonesia kini sedang menanti kesempatan serupa, kesempatan untuk mewujudkan bakat mereka masing-masing, kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka sanggup memberikan sesuatu bagi Indonesia. Pernahkah kita bayangkan betapa cerahnya masa depan negeri ini jika hal itu terwujud?

No comments:

Post a Comment