Wacana literasi media dalam dunia kampus belum begitu bergema. Memang
berbicara pendidikan literasi media tak hanya untuk kalangan sivitas
akademika di Perguruan Tinggi. Tapi literasi media menjadi konsumsi
khalayak luas. Akan tetapi, penulis berpikir pendidikan literasi media
(melek media) sejatinya dikuatkan di dalam kampus.
Era teknologi dan informasi meniscayakan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya publik yang tak saja melek media, tapi ia juga memahami, menyikapi, dan memihak pada tayangan media yang benar. Spirit itulah yang digelorakan gerakan literasi media yang selama ini kita dengar.
Di kampus, relasi semangat pendidikan literasi media, biasanya dijalankan pers mahasiswa. Persma bergulat dengan berbagai isu-isu pers dengan membangkitkan kesadaran kritis dan keberpihakan mereka pada informasi media yang mencerahkan. Bahkan mereka juga akan memberikan punishment moral (hukuman) terhadap informasi media yang tak mendidik masyarakat sebagaimana fungsi media yang diatur dalam UU No 40/1999, tentang pers di mana salah satu fungsi media yakni sebagai pendidikan publik.
Itu artinya, betapa pentingnya literasi media tersebut. Literasi media akan memberikan pemahaman lain masyarakat (kampus) terhadap media. Bagaimanapun masyarakat jangan sampai dipandang sebagai bejana kosong media. Mereka bebas memasukkan informasi baik atau buruk dalam alam bawah sadar, pikiran, mentalitas, hingga membentuk perilaku kita. Masyarakat kampus mesti menjadi kelompok aktif terhadap media. Apalagi, semangat terhadap pendidikan literasi media tak hanya diatur dalam UU Pers, namun Komisi Penyiaran Indonesia secara terbuka menjelaskan dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran Pasal 52 terutama ayat 2 yang mengharapkan adanya peran serta masyarakat dalam gerakan literasi media.
Gerakan literasi media sejatinya disambut baik oleh PT. Suka atau tidak senang, kini kita dikepung dengan berbagai kemajuan teknologi. Padahal tayangan media memiliki dua wajah, kadang ia bermuatan sebagai obat, terkadang pula ia berisi racun. Pendidikan literasi media akan memfiltrasi mana tayangan media yang baik, mana yang buruk. Lebih dari itu, literasi media akan menentukkan sikap kita terhadap siaran pers (konvensional).
Literasi Media dan Kurikulum
Betapa urgennya pendidikan literasi media, tapi kalangan PT belum menyambut baik gagasan tersebut. Meskipun kita tahu beberapa kampus, terutama PT yang memiliki jurusan komunikasi, juga mempelajari tentang ilmu komunikasi, dasar-dasar jurnalistik, wacana media, namun faktanya pengetahuan itu tak cukup membuat mereka mampu menyaring yang mana tayangan media yang benar dan yang mana tak baik. Suka atau tidak, tayangan media tetap saja dikonsumsi tanpa mengedepankan nalar kritis.
Fenomena yang sama terjadi terhadap mereka yang aktif di dalam Lembaga Pers Mahasiswa (Persma). Dalam konteks kekinian, ini hanya kasuistik, mereka yang terjun di dalam dunia LPM sebatas ingin belajar menulis, ingin cari teman baru, syukur-syukur jika ada keinginan berorganisasi di dalamnya. Kesadaran akan bagaimana menyikapi media dengan masuk LPM, sangat jarang kita dengar.
Hal-hal itulah yang kadang membuat kita berpikir kembali, sivitas akademika saja begitu dalam menyikapi media, apalagi masyarakat sipil. Kalangan kampus tak saja memiliki tanggung jawab pribadi, namun mereka mempunyai tanggung jawab sosial di masyarakat. Dalam hal ini, kalangan kampus dapat menjadi teladan masyarakat dalam bermedia.
Dari basis kampuslah, gerakan literasi media digencarkan. Oleh karena itu, mesti ada terobosan baru untuk menguatkan ide tersebut. Tanpa meninggalkan tradisi lama, misalnya pelajaran komunikasi/jurnalistik/mereka yang bergelut di dalam LPM, tetap diaktifkan, mengapa tidak kampus membuat kurikulum khusus tentang pendidikan literasi media. Kurikulum khusus yang akan mendorong gagasan lain, contoh mendirikan laboratorium akademik tentang pendidikan literasi media.
Optimalisasi terhadap pendidikan literasi media mesti digiatkan di kampus. Jika perlu kampus dapat menjadi barometer pendidikan literasi media. Karena itulah, penguatan terhadap wacana pendidikan literasi media sebaiknya dikongkretkan ke dalam kurikulum. Gagasan ini tak semata latah akibat kemajuan teknologi informasi.
Melainkan bagaimana kampus dapat menggunakan teknologi sebagai media pendidikan yang baik. Sebab disadari atau tidak, media selain memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat, media juga bisa digunakan sebagai sarana belajar yang efektif di kampus atau di luar kampus. Pendidikan literasi media menjadi pintu dalam menyikapi dan memahami penggunaan media secara benar.
PT dapat menjadi teladan bahkan pelopor literasi media di luar lembaga-lembaga terkait lain. Publik sangat berharap besar pada kampus yang dapat merespon pendidikan literasi media secara maksimal, bukan setengah hati. Kuasa media begitu kuat saat ini sehingga publik perlu mendapat perlindungan dari gencarnya pengaruh media. Kita tunggu saja apakah kampus dapat membuka mata dan telinga mereka untuk benar-benar mengoptimalkan pendidikan literasi media ini.
Era teknologi dan informasi meniscayakan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya publik yang tak saja melek media, tapi ia juga memahami, menyikapi, dan memihak pada tayangan media yang benar. Spirit itulah yang digelorakan gerakan literasi media yang selama ini kita dengar.
Di kampus, relasi semangat pendidikan literasi media, biasanya dijalankan pers mahasiswa. Persma bergulat dengan berbagai isu-isu pers dengan membangkitkan kesadaran kritis dan keberpihakan mereka pada informasi media yang mencerahkan. Bahkan mereka juga akan memberikan punishment moral (hukuman) terhadap informasi media yang tak mendidik masyarakat sebagaimana fungsi media yang diatur dalam UU No 40/1999, tentang pers di mana salah satu fungsi media yakni sebagai pendidikan publik.
Itu artinya, betapa pentingnya literasi media tersebut. Literasi media akan memberikan pemahaman lain masyarakat (kampus) terhadap media. Bagaimanapun masyarakat jangan sampai dipandang sebagai bejana kosong media. Mereka bebas memasukkan informasi baik atau buruk dalam alam bawah sadar, pikiran, mentalitas, hingga membentuk perilaku kita. Masyarakat kampus mesti menjadi kelompok aktif terhadap media. Apalagi, semangat terhadap pendidikan literasi media tak hanya diatur dalam UU Pers, namun Komisi Penyiaran Indonesia secara terbuka menjelaskan dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran Pasal 52 terutama ayat 2 yang mengharapkan adanya peran serta masyarakat dalam gerakan literasi media.
Gerakan literasi media sejatinya disambut baik oleh PT. Suka atau tidak senang, kini kita dikepung dengan berbagai kemajuan teknologi. Padahal tayangan media memiliki dua wajah, kadang ia bermuatan sebagai obat, terkadang pula ia berisi racun. Pendidikan literasi media akan memfiltrasi mana tayangan media yang baik, mana yang buruk. Lebih dari itu, literasi media akan menentukkan sikap kita terhadap siaran pers (konvensional).
Literasi Media dan Kurikulum
Betapa urgennya pendidikan literasi media, tapi kalangan PT belum menyambut baik gagasan tersebut. Meskipun kita tahu beberapa kampus, terutama PT yang memiliki jurusan komunikasi, juga mempelajari tentang ilmu komunikasi, dasar-dasar jurnalistik, wacana media, namun faktanya pengetahuan itu tak cukup membuat mereka mampu menyaring yang mana tayangan media yang benar dan yang mana tak baik. Suka atau tidak, tayangan media tetap saja dikonsumsi tanpa mengedepankan nalar kritis.
Fenomena yang sama terjadi terhadap mereka yang aktif di dalam Lembaga Pers Mahasiswa (Persma). Dalam konteks kekinian, ini hanya kasuistik, mereka yang terjun di dalam dunia LPM sebatas ingin belajar menulis, ingin cari teman baru, syukur-syukur jika ada keinginan berorganisasi di dalamnya. Kesadaran akan bagaimana menyikapi media dengan masuk LPM, sangat jarang kita dengar.
Hal-hal itulah yang kadang membuat kita berpikir kembali, sivitas akademika saja begitu dalam menyikapi media, apalagi masyarakat sipil. Kalangan kampus tak saja memiliki tanggung jawab pribadi, namun mereka mempunyai tanggung jawab sosial di masyarakat. Dalam hal ini, kalangan kampus dapat menjadi teladan masyarakat dalam bermedia.
Dari basis kampuslah, gerakan literasi media digencarkan. Oleh karena itu, mesti ada terobosan baru untuk menguatkan ide tersebut. Tanpa meninggalkan tradisi lama, misalnya pelajaran komunikasi/jurnalistik/mereka yang bergelut di dalam LPM, tetap diaktifkan, mengapa tidak kampus membuat kurikulum khusus tentang pendidikan literasi media. Kurikulum khusus yang akan mendorong gagasan lain, contoh mendirikan laboratorium akademik tentang pendidikan literasi media.
Optimalisasi terhadap pendidikan literasi media mesti digiatkan di kampus. Jika perlu kampus dapat menjadi barometer pendidikan literasi media. Karena itulah, penguatan terhadap wacana pendidikan literasi media sebaiknya dikongkretkan ke dalam kurikulum. Gagasan ini tak semata latah akibat kemajuan teknologi informasi.
Melainkan bagaimana kampus dapat menggunakan teknologi sebagai media pendidikan yang baik. Sebab disadari atau tidak, media selain memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat, media juga bisa digunakan sebagai sarana belajar yang efektif di kampus atau di luar kampus. Pendidikan literasi media menjadi pintu dalam menyikapi dan memahami penggunaan media secara benar.
PT dapat menjadi teladan bahkan pelopor literasi media di luar lembaga-lembaga terkait lain. Publik sangat berharap besar pada kampus yang dapat merespon pendidikan literasi media secara maksimal, bukan setengah hati. Kuasa media begitu kuat saat ini sehingga publik perlu mendapat perlindungan dari gencarnya pengaruh media. Kita tunggu saja apakah kampus dapat membuka mata dan telinga mereka untuk benar-benar mengoptimalkan pendidikan literasi media ini.
No comments:
Post a Comment