Sunday, 1 June 2014

Membangun Pendidikan - Pendidikan Nasional untuk Membantu Pemberantasan Korupsi

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” (Nelson Mandela)

Kata-kata yang diucapkan oleh Nelson Mandela di atas sangatlah kuat maknanya. Pendidikan menjadi kunci penting bagi setiap perubahan yang ingin dilakukan. Dalam UUD 1945, pendidikan adalah hal kedua yang menjadi prioritas, setelah kesejahteraan rakyat. Namun fakta yang kita lihat di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Berbagai kekisruhan di dunia pendidikan sangat kerap terjadi. Sebagai contoh, terjadinya kekacauan ujian nasional, persaingan tidak sehat untuk masuk ke sekolah/perguruan tinggi favorit, hingga aksi suap-menyuap demi mendapatkan nilai bagus.

Karena itu, jangan heran jika kemudian orangtua yang menjadi marah dan kesal saat mengetahui anak-anak mereka hanya mendapat nilai pas-pasan dari hasil yang jujur. Bukannya mendukung dan mengapreasiasi tindakan sang anak, banyak orangtua justru menekan dan menganjurkan anak-anak mereka untuk berlaku curang. Dorongan ini juga didukung oleh pandangan dan sikap sebagian pendidik (guru maupun dosen) yang menilai bahwa prestasi semata diukur dari nilai yang diperoleh.

Kita telah kehilangan arah dan fokus pendidikan yang seharusnya. Kita terjebak dalam ukuran angka-angka yang hanya membuat anak didik pintar di kelas dan berteori saja. Akibatnya, mereka pun gagap saat harus mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.  Hasilnya, kita mendapati anak-anak yang kurang berbudi pekerti, tidak paham sopan santun dan mengabaikan kejujuran dalam perilaku sehari-hari. Mereka juga dibiasakan dengan semua yang serbainstan dan tidak menghargai proses. Padahal seharusnya anak diajari untuk berproses, bukan berorientasi hasil semata.

Jika sudah demikian, apa artinya pendidikan yang dijalani bertahun-tahun dengan penuh kepayahan, biaya yang besar dan energi yang banyak? Jawabnya adalah nol besar. Salah satu dampak buruk dunia pendidikan kita adalah akutnya masalah korupsi di negeri ini. Pendidikan yang diberikan selama ini tidak membuat anak didik menjadi pribadi yang jujur dan tahan banting tetapi sebaliknya. Mereka menjadi generasi yang selalu ingin meraih segalanya secara cepat dan mudah. Di sisi lain, mereka justru diberi contoh langsung tentang kecurangan yang dilakukan oleh orangtua dan guru atau dosen mereka.

Sudah terlambatkah untuk memperbaikinya? Belum, terutama jika kita semua sebagai pemangku kepentingan (orangtua, guru, dosen, pendidik, dan masyarakat secara luas) memang bersungguh-sungguh ingin memperbaikinya. Salah satu caranya adalah dengan mengedepankan pendidikan karakter pada anak-anak kita. Kita harus menghentikan pola pendidikan yang hanya mengejar nilai dan ukuran statistik semata. Kita harus menanamkan pendidikan budi pekerti dan karakter untuk anak-anak kita.
Lihatlah yang dilakukan oleh negara-negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Mereka tak melulu menjejali anak didiknya dengan angka-angka dan beragam pekerjaan rumah (PR) atau tugas yang menyita waktu bermain anak. Yang dilakukan sekolah-sekolah di negara maju itu adalah menyeimbangkan antara belajar dan bermain. Kita harus ingat bahwa anak-anak bukan robot yang bisa diatur demi mencapai semua ambisi dan harapan orangtua atau pendidiknya.
Di sisi lain, negara-negara maju itu mensyaratkan aturan yang ketat bagi para calon guru. Hanya yang terbaiklah yang boleh menjadi guru, bukan sebaliknya.

Hal lain yang menonjol pada pendidikan di negara  maju adalah menanamkan pendidikan budi pekerti sejak anak duduk di bangku taman kanak-kanak bahkan kelompok bermain (play group) sampai mereka kelas lima sekolah dasar atau hampir berusia 11 tahun. Setelah itu, barulah mereka diajari berbagai hal untuk menghadapi ujian kenaikan strata pendidikan ke jenjang berikutnya. Bersekolah pun dibuat sedemikian rupa agar menyenangkan dan tidak membuat anak stres.

Tentu saja, kita harus membangun pendidikan berkarakter yang khas Indonesia. Namun tidak ada salahnya untuk melongok cara negara-negara maju menjalankan pendidikan dasarnya. Kita bisa meniru yang baik dan memperbaiki yang kita anggap kurang sesuai. Namun satu hal yang pasti, pendidikan yang baik tidak membuat anak-anak enggan bersekolah atau ketakutan dimarahi guru.

Persaingan memang semakin ketat. Sumber daya manusia harus dididik menjadi tunas-tunas yang unggul agar bisa bersaing di dunia yang kian mengglobal. Namun yang perlu diingat, semua ada waktunya. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang belum seharusnya kepada anak-anak kita. Saatnya mereka bermain, biarkan mereka bermain. Saatnya menikmati taman kanak-kanak biarlah mereka berbahagia dengan komunitasnya tanpa beban harus belajar membaca-menulis-berhitung (calistung) demi diterima di sekolah dasar favorit.

Bahwa orangtua harus memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya adalah benar. Orangtua memang mempunyai kewajiban untuk menyiapkan generasi yang lebih baik.  Namun memaksakan sesuatu yang belum waktunya akan menjadi bom waktu yang melahirkan generasi-generasi yang stres dan rentan.
Tanggung jawab pendidikan menjadi tugas kita semua. Mari memperbaiki yang bisa kita perbaiki sebagai warga negara, warga masyarakat dan orangtua anak-anak kita. Yang menjadi porsi pemerintah atau lembaga pendidikan resmi bisa diserahkan kepada ahlinya. Orangtua dan masyarakat mengambil peran untuk mendukung. Jika kita ingin berubah menjadi bangsa yang lebih baik, lebih sejahtera, dan bebas korupsi, penulis yakin bahwa akarnya adalah pendidikan yang berkarakter, manusiawi sekaligus membumi.

No comments:

Post a Comment