Ketika Bung Hatta kembali ke Indonesia setelah menempuh pendidikan di
Belanda, ia turut membawa 16 peti besi yang berisi koleksi buku-bukunya
ke Indonesia sampai-sampai pihak Belanda ikut menyortir semua bukunya
lalu menyita salah satu bukunya yakni majalah Indonesia Merdeka. Selama
tiga hari berturut turut, ia menyusun buku-bukunya dibantu Indra Kusuma
dan mengklasifikasikannya pertema berdasarkan masalah pokok dalam buku
tersebut.
Tak lama setelah berada di Indonesia, hal pertama yang beliau lakukan bukan segera membentuk partai akan tetapi membentuk organisasi Pendidikan Nasional Indonesia. Pendidikan !, bukan atau belum lagi partai. Bukan karena khilaf atau curiga diambil nama “pendidikan”, melainkan dengan sengaja.
Wakil presiden pertama RI itu lebih mengutamakan pendidikan sebelum agitasi, pengkaderan dengan jalan melatih kecerdasan dan memberikan penyadaran agar masyarakat sadar dan terbuka pikirannya ketimbang langsung terjun kedunia politik.
Bung Hatta sadar betul akan pendidikan, baginya agitasi dan demokrasi seperti jalan akhir bagi sebuah perjuangan politik, ia memilih mengajar dan memberikan kursus bagi para pemuda dan pejuang untuk bernaung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia. Ia sambangi satu daerah ke daerah lainnya membentuk cabang-cabang organisasi. Pendidikan Nasional Indonesia, katanya mempunyai maksud mendidik rakyat supaya menjadi manusia yang paham dan tahu berpikir. (lihat Daulat Rajat No. 65, 30 Juni 1933).
Apa yang telah dilakukan oleh Bung Hatta, baik dari segi pemikiran dan tindakannya masih relevan bila kita terapkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia kini, terlebih lagi masalah pendidikan sebelum berpolitik dimana pengkaderan partai masih sangat lemah dalam memunculkan calon pemimpin yang berkarakter dan jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pendidikan yang merupakan keseluruhan aktifitas manusia untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan kualitas kehidupan dan masyarakat menjadi salah satu pondasi utama bagi kelangsungan hidup manusia. Adapun parameter dari kualitas manusia terletak pada aspek kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan, yang ketiganya harus bersifat seimbang, saling menopang dan berkesinambungan. Maka sudah menjadi tugas utama lembaga pendidikan dan seluruh pihak yang terlibat dalam proses pendidikan dapat memenuhi ketiga kriteria diatas.
Tujuan mulia dari pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti tertuang pada pembukaan UUD 45. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan usaha yang serius agar lembaga pendidikan dapat mencetak calon pemimpin yang berkarakter di masa yang akan datang.
Buku Adalah Suplemen Pendidikan
Pada pembuka tulisan ini penulis kemukakan, bahwa Hatta membawa turut serta 16 peti bukunya. Hal itu ia lakukan tidak hanya saat beliau pulang dari Belanda saja, melainkan saat ia diasingkan di Boven Digul dan Banda Neira, 16 peti bukunya itu turut serta. Bisa dibayangkan bagaimana buku menjadi sahabat setianya selama di pengasingan. Buku itu seperti kebutuhan. Budaya membaca dan menulis itu bukan pada Hatta, hal itu pula terdapat pada Soekarno, Sjahrir, dan tokoh perjuangan lainnya.
Di era yang serba mudah untuk mengakses informasi, mungkin sangat jarang menemukan seorang mahasiswa yang menguasai 9 bahasa seperti Agus Salim. Keberlimpahan informasi yang seharusnya mendatangkan kemudahan bagi penggunanya, nyatanya seperti kilat yang melintas dalam kepala lalu hilang tak berbekas.
Dalam wawancaranya dengan Patrick Coppock, Umberto Eco mengungkapkan kadang – kadang komputer memiliki dampak yang melumpuhkan. Hal itu dialaminya saat memerlukan sebuah bibliografi tentang Norwegia dan semiotika, Saya pergi ke perpustakaan dan mungkin akan menemukan empat judul bacaan. Saya mencatat dan menemukan referensi bibliografis lainnya. Kini dengan Internet saya bisa mendapatkan 10.000 judul. Pada titik ini saya tak berdaya. Lebih baik saya memilih topik lain, katanya.
Semakin mudahnya perangkat teknologi untuk mengakses berbagai macam informasi untuk sekedar mencari data, menemukan berbagai macam literatur maupun mencari bacaan yang bersifat ilmiah, disatu sisi memang membantu proses pembelajaran akan tetapi keberlimpahan informasi itu juga menjadi momok yang menakutkan bila dalam kapasitas yang amat sangat banyak. Kesulitan memilah informasi tersebut bisa disiasati dengan budaya menulis dan membuat daftar apa yang diperlukan dan memilah isi informasi tersebut agar bisa menjadi pengetahuan yang utuh .
Salah satu upaya untuk meningkatkan minat baca dan menulis dikalangan pelajar dan mahasiswa memang tidaklah mudah. Pendidikan sejak dini dengan membiasakan anak untuk membaca lalu menuangkan gagasan serta ide-idenya harus ditanamkan oleh orang tua sejak dini. Dengan memberikan kemudahan pada anak untuk memperoleh bacaan dan buku apa yang menjadi hobinya bias menjadi strategi untuk anak agar gemar membaca, misalkan seorang anak gemar berolahraga, maka berikanlah buku yang bertema olahraga pada anak, membukan wawasan pada anak bahwa olaharaga tidak semata mata sebagai kegiatan fisik, melainkan juga ranah pemikiran yang luas. Bagaimana mengatur strategi, membentuk disiplin, fisik dan pola makan bagi seorang atlet dan olahragawan itu terdapat dalam buku.
Upaya lain yang perlu diterapkan oleh lembaga pendidikan adalah dengan membiasakan para siswanya meringkas atau merangkum buku pengetahuan umum seperti sejarah dunia, penerapan teknologi, roman, novel atau biografi tokoh nasional dan dunia. Merangkum atau meringkas pelajaran yang diterapkan sekolah biasanya hanya berkutat pada masalah buku pelajaran siswa, akan tetapi jarang sekali menyentuh buku-buku pengetahuan umum, bila hal ini diterapkan mau tak tak mau siswa mencari dan menuju toko buku untuk membeli buku merupakan bagian dari tugas sekolahnya. Bila hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan materi, maka membentuk kelompok siswa dengan membeli satu buku dan membacanya bergantian bisa dijadikan solusi. Selain itu, dengan melibatkan stakeholder lembaga penulisan sastra, atau mengundang sastrawan ke sekolah dan membacakan cerpen atau puisinya diharapkan dapat merangsang minat baca dan menulis dikalangan siswa.
Tak lama setelah berada di Indonesia, hal pertama yang beliau lakukan bukan segera membentuk partai akan tetapi membentuk organisasi Pendidikan Nasional Indonesia. Pendidikan !, bukan atau belum lagi partai. Bukan karena khilaf atau curiga diambil nama “pendidikan”, melainkan dengan sengaja.
Wakil presiden pertama RI itu lebih mengutamakan pendidikan sebelum agitasi, pengkaderan dengan jalan melatih kecerdasan dan memberikan penyadaran agar masyarakat sadar dan terbuka pikirannya ketimbang langsung terjun kedunia politik.
Bung Hatta sadar betul akan pendidikan, baginya agitasi dan demokrasi seperti jalan akhir bagi sebuah perjuangan politik, ia memilih mengajar dan memberikan kursus bagi para pemuda dan pejuang untuk bernaung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia. Ia sambangi satu daerah ke daerah lainnya membentuk cabang-cabang organisasi. Pendidikan Nasional Indonesia, katanya mempunyai maksud mendidik rakyat supaya menjadi manusia yang paham dan tahu berpikir. (lihat Daulat Rajat No. 65, 30 Juni 1933).
Apa yang telah dilakukan oleh Bung Hatta, baik dari segi pemikiran dan tindakannya masih relevan bila kita terapkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia kini, terlebih lagi masalah pendidikan sebelum berpolitik dimana pengkaderan partai masih sangat lemah dalam memunculkan calon pemimpin yang berkarakter dan jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pendidikan yang merupakan keseluruhan aktifitas manusia untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan kualitas kehidupan dan masyarakat menjadi salah satu pondasi utama bagi kelangsungan hidup manusia. Adapun parameter dari kualitas manusia terletak pada aspek kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan, yang ketiganya harus bersifat seimbang, saling menopang dan berkesinambungan. Maka sudah menjadi tugas utama lembaga pendidikan dan seluruh pihak yang terlibat dalam proses pendidikan dapat memenuhi ketiga kriteria diatas.
Tujuan mulia dari pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti tertuang pada pembukaan UUD 45. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan usaha yang serius agar lembaga pendidikan dapat mencetak calon pemimpin yang berkarakter di masa yang akan datang.
Buku Adalah Suplemen Pendidikan
Pada pembuka tulisan ini penulis kemukakan, bahwa Hatta membawa turut serta 16 peti bukunya. Hal itu ia lakukan tidak hanya saat beliau pulang dari Belanda saja, melainkan saat ia diasingkan di Boven Digul dan Banda Neira, 16 peti bukunya itu turut serta. Bisa dibayangkan bagaimana buku menjadi sahabat setianya selama di pengasingan. Buku itu seperti kebutuhan. Budaya membaca dan menulis itu bukan pada Hatta, hal itu pula terdapat pada Soekarno, Sjahrir, dan tokoh perjuangan lainnya.
Di era yang serba mudah untuk mengakses informasi, mungkin sangat jarang menemukan seorang mahasiswa yang menguasai 9 bahasa seperti Agus Salim. Keberlimpahan informasi yang seharusnya mendatangkan kemudahan bagi penggunanya, nyatanya seperti kilat yang melintas dalam kepala lalu hilang tak berbekas.
Dalam wawancaranya dengan Patrick Coppock, Umberto Eco mengungkapkan kadang – kadang komputer memiliki dampak yang melumpuhkan. Hal itu dialaminya saat memerlukan sebuah bibliografi tentang Norwegia dan semiotika, Saya pergi ke perpustakaan dan mungkin akan menemukan empat judul bacaan. Saya mencatat dan menemukan referensi bibliografis lainnya. Kini dengan Internet saya bisa mendapatkan 10.000 judul. Pada titik ini saya tak berdaya. Lebih baik saya memilih topik lain, katanya.
Semakin mudahnya perangkat teknologi untuk mengakses berbagai macam informasi untuk sekedar mencari data, menemukan berbagai macam literatur maupun mencari bacaan yang bersifat ilmiah, disatu sisi memang membantu proses pembelajaran akan tetapi keberlimpahan informasi itu juga menjadi momok yang menakutkan bila dalam kapasitas yang amat sangat banyak. Kesulitan memilah informasi tersebut bisa disiasati dengan budaya menulis dan membuat daftar apa yang diperlukan dan memilah isi informasi tersebut agar bisa menjadi pengetahuan yang utuh .
Salah satu upaya untuk meningkatkan minat baca dan menulis dikalangan pelajar dan mahasiswa memang tidaklah mudah. Pendidikan sejak dini dengan membiasakan anak untuk membaca lalu menuangkan gagasan serta ide-idenya harus ditanamkan oleh orang tua sejak dini. Dengan memberikan kemudahan pada anak untuk memperoleh bacaan dan buku apa yang menjadi hobinya bias menjadi strategi untuk anak agar gemar membaca, misalkan seorang anak gemar berolahraga, maka berikanlah buku yang bertema olahraga pada anak, membukan wawasan pada anak bahwa olaharaga tidak semata mata sebagai kegiatan fisik, melainkan juga ranah pemikiran yang luas. Bagaimana mengatur strategi, membentuk disiplin, fisik dan pola makan bagi seorang atlet dan olahragawan itu terdapat dalam buku.
Upaya lain yang perlu diterapkan oleh lembaga pendidikan adalah dengan membiasakan para siswanya meringkas atau merangkum buku pengetahuan umum seperti sejarah dunia, penerapan teknologi, roman, novel atau biografi tokoh nasional dan dunia. Merangkum atau meringkas pelajaran yang diterapkan sekolah biasanya hanya berkutat pada masalah buku pelajaran siswa, akan tetapi jarang sekali menyentuh buku-buku pengetahuan umum, bila hal ini diterapkan mau tak tak mau siswa mencari dan menuju toko buku untuk membeli buku merupakan bagian dari tugas sekolahnya. Bila hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan materi, maka membentuk kelompok siswa dengan membeli satu buku dan membacanya bergantian bisa dijadikan solusi. Selain itu, dengan melibatkan stakeholder lembaga penulisan sastra, atau mengundang sastrawan ke sekolah dan membacakan cerpen atau puisinya diharapkan dapat merangsang minat baca dan menulis dikalangan siswa.
Menutup
tulisan ini penulis mengutip Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI No. 81 A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Butir
ke V yang berbunyi lebih lanjut, strategi pembelajaran harus diarahkan
untuk memfasilitasi pencapaian kompetensi yang telah dirancang dalam
dokumen kurikulum agar setiap individu mampu menjadi pebelajar mandiri
sepanjang hayat. dan yang pada gilirannya mereka menjadi komponen
penting untuk mewujudkan masyarakat belajar. Kualitas lain yang
dikembangkan kurikulum dan harus terealisasikan dalam proses
pembelajaran antara lain kreativitas, kemandirian, kerja sama,
solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi dan kecakapan hidup peserta
didik guna membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat
bangsa. Semoga.
No comments:
Post a Comment