Indonesia memilih berdemokrasi dengan politik sebagai salah satu
penopangnya. Namun, politik pada saat ini tak lebih dari alat untuk
berkuasa dan mencari uang. Para politisi, politik menjadi barang
menjijikkan yang penuh dengan praktik-praktik kotor dalam menjalankan
kekuasaannya. Sebagian awam, mengartikan politik itu kotor. Padahal,
secara sederhana, makna politik adalah mengatur kehidupan (demi
kemakmuran) bersama.
Untuk mewujudkannya memerlukan ide-ide maupun gagasan-gagasan bernas dari para pelaku politik. Sehingga berpolitik adalah soal “pertarungan” ide maupun gagasan untuk memakmurkan kehidupan bersama. Namun, hanya sebagian kecil saja politisi yang memahami makna sederhana politik ini. Terlebih, para calon anggota legislatif (caleg) pusat maupun daerah saat ini.
Sebagian besar caleg (walaupun tidak semua) hanya memahami politik sebagai alat mencari “kursi”. Selain itu, mereka juga menjadikan pencalonannya sebagai sarana mencari pekerjaan demi menopang fondasi ekonominya. Ringkasnya, motif politik kekuasaan dan kepentingan ekonomilah yang saat ini mendominasi motivasi para caleg tersebut. Tiap kali membahas politik, perolehan jumlah suara dan kursilah yang jadi bahasan utama. Padahal politik hanya salah satu aktivitas kecil dalam demokrasi, di mana praktik demokrasi di Indonesia telah mengarah ke individual liberal.
Mediokrasi
Dalam Rethinking Democracy (1993) Carol C Gould menyebut demokrasi individual liberal sebagai demokrasi individualistik abstrak yang hanya mementingkan agregasi (kumpulan) kepentingan individu tanpa memerhatikan kooperasi sosial atau kepentingan umum yang lebih luas (Malak, 2012). Demokrasi dengan desain seperti itu akan semakin memperburuk keadaan, karena basis perekrutan kepemimpinan politik lebih menekankan sumber daya modal (uang) ketimbang kapabilitas (kemampuan).
Demokrasi langsung menjadi katalis ”mediokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang medioker), bukan menjadi ajang penguatan ”meritokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang yang mampu). Hal ini sejalan dengan apa yang disebut Frank Freudi sebagai the cult of philistinism; pemujaan terhadap budaya kedangkalan karena perhatian berlebih terhadap kepentingan material dan praktis (Yudi Latif: 2013). Demokrasi sebagai sarana penguatan daulat rakyat tergelincir menjadi instrumen daulat modal dan citra diri.
Demokrasi merupakan jalan sah (the legal procedure) atau alat menggapai kedaulatan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika demokrasi hanya dijadikan tujuan, akan memunculkan pemimpin-pemimpin korup dan medioker yang hanya sibuk memikirkan partainya, kelompoknya, dan keluarganya karena merasa sah menjadi pemimpin yang dipilih secara demokratis. Padahal, demokrasi (langsung) sejatinya merupakan jalan para pemimpin terpilih untuk mengabdi secara kredibel, amanah, serius, penuh komitmen, dan demokratis.
Cerdas Memilih
Maka masyarakat perlu memilih wakil maupun pemimpinnya secara cerdas. Caranya dengan menggali sebanyak mungkin informasi, rekam jejak, dan referensi tentang orang-orang yang mencalonkan diri dari berbagai sumber. Di era pesatnya perkembangan teknologi saat ini, informasi tentang seseorang begitu mudah ditemukan. Bahkan informasi saat ini selalu membanjiri setiap detik. Masyarakat perlu memilih wakilnya yang memiliki ide-ide maupun gagasan-gagasan bernas nan solutif atas sejumlah persoalan yang terjadi di daerah, negara, dan bangsanya.
Sebab caleg tanpa ide, gagasan, serta integritas hanya akan menyengsarakan rakyat yang memilihnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya balik modal atas biaya kampanye yang telah dikeluarkan. Selain itu, mereka hanya berpikir bagaimana menyejahterakan keluarga, partai, maupun kelompoknya. Tanpa pernah sedetik pun memikirkan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Sehingga caleg-caleg dalam “karung” (tanpa gagasan/ide) perlu kita kritisi rekam jejak, integritas, dan imajinasi politiknya.
Di sisi lain, praktik politik uang transaksional harus disudahi. Demokrasi politik (uang) terkait transaksi dan lobi-lobi jabatan dengan modal ratusan juta hingga milyaran rupiah perlu dikubur sedalamnya. Janganlah menggadaikan hak pilih dengan selembar 50-100 ribuan rupiah hanya untuk membeli kenestapaan lima tahun mendatang. Memilih caleg yang menawarkan idealisme atau gagasan solutif demi kemakmuran hidup bersama adalah keniscayaan. Karena substansi berpolitik-demokrasi adalah menawarkan gagasan, menguatkan strategi, dan memproduksi kebijakan yang memihak sekaligus menyelesaikan aneka permasalahan dalam masyarakat demi kesejahteraan bersama. Mari memilih secara cerdas dan rasional.
Untuk mewujudkannya memerlukan ide-ide maupun gagasan-gagasan bernas dari para pelaku politik. Sehingga berpolitik adalah soal “pertarungan” ide maupun gagasan untuk memakmurkan kehidupan bersama. Namun, hanya sebagian kecil saja politisi yang memahami makna sederhana politik ini. Terlebih, para calon anggota legislatif (caleg) pusat maupun daerah saat ini.
Sebagian besar caleg (walaupun tidak semua) hanya memahami politik sebagai alat mencari “kursi”. Selain itu, mereka juga menjadikan pencalonannya sebagai sarana mencari pekerjaan demi menopang fondasi ekonominya. Ringkasnya, motif politik kekuasaan dan kepentingan ekonomilah yang saat ini mendominasi motivasi para caleg tersebut. Tiap kali membahas politik, perolehan jumlah suara dan kursilah yang jadi bahasan utama. Padahal politik hanya salah satu aktivitas kecil dalam demokrasi, di mana praktik demokrasi di Indonesia telah mengarah ke individual liberal.
Mediokrasi
Dalam Rethinking Democracy (1993) Carol C Gould menyebut demokrasi individual liberal sebagai demokrasi individualistik abstrak yang hanya mementingkan agregasi (kumpulan) kepentingan individu tanpa memerhatikan kooperasi sosial atau kepentingan umum yang lebih luas (Malak, 2012). Demokrasi dengan desain seperti itu akan semakin memperburuk keadaan, karena basis perekrutan kepemimpinan politik lebih menekankan sumber daya modal (uang) ketimbang kapabilitas (kemampuan).
Demokrasi langsung menjadi katalis ”mediokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang medioker), bukan menjadi ajang penguatan ”meritokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang yang mampu). Hal ini sejalan dengan apa yang disebut Frank Freudi sebagai the cult of philistinism; pemujaan terhadap budaya kedangkalan karena perhatian berlebih terhadap kepentingan material dan praktis (Yudi Latif: 2013). Demokrasi sebagai sarana penguatan daulat rakyat tergelincir menjadi instrumen daulat modal dan citra diri.
Demokrasi merupakan jalan sah (the legal procedure) atau alat menggapai kedaulatan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika demokrasi hanya dijadikan tujuan, akan memunculkan pemimpin-pemimpin korup dan medioker yang hanya sibuk memikirkan partainya, kelompoknya, dan keluarganya karena merasa sah menjadi pemimpin yang dipilih secara demokratis. Padahal, demokrasi (langsung) sejatinya merupakan jalan para pemimpin terpilih untuk mengabdi secara kredibel, amanah, serius, penuh komitmen, dan demokratis.
Cerdas Memilih
Maka masyarakat perlu memilih wakil maupun pemimpinnya secara cerdas. Caranya dengan menggali sebanyak mungkin informasi, rekam jejak, dan referensi tentang orang-orang yang mencalonkan diri dari berbagai sumber. Di era pesatnya perkembangan teknologi saat ini, informasi tentang seseorang begitu mudah ditemukan. Bahkan informasi saat ini selalu membanjiri setiap detik. Masyarakat perlu memilih wakilnya yang memiliki ide-ide maupun gagasan-gagasan bernas nan solutif atas sejumlah persoalan yang terjadi di daerah, negara, dan bangsanya.
Sebab caleg tanpa ide, gagasan, serta integritas hanya akan menyengsarakan rakyat yang memilihnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya balik modal atas biaya kampanye yang telah dikeluarkan. Selain itu, mereka hanya berpikir bagaimana menyejahterakan keluarga, partai, maupun kelompoknya. Tanpa pernah sedetik pun memikirkan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Sehingga caleg-caleg dalam “karung” (tanpa gagasan/ide) perlu kita kritisi rekam jejak, integritas, dan imajinasi politiknya.
Di sisi lain, praktik politik uang transaksional harus disudahi. Demokrasi politik (uang) terkait transaksi dan lobi-lobi jabatan dengan modal ratusan juta hingga milyaran rupiah perlu dikubur sedalamnya. Janganlah menggadaikan hak pilih dengan selembar 50-100 ribuan rupiah hanya untuk membeli kenestapaan lima tahun mendatang. Memilih caleg yang menawarkan idealisme atau gagasan solutif demi kemakmuran hidup bersama adalah keniscayaan. Karena substansi berpolitik-demokrasi adalah menawarkan gagasan, menguatkan strategi, dan memproduksi kebijakan yang memihak sekaligus menyelesaikan aneka permasalahan dalam masyarakat demi kesejahteraan bersama. Mari memilih secara cerdas dan rasional.
No comments:
Post a Comment