Monday, 2 June 2014

Membangun Demokrasi - Membangun Budaya Demokrasi

Dalam Kehidupan, saya lebih sering memandang demokrasi sebagai hal yang sederhana, tak lebih dari sistem yang menyediakan ruang untuk saling menyatakan pendapat sekaligus memusyawahkan pendapat-pendapat itu hingga dicapai suatu kesepakatan. Tapi kalau saya perhatikan terutama dalam tataran politik praktis, penerapan demokrasi sepertinya tidak sesederhana itu. Masing-masing orang mempunyai latar belakang, tingkat pendidikan, keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda, sehingga menyatukan pendapat itu bisa menjadi hal yang sangat sulit dilakukan bahkan tak jarang menyebabkan konflik.

Jadi, apakah sistem demokrasinya yang salah ataukah karena para pelakunya yang masih belum memahami cara kerja demokrasi atau bahkan bisa jadikah karena para pelaku demokrasi itu tidak dapat mengalahkan ego masing-masing sehingga semuanya berpendapat dan bertindak hanya untuk memuluskan terwujudnya keinginan pribadi atau kelompok. Saya tidak akan membahas tentang sempurna atau tidaknya demokrasi sebagai sebuah sistem. Saya hanya akan menyoal tentang penggunaan sistem demokrasi sebagai salah satu instrument yang digunakan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bangsa kita sudah lama menyatakan telah mengadopsi sitem demokrasi, dan prakteknya kita dapat memilih wakil-wakil kita di lembaga legislatif serta pemimpin-pemimpin kita dari mulai pemilihan kepala-kepala dusun yang mungkin sifatnya informal hingga pemimpin formal seperti bupati atau walikota hingga presiden. Dan masyarakat awam termasuk saya menganggap hanya sebatas itulah demokrasi. Lima tahun sekali melihat berbagai partai dan calon anggota legislatif berkampanye sampai masuk ke bilik suara untuk mencoblos. itu saja, hanya beberapa tahun sekali jika ditambah dengan berbagai pemilukada. Dan setelahnya, demokrasi seakan disimpan begitu saja karena memang tidak selalu dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Entah karena belum faham cara kerja berdemokrasi ataukah tidak begitu kenal demokrasi sehingga penerapannya seringkali tidak disadari. Namun yang jelas, untuk saat ini demokrasi belum membudaya dalam bangsa kita. Buktinya masih banyak konflik kecil maupun besar yang terjadi akibat tidak dapat disatukannya pendapat atau keinginan, bentrokan antar warga, saling jegal untuk memuluskan kepentingan sendiri atau bahkan dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga, seringkali dijumpai adanya ketegangan antar anggota keluarga akibat belum mendarah-dagingnya demokrasi.

Belakangan ini, perhatian saya tentang demokrasi sedikit bertambah, mungkin karena tahun 2014 ini adalah tahun pemilu jadi dimana-mana orang selalu membicarakan tentang pemilu sebagai perwujudan bahwa Negara kita adalah Negara yang demokratis. Dan apabila kita perhatikan, pada dasarnya suasana demokratis bisa dirasakan jika semua orang mampu mengelola keinginan dan ego masing-masing serta melepaskan kepentingan pribadi dan menggantinya menjadi kepentingan bersama, agar pada akhirnya semua perbedaan bisa dikompromikan dan bertemu di satu titik keputusan yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua pihak. Memang akan ada pihak yang harus rela karena keinginan atau idenya tidak disepakati atau disetujui orang lain. Dan seharusnya tidak akan menjadi masalah jika semua orang menyadari bahwa wajar jika ada perbedaan dan wajar bahwa pendapat kita tidak selalu paling benar dan paling baik dalam menyelesaikan masalah.

Maka dari itu sangatlah penting bagi kita untuk belajar mengelola emosi, baik itu berbentuk keinginan atau ambisi maupun jika berbentuk kekecewaan. Dan, hal ini tidak mungkin diperoleh secara instan dan mendadak. Butuh proses yang panjang agar demokrasi bisa membudaya dalam masyarakat atau setidaknya dapat menjadi bagian dari nilai yang dipegang oleh masing-masing pribadi.

Dan cara yang paling efektif untuk membiasakan budaya demokratis ini adalah dengan mempraktekannya di lingkungan keluarga. Namun jika diperhatikan, masih banyak orang tua yang hanya mau menasehati anak-anaknya tanpa mau mendengarkan apa yang diinginkan atau dirasakan anak-anaknya, memaksa anak untuk berkarir di bidang yang diminati orang tua tanpa mempertimbangkan minat dan bakat sang anak, dan sikap-sikap lain yang sebenarnya menunjukkan perilaku otoriter orang tua. Memang jika orang tua ditanya mengapa seperti itu, semua akan menjawab dengan mantap bahwa semuanya adalah untuk kebaikan anak itu sendiri. Ya, kewajiban orang tualah untuk mengarahkan anak-anaknya, tapi caranya tidaklah harus otoriter atau dilakukan dengan komunikasi searah hanya dari orang tua.

Seorang anak bukanlah makhluk yang serba tidak tahu, apalagi jika sudah beranjak remaja bahkan dewasa, dan bukan pula manusia yang harus menjadi fotokopi orang tuanya. Sehingga setiap anak perlu didengarkan pula perasaannya, keinginannya, sudut pandangnya serta pendapatnya. Sebaliknya, orang tua  bukanlah makhluk yang serba tahu dan selalu benar, karena adakalanya nasihat dan harapan orang tua tidak selalu harus disampaikan dengan kata perintah, adakalanya semua itu bisa dimengerti anak hanya dengan mengobrol santai saja.

Dan tanpa disadari, sebenarnya kesediaan orang tua untuk mendengarkan pendapat atau curahan hati anak, bisa melatih anak dan seluruh anggota keluarga secara umum untuk belajar berdemokrasi. Serta yang tak kalah penting, semua orang tua harus menyadari bahwa suatu saat anak-anak kita akan menjadi bagian dari masyarakat dan bagian dari pengambil keputusan. Sehingga penting bagi anak untuk belajar dari orang-orang terdekatnya dalam keluarga untuk mau mendengarkan berbagai pendapat dari siapapun tanpa mengecilkan atau membesarkan orang yang menyampaikan pendapat itu, menghargai berbagai perbedaan pendapat, kebiasaan ataupun sudut pandang tanpa memaksakan pendapat pribadi untuk diterima semua anggota keluarga, serta belajar mengelola kekecewaan yang bisa hadir ketika keinginan tidak diperoleh, karena semua orang harus menyadari bahwa tidak semua yang kita inginkan itu akan berdampak baik bagi kita, pun sebaliknya sesuatu yang tampaknya tidak kita sukai bisa jadi malah berdampak baik bagi kita.

Jadi, janganlah kita hanya berkoar-koar mengajak semua masyarakat untuk berdemokrasi setiap kali kita memilih pemimpin atau wakil rakyat saja, padahal kita sendiri hanya mampu berkomunikasi satu arah dengan anggota keluarga kita, yaitu dalam bentuk perintah. Budayakan demokrasi dalam keluarga agar demokrasi menjadi nilai yang terintegrasi dalam diri bangsa Indonesia, agar demokrasi menjadi budaya bangsa, dan agar tidak ada lagi konflik yang tercipta hanya karena perbedaan kepentingan.

No comments:

Post a Comment