Monday, 2 June 2014

Membangun Demokrasi - Apaan Tuh, Demokrasi Pancasila?

Hari peringatan secara nasional menjadi momen untuk mengenang – terutama nilai-nilai hidup, spirit, mungkin pula kharisma perjuangan. Nasionalisme sudah diajarkan habis-habisan oleh rezim Orde Baru sebelum kita masuk ke millenium kedua. Penulis menyangka tidak akan ada lagi masalah, apalagi konflik yang bernuansa horizontal. Ternyata, suatu persangkaan yang sangat keliru. Pembelajaran dengan pola-pola indoktrinasi yang secara adminitratif sukses justru menyimpan bom-bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Indoktrinasi bukan pola yang salah untuk negara semajemuk dan serbaneka seperti Indonesia, tetapi kita memerlukan suatu pola indoktrinasi yang relevan dan bersahabat. Hari peringatan berskala nasional seharusnya menjadi momentum untuk mengolah nilai dan spirit peringatan menjadi kental dalam perilaku dan cara hidup kita – di dalam hegemoni berbangsa dan bernegara. Kenyataan?

Hampir semua sila dalam Pancasila ditelikung – malah sering diinjak pula: berketuhanan tapi masih ada kelompok mengelukan keyakinannya. Berperikemanusiaan, tapi entheng saja memotong dana untuk musibah bencana alam. Berpersatuan, tapi bentrok terus saja terjadi, bahkan antarwarga yang berdekatan. Berkerakyatan, tapi DPR tidak lingsem (merencanakan) membangun gedung bernilai trilyunan. Berkeadilan sosial, tapi hukum masih berkutat membela kaum beruang.

Pancasila itu ibarat jejak langkah sejarah, nilai-nilainya dipungut dari pengalaman hidup yang bertaut dengan suka-duka manusia Indonesia. Para perumus pada masanya ”hanya” sebagai perantara untuk mengumpulkan serpih-serpih keutamaan hidup dalam berbangsa dan bernegara – sejak masa batu, masa purba, masa kerajaan, hingga masa kolonialisme yang (justru) menyobek kesadaran para bapak bangsa untuk bertekad menjalani hidup berbangsa dan bernegara dengan mandiri.

Jejak bersejarah yang berabad-abad terumuskan menjadi (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rayakat Indonesia. Kita jarang menemukan nilai-nilai keutamaan ini di negara lain, sehingga wajar apabila banyak tokoh dunia mengagumi Pancasila.

Repotnya, rumusan yang dipuji berbagai tokoh dunia ini, karena kesalahan praktik pemerintahan Orde Baru yang menjadikannya mesin indoktrinasi politik, Pancasila dianggap sudah apak-basi. Kelima sila dengan inti dasarnya kemanusiaan mengerucut pada pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, itu dianggap tidak relevan. Tidak hanya tidak dihayati, dihafalkan anak-anak pun tidak, apalagi dipraktikkan dalam praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. (St. Sularto, Rindu Pancasila, Kompas Penerbit Buku, 2010, hlm. 5)
Sungguhkan Pancasila telah apak – berbau tidak sedap karena lapuk? Atau basi – karena sudah lama disimpan dan berjamur? Namun, harus diakui bahwa kadang Pancasila justru dijadikan ”ladang persembunyian” para pejabat (politikus) untuk membenarkan atau melogikakan wewenang plus kebijakan yang cenderung impresif dan koruptif – kira-kira begitu. Saya tidak pernah ragu-ragu dengan nilai-nilai keutamaan yang terkandung di dalamanya, kebimbangan saya lebih bermuara pada upaya kita untuk sungguh-sungguh memelihara dan mengamalkan dengan segala wujud konsekuensinya.

Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila. Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh idelogi lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah. (ibid., hlm. xviii)

Secara formal Pancasila lahir tanggal 1 Juni 1945 – suatu persiapan yang logis dan matang sebelum 17 Agustus 1945 – berarti sudah 69 tahun bertaut dengan kehidupan kita. Dalam setiap upacara dibacakan pembina upacara dan ditirukan dengan suara mantap oleh peserta upacara, tapi hingga saat ini kita masih gamang untuk merealisasikannya. Lebih tragis lagi, rasanya sekarang kita makin bimbang untuk mengerjakan upaya-upaya dalam kerangka berbangsa dan bernegara dengan sendi-sendi Pancasila.
Indonesia yang pernah dimetaforakan Grup Koes Plus dengan ”Bukan lautan hanya kolam susu, air dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kutemui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman....” Hingga sekarang (mungkin) penulis termasuk seseorang yang percaya bahwa Indonesia negara yang kaya raya, berlimpah dengan sumber daya alam, serta mencukupi untuk berjuta-juta warganegara yang hidup di dalamnya.

Keamburadulan situasi kehidupan bernegara yang kini  terjadi dan menyulitkan kehidupan sehari-hari bagi rakyat – lebih disebabkan kekurangsiapan para pengelola (terutama politisi) dalam menyiasati keadaan. Kesiapan pribadi untuk terlibat dalam arena politik tidak bermula dari kematangan wawasan kebangsaan dan kejelasan visi untuk membuka jendela demokrasi, tetapi didorong oleh ambisi demi kemegahan lahiriah. Para pengelola negeri ini terjerumus pada kilau harta (uang), sehingga nilai-nilai dikebiri untuk mendukung apa yang dilakukannya. Barangkali inilah momentum bagi kita untuk mengembangkan Pancasila menjadi satu-satunya pedoman dalam berdemokrasi dan membangun negara Indonesia tercinta.

No comments:

Post a Comment