manusia tidak bisa berlindung dari kejaran eksploitasi
Kalau jahe diperas, tentu akan menjadi minuman yang berguna bagi tubuh kita. Begitupun dengan cucian, begitu kita peras, harapan kita agar cucian itu cepat kering. Dengan mengurangi muatan air yang terdapat di dalamnya. Bagaimana jika manusia yang diperas?
Urusan meras-memeras manusia. Tidak mudah sebenarnya menentukan apakah pemerasan terhadap manusia itu bagian dari ekploitasi atau bukan. Tapi yang jelas, pendiri Indomie Sudono Salim. Menggunakan tenaga manusia, asalkan dibayar bukan eksploitasi namanya. Tentu benar kata Bang Napi, pemerasan terjadi bukan karena ada niat dari pelakunya. Tapi karena ada kesempatan.
Kesempatan itu adalah kenyataan. Kenyataannya, hampir setiap tahun Indonesia menghasilkan pengangguran fresh graduated lulusan perguruan tinggi sejumlah 710.128 (sumber: Litbang Didaktika). Tentu, guna tidak menyiayiakan kesempatan ini. Indomie, dan perusahaan-perusahaan lainnya memanfaatkan fenomena ini dengan membuka sistem magang pada pola kerjanya.
Tenaga yang segar dan produktif, adalah sebuah anugerah bagi perusahaan. Di Indonesia sendiri, magang diperkenalkan khususnya untuk pekerjaan yang bersifat clerical work, seperti kerja kantor atau administrasi. Tapi kini, hampir ditiap sektor.
Inilah yang dipraktekan oleh pemerintahan kolonial Belanda sewaktu berada di tanah Hindia. Pada zaman kolonial Belanda, untuk menjadi ambtenaar harus magang dalam waktu beberapa bulan kedepan. Hal ini berguna demi memantapkan pekerjaannya. Selanjutnya, tinggal masalah menunggu besluit, dari kantor pusat untuk mempertegas status kepegawaiannya. Status ini tidak hanya berharga di kantor, tapi juga jadi alat pendongkrak status sosial.
Kondisi hari ini, pemakaian pola magang tidak hanya terjadi di koorporasi pemerintahan, melainkan juga swasta. Kemudian hal yang sering ditemui dalam fenomena magang ialah adanya kekurang terampilan. Suatu titik yang mudah dijumpai pada hampir semua lulusan pendidikan yang terperangkap dalam pola magang.
Kelemahan lain, lulusan yang ada belum atau sama sekali tidak menguasai aspek pekerjaan. Mungkin karena keliru dalam memilih jalur pembakatan, kurangnya sarana kampus, kurang latihan di laboratorium. Semua itu merupakan penyebab utamanya.
Hal yang juga ditemukan dalam magang ialah, jumlah calon peserta tidak sebanding dengan jumlah tempat yang tersedia di perusahaan. Kondisi seperti ini merupakan keuntungan bagi perusahaan, yang melihat bahwa mungkin sekali menggunakan tenaga ini sebagai tenaga bantu terus menerus, dengan pekerjaan sama berat dengan pegawai setelah dilatih, dan dengan gaji yang tidak perlu sebesar pegawai tetap. Hal ini dikarenakan situasi dilematis yang mesti diterima fresh graduated. Sebab jika tidak bekerja, ratusan ribu manusia masih siap menggantikannya.
Suatu hubungan yang kontroversial antara institusi
pendidikan dengan lembah bisnis. Yang satu menekankan pada dasar-dasar
moralitas. Sementara yang lain justru melakukan pembenaran pada banyak
tindakan amoral. Institusi pendidikan menekankan untuk menghargai
nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan lembah bisnis menggilasnya.
Seorang Sosiolog industri Parker berpendapat, dunia
bisnis mempunyai kecenderungan mempengaruhi sektor pendidikan. Agar
menyusun dan menerapkan kurikulum serta materi pelajaran dan kuliah ,
agar sesuai dengan kebutuhan industri. Mahasiswa harus disiapkan bekerja
dan didesain untuk dapat menjalani metode pendidikan yang memungkinkan
mereka menjadi tenaga siap pakai setelah lulus, dan terjebak di lembah
bisnis.
Inilah yang terjadi ketika pekerja menjadi sebuah komoditas dalam lembah bisnis. Dalam lembah bisnis, pekerja masuk ke dalam sektor modal bersama upah, tanah dan mesin. Adalah salah satu pola yang pernah dipakai oleh kaum hartawan Eropa, pada periode abad 18-20 yang kita sebut imperialisme dan kolonialisme.
Sejarah Indonesia: Penghisapan dan Pemerasan
Bila ada yang pantas disebut sejarah. Maka sejarah Indonesia merupakan deretan cerita tentang pemerasan, penghisapan, ekploitasi dan tipu menipu. Baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri, oleh kapitalis barat maupun kapitalis pribumi.
Proklamasi 1945 punya tujuan yang kongkret. Sebagai jalan pembebas bagi Indonesia untuk keluar dari kungkungan imperialisme dan kolonialisme. Ternyata hal itu jauh dari kenyataan. Nyatanya, proklamasi 1945 tidak mengikutsertakan kedaulatan bagi segenap bangsa Indonesia.
Cita-cita luhur founding father hanya menjadi isapan jempol. Masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sesuai dengan amanat UUD 45, menjadi pengantar dongeng yang membuat kita tertidur pulas dalam ketidaksadaran kita masing-masing. Apa yang berlaku justru menunjukkan kemiskinan di mana-mana, pembodohan terus terjadi, suara lantang yang dibungkam.
Serta sekian kasus penindasan, karena begitu banyaknya membuat kita tak mampu untuk mengungkapkan itu satu persatu. Wajar jika kemudian eksistensi kita sebagai sebuah bangsa menjadi terancam, karenanya kemudian mengakibatkan sekian ketidakpuasan menjelma menjadi sebuah pemberontakan. Aceh, Papua, dan Maluku barangkali menjadi contoh akumulasi perasaan tidak puas tersebut.
Dengan posisi seperti ini tepat rasanya jika kita kembali memutar ingatan kolektif di tahun 1908 dan 1928 guna menyatukan semangat perjuangan bersama melawan penindasan, kala itu direpresentasikan oleh kolonialisme Belanda, dalam perjuangan meraih mimpi akan kebebasan berdaulat atas negeri ini. Lewat berbagai macam cara yang ditempuh, baik itu dengan cara lunak maupun keras. Lewat perundingan maupun perang gerilya, mereka menunjukkan contoh bahu-membahu mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Faktor mementingkan diri sendiri ketimbang membangun bangsa menjadi masalah yang sampai saat ini kita sendiri masih sering ditipu olehnya. Sifat kekuasaan yang oligarki tersebut justru membuat bangsa ini semakin terpuruk dalam kemiskinan yang membabi buta sejauh mata memandang. Konflik kepentingan menanamkan benih pertikaian di semua medan.
Itu terekam dalam Dekrit Presiden tahun 1959 diikuti pembubaran parlemen di tahun 1960. Tentara melalui Presiden Sukarno mulai berhasil menekan setiap kekuatan-kekuatan politik negeri ini. Perseteruan politik antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan berbagai kekuatan politik lainnya semakin meruncing sepanjang tahun 1960-an. Membuat tentara semakin meneguhkan kepemimpinannya. Setelah kudeta yang bisa dikatakan gagal tahun 1966, yang berimbas pada menghilangnya kurang lebih satu juta jiwa bangsa Indonesia. Keadaan praktis dikendalikan tentara, yang semakin jumawa setelah supersemar yang kontroversial itu keluar.
Rezim birokrasi militer pun terbentuk, dan mulai menunjukkan taringnya sebagai penguasa yang otoriter dalam memimpin bangsa ini selama 32 tahun ke depan. Dalam kurun waktu tersebut, eksploitasi dan penipuan terus digalakkan. Kedigdayaan Orde Baru (Orba) mulai goyah setelah badai krisis 1997 melanda Indonesia.
Pasca revolusi kemerdekaan, kolonialisme tidak begitu saja sirna dari hadapan Indonesia. Kolonialisme masih bertengger dan masih bercokol mencengkeram tubuh bangsa Indonesia yang memang sangat menggiurkan untuk dikuasai dumber daya alamnya. Seperti yang kita ketahui bersama, hingga tahun 1950-an, kekuatan-kekuatan modal Belanda masih tinggal tentram dan kuat mengendalikan perekonomian Indonesia.
Hal tersebut tersimpan dalam persetujuan Imdonesia-Belanda yang diperoleh lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) khususnya poin persetujuan finansial ekonomi atau Financieel Economische Overenkomst (Finec). Isinya mengatur tentang jaminan kepentingan bisnis Belanda dalam Indonesia merdeka. KMB juga mewajibkan Indonesia membayar hutang internal Pemerintah kolonial Belanda sebesar 1,13 milyar US dollar, serta hutang eksternal sebesar kurang lebih 70 juta US dollar.
Kolonialisme punya semangat zamannya sendiri. Setelah berganti modelnya dari kolonialisme era abad 19-20. Ia tak lagi menggunakan angkatan bersenjata atau militer untuk melancarkan misinya. Zaman ini ia melakukan operasinya dengan modus operandi pemberian “bantuan” dan perdagangan bahkan lewat media guna mempengaruhi budaya lokal setempat. Yang selalu melakukan modus penipuan dengan menawarkan kesejahteraan dan ketentraman.
Melalui lembaga-lembaga keuangan macam International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang didirikan oleh negara-negara sekutu Anglo-Saxon hasil kesepakatan Bretton Wood 1944. Mesin kolonialisme gaya baru (new colonialism) tersebut mendatangi negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan menawarkan bentuk pinjaman dan investasi. Namun apa yang dijanjikan oleh mesin-mesin kolonialisme-imperialisme tersebut tak kunjung menuai hasil yang menguntungkan bagi negara dunia ketiga.
Lagi-lagi ini merupakan suatu bukti nyata di mana bangsa ini begitu mudah melupakan sejarahnya. Penguasa dan sebagian masyarakat justru menerima begitu saja proses penghisapan ini. Setelah berdirinya pemerintahan Orba, saat itu pulalah Indonesia membuka pintu lebar-lebar bagi modal dan investasi asing untuk masuk. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan tersebut memberikan peluamg besar bagi masuknya modal asing di Indonesia.
Arus pinjaman dan investasi modal asing tersebut pada akhirnya mengakibatkan struktur ketergantungan yang luar biasa akut terhadap kekuatan kolonialis-imperialis internasional. Sektor-sektor strategis pun dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnational atau multi national coorporation (MNC & TNC). Hal ini semakin menegaskan cengkeraman kekuatan luar terhadap Indonesia.
Bukannya kesejahteraan dan kemakmuran yang dicapai, tetapi kemelaratan dan pembodohanlah yang didapat oleh bangsa ini. Sumber pertanian tidak lagi sepadan dengan laju pertumbuhan harga-harga menyebabkan banyak penduduk Indonesia terjebak dalam kemiskinan. Masyarakat desa berduyun-duyun datang ke kota dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Namun yang didapati tak lain hanya menjadi buruh rendahan yang setiap hari diperas keringatnya dengan imbalan yang tak sebanding dan tak mampu memenuhi tuntutan hidup keseharian.
Sampai pasca jatuhnya kekuasaan Orba pada tahun 1998, negara masih tetap bahkan makin kuat mewakili kepentingan elit-elit yang berkuasa. Didukung oleh intelektual pragmatis-oportunis serta parlemen pasca pemilu 1999. Negara justru semakin kuat merepresentasikan kepentingan kaum berkuasa. Berbagai kebijakan yang anti rakyat dan pro modal serta kebijakan pertanian dan pertanahan yang juga anti rakyat menunjukkan hal tersebut. Pelbagai program liberalisasi yang didorong oleh IMF, WB, maupun Asian Development Bank terus dilaksanakan.
Bahkan reformasi 1998 tidak membawa perubahan apapun, selain memperjelas bahwa Indonesia tidak berdaulat atas tanah, air, dan udaranya. Oleh karena itu, mimpi akan Indonesia yang adil dan makmur sesuai cita-cita konstitusi tidak akan pernah terjadi. Jika kaum intelektual tidak bangun dan mengerjakannya.
No comments:
Post a Comment