Sunday, 1 June 2014

Opinion - Habis Gali Tutup Lubang

Kini sudah tujuh tahun lebih pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa. Sudah ratusan program telah digulirkan dengan berbagai uang triliunan rupiah uang rakyat, digulirkan untuk berbagai proyek kementrian. Tujuanya satu, mengentaskan kemiskinan, peganganya satu pula, data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS). SBY pun tak bosan mengumbar keberhasilan pemerintahannya.

Angka statistiki dari BPS hampir pasti menunjukan angka positif. Kemiskinan turun satu juta kepala tiap tahunya, pengangguran pun demikian halnya, pertumbuhan ekonomi melejit 6,7 persen (versi Bank Dunia), hampir menyamai Cina sebagai negara yang kini menguasaai ekonomi dunia yang tumbuh 7 persen pertahun, Indek Pembangunan Manusia (IPM) pun trus naik versi pemerintah. Namun data statistik selalu saja berbanding terbalik dengan fakta di lapangan, kemiskianan merajalela, kelaparan di daerah-daerah, bahkan dengan telanjang mata di seantero ibukota. Menjadi pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi?
Perbedaan telanjang antara fakta dan statistik ini akibat acuan perhitungan BPS dalam penetapan batas minimum pendapatan. BPS memakai angka pendapaan tiga ratus ribu per bulan sebagai acuanya di seluruh Indonesia, jika seseorang berpendapatan lebih tiga ratu ribu perbulanya, maka ia itu tak masuk sebagai golongan penduduk miskin. Begitu sebaliknya, padahal kenyataan inflasi terbilang sangat tinggi. Penduduk mana yang bisa bertahan dan mencukupi kebutuhan yang kian mahal hanya dengan pemasukan yang setara untuk membeli hape Cina.


Acuan angka badan pusat statistik juga tak masuk akal jika melihat upah minimum kota seluruh Indonesia yang rata-rata berkisar lima ratus ribu per bulan, di Jakarta telah mencapai 1,2 juta rupiah. Lantas kemana uang triliunan rakyat ini mengalir? Tercatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah indonesia mencapai 1334 trilliun rupiah. Anggaran tersebut justru sedikit sekali yang terserap untuk proyek pengentasan kemiskinan, dan pengembangan infrastruktur yang berbanding lurus dengan peningkatan geliat ekonomi.


Sektor ini justru hanya menerima sekitar 300 triliun. Jauh dibanding sektor pertahanan. Dan hal yang sebenarnya sangat memboroskan anggaran APBN, apalagi kalau bukan belanja pegawai, pemerintah tercatat mengucurkan 300 trilliun untuk menggaji para pegawai negeri. Namun dari sekian pengeluaran pemerintah tadi, ada satu yang paling menyita perhatian paling besar, yakni pembayaran hutang luar negeri.
Indonesia seolah tak pernah lepas dari jeratan hutang. Dari zaman orde baru, hampir semua proyek besar pemerintah didanai hutang, khusunya hutang luar negeri. Bahkan khusus untuk Indonesia dibuatkan lembaga khusus yang memberi pinjaman, tersebutlah CGI dan IBRD yang dibentuk negara-negara donor Indonesia. Itu di luar hutang yang dilakukan pemerintah lewat Bank Dunia dan IMF.


Semua hutang luar negeri menumpuk. Bahkan menjadi berlipat saat krisis moneter tahun 1998, kurs dolar yang saat sebelum krisis Cuma dipatok Rp2.300 rupiah naik tajam menjadi hampir mencapai Rp20.000 per dolar saat krisis mencapai puncaknya. Ini diikuti utang luar negeri pemerintah yang juga naik berkali-kali lipat karena pemerintah meminjam dana dengan satuan Dollar AS.


Tahun 2011, tercatat hutang pemerintah telah mencapai 1200 trilliun beserta bunganya. Artinya penduduk Indonesia yang kini kurang lebih berjumlah 230 juta ini menanggung hutang pemerintah sebesar Rp2 juta per kepala. Tahun 2011 pemerintah mengaggarkan sekitar 210 trilliun rupiah untuk membayar hutang beserta bunganya.


Khusus untuk bunga tahunan, pemerintah membayar tak kurang 200 milyar tiap tahunya. Nilai ini setara untuk menggratiskan biaya pendidikan perguruan tinggi sebayak 20 ribu mahasiswa selama cuma emester. Ini jika asumsi uang semester sebesar Rp.2 juta per mahasiswa, angka yang fantastis, pemborosan uang rakyat yang terbuang percuma hanya untuk membayar bunga, bagaimana dengan bunga pokoknya? Pastinya jauh berkali-kali lipat lebih besar.


Pemerintah, dalam hal ini SBY selalu berkilah hutang luar negeri selalu turun tiap tahun. Bahkan tahun 2006 masa pemerintya, SBY mengkaim hutang IMF telah lunas total, namun selalu ada udang di balik batu, pemerintah bisa saja mengklaim hutang terhadap pihak luar negeri menurun, namun di balik itu pemerintah melakukan kebohongan besar, hanya tutup lubang kemudian gali lubang kembali.


Yang sebenarnya dilakukan pemerintah hanyalah memindahkan hutang, dari hutang luar negeri menjadi hutang dalam negeri. Namun hutang tetaplah hutang, ia harus dibayar menggunakan uang rakyat. Pemerintah sekarang bahkan memiliki direktorat jendral (dirjen) khusus di lingkungan kementrian keuangan yang khusus membayar cicilan hutang, juga menerbitkan hutang baru pemerintah yang dijual bebas di pasar modal dalam bentuk obligasi.


Obligasi pemerintah yang terkenal adalah Surat Utang Negara (SUN). Ada juga yang berbasis syariah, atau yang akrab dikenal sebagai sukuk. Bukanya tidak main-main, 12 persen, jauh di atas suku bunga deposito berjangka di bank yang cuma kisaran 7 persen. Hanya ada satu cara menghentikan penghisapan uang rakyat terselubung ini, hentikan hutang pemerintah. Jika hutang dianggap sebagai dalih menutup defisit APBN, namun tak ada usaha dari pemerintah untuk mengurangi defisit tersebut.

No comments:

Post a Comment