Tepat pada tanggal 6 Juni 1901 seorang bocah yang kelak dikenal sebagai putra sang fajar pertama kali menghirup udara segar di bumi Blitar Jawa Timur. Tidak ada yang menyangka bahwa bayi itu kelak akan membawa bangsa ini keluar dari kubangan kolonialisme, imprealisme dan elitisme. Dia hanyalah seorang bayi biasa yang waktu kecilnya kerap sakit-sakitan sehingga tak heran dari Koesno, nama waktu kecilnya, dirubah pada Soekarno untuk hanya mengurangi beban penyakitnya.
Tapi mulai saat itu, kondisi Soekarno kecil mulai memapaki masa depan kehidupan yang cerah sebagai sosok pemimpin, dan bisa bersekolah pada Inlander School di Mujekerto, kemudian melanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya dan akhirnya (1926) Soekarno melanjutkan pendidikannya di sekolah teknis THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi) serta mulai terjun dalam kancah percaturan politik nasional.
Ketika terjun di ranah politik nasional beliau dikenal sebagai sosok yang sangat menentang sekali kolonialisme, imprealisme dan elitisme. Dengan Marheanisme-nya beliau mencita-citakan Indonesia yang merdeka dan bebas dari segala perbudakan bangsa-bangsa asing. Tidak heran kemudian apabila dalam perjalananya beliau kerapkali menjadi musuh para penjajah hingga ia masuk dalam jeruji tahanan.
Meski beliau mendapat ancaman, tapi spirit dan cita-citanya tentang Indonesia merdeka tidak lekang. Beliau seakan sudah memasrahkan seluruh jiwa dan raganya untuk mengabdi demi kemerdekaan. Seperti penegasan Dr. Baskara Triwardaya (Bung Karno Menggugat: 2006) bahwa Bung Karno rela dikejar-kejar, bersedia di penjara, tak keberatan disiksa secara fisik maupun batin bukan semata-mata hanya mencari keuntungan pribadi atau keluarganya. Ia sanggup menjalani semua itu karena mempunyai cita-cita untuk menjadikan masyarakatnya bebas dari penjajahan dan tampil sebagai bangsa yang bermartabat.
Tapi sungguh ironis, pada peringatan kelahiran ke 108 ini Soekarno dan pelbagai cita-cita kebangsaanya hanya tinggal kenangan belaka. Banyak dari cita-cita Bung Karno untuk kemaslahatan dan kemerdekaan rakyat dikhianati oleh pemegang tampuk kekuasaan itu sendiri. Antara cita-cita Bung Karno dan cita-cita pemimpin setelahnya sungguh mengalami keterputusan, bahkan sangat paradoks dengan apa yang diinginkan pemerintah saat ini.
Kalau tempu dulu Bung Karno rela berkorban dengan segenap jiwa dan raganya untuk kemaslahatan rakyat kecil, maka saat ini pemerintah mengorbankan rakyat kecil demi kemaslahatan pribadi, kelompok dan korporasi-korporasinya. Kalau tempo dulu Bung Karno rela dipenjara, kelaparan, dan disiksa karena mempertahankan harkat dan martabat bangsa, maka saat ini pemerintah rela menjual harkat dan maratabat bangsa demi hanya memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya.
Andai saja pada peringatan hari kelahirannya ini Bung Karno bangkit dan melihat realitas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil, mungkin beliau akan mengucurkan air mata. Beliau merasa cita-cita yang dulu diwariskan kepada bangsa Indonesia telah dicaik-cabik dan dikubur dalam-dalam oleh pemerintah itu sendiri.
Akar Masalah
Salah satu akar fundamental dari semua itu adalah perubahan paradigma atau cara pandang terhadap kekuasaan. Antara Soekarno dan beberapa pemimpin yang telah ada mempunyai cara pandang berbeda. Kalau Soekarno menganggap kekuasaan adalah sebagai wadah melayani masyarakat maka pemimpin saat ini memandang kekuasaan sebagai tuan dan rakyat pelayannya.
Ketika dua cara pandang terhadap kekuasaan berbeda, maka implikasi terhadap realitas kebangsaan juga sangat kontras. Prinsip-prinsip dalam mengguklirkan kebijakan juga akan berbeda. Pertama, Soekarno sangat memusuhi kolonialisme. Beliau rela berkorban hanya untuk lepas dari jeratan kaum kolonial. Baginya kaum kolonial hanya akan mengantarkan rakyatnya pada jurang kesengsaraan dan akan terus menggerogoti kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Karena baginya kaum kolonial datang tidak ada maksud lain kecuali hanya untuk memperbesar perut mereka.
Berbeda dengan pemimpin saat ini. Pemimpin ini secara tidak langsung telah mengamini terjadinya praktik-praktik kaum kolonial. Memang saat ini kolonialisme yang ada dibangsa ini secara kasat mata tidak mudah dilihat, tapi pada prinsipnya spirit kaum kolonial untuk menghisap dan merampas hak-hak rakyat sangat terasa. Salah satu bukti saja adalah merebaknya angka kemiskinan di negeri super kaya akan sumberdaya alam. Kalau pemerintah cerdas dan kreatif dalam memamfaatkan sumber daya alam yang ada sejatinya tidak ada lagi cerita rakyat mati karena kelaparan dan cerita rakyat yang rela bunuh diri karena himpitan ekonomi.
Kedua, Soekarno sangat anti-elitisme. Elitisme baginya akan menghambat terhadap laju gerak kemerdekaan bangsa. Bahkah secara lebih ekstrem elitisme secara tidak langsung akan melegitimasi penjajahan. Itu dilakukan oleh tokoh-tokoh pribumi yang berkotporasi dengan pemerintah kolonial terhadap rakyatnya sendiri. Elitisme telah memangkas satu rasa satu jiwa dan satu nasip dalam kungkungan penjajahan. Maka untuk beringsut dari bentuk jajahan kaum kolonial bagi Soekarno adalah dengan memberantas elitisme yang marak terjadi di masyarakat.
Sungguh sangat kontras dengan pemimpin yang saat ini ada. Bentuk elitisme saat ini mungkin lebih samar tapi terasa sangat pahit. Bentuk elitisme tidak serta merta bertumpuk pada stratifikasi sosial, tapi melampaui itu sudah menelisik menjangkit dalam pikiran, perasaan dan daya nalar mereka. Pemerintah saat ini merasa daya bertimbangan dan nalar logikanya lebih elit dibanding dengan rakyat kecil. Sehingga tidak heran tiap kali ada seruan dari rakyat hanya dianggap sebagai sampah. Bentuk elitisme semacam ini justru akan meligitimasi bentuk penjajahan gaya baru yang nyaman bagi elit pemerintah dan menyesatakan bagi rakyat.
Dengan demikian, dalam rangka peringatan 108 tahun kelahiran Soekarno ini yang bertepatan dengan pergantian pemimpin baru, masyarakat Indonesia setidaknya dapat memilih pemimpin yang mempunyai jiwa pemberani untuk memerangi penjajahan dan membela rakyat yang terlantar Calon-calon pemimpin yang akan datang bukan harus meniru sepenuhnya cita-cita Soekarno, tapi paling tidak cita-cita Soekarno dapat menjadi spirit atau roh demi keselamatan masa depan bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment