Sebagaimana ritual pergantian kurikulum yang sudah berlalu, kurikulum 2013 juga menua banyak kontroversi. Ironisnya kontroversi itu dianggap wajar bagi pemangku kebijakan sehingga kritik dari luar dianggap angin lalu yang tak digupris. Mereka yang tak setuju dan menunggu kurikulum ditangguhkan dulu datang dari banyak praktisi dan pelaku kurikulum yang ada di kalangan bawah. Mereka itu pelaksana dan juga orang yang tak buta huruf yang menyempatkan diri untuk membaca dan merenungi makna pergantian kurikulum. Hanya saja semua itu dianggap tak berarti sehingga pergantian kurikulum akan berjalan langgang.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kita lebih suka mendengar orang yang sibuk mengurus partai dan kasus korupsinya dibanding mendengar kepala sekolah, para guru yang ada di pelosok, pemuka agama dan konselor pendidikan dilapangan yang mengalami kondisi pendidikan yang sesungguhnya.
Padahal proses pergantian kurikulum itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perubahan kurikulum itu harus berpijak pada realitas social kondisi pendidikan, masyarakat dan kebudayaan yang ada. Kurikulum itu harus berpijak di atas bumi nusantara ini, bukan hasil copy paste dari Negara lain. Kalau kurikulum tak berbasis realitas masyarakat kita dan hasil salinan dari Negara lain, maka pada saat itulah pendidikan hanya menjadi alat penjajahan terselubung dan sistematis. Dan pendidikan akan melahirkan generasi yang terasing dari akar kebudayaannya sendiri.
Setidaknya ada beberapa catatan dalam perubahan kurikulum 2013 ini sehingga di public masih menua banyak kontroversi. Pertama, penambahan jumlah jam pelajaran agama. Penambahan jam pelajaran agama menunjukkan penanaman sikap beragama di sekolah belum terintegrasi. Ada sebuah cerita yang cukup menarik, ketika diadakan sebuah lokakarya bagi guru-guru Agama sekolah dasar dan sekolah lanjutan di Universitas Pendidikan Indonesia, ada sebuah usulan yang sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh guru-guru Agama yang lain. Usulan itu berkaitan dengan minimnya waktu yang tersedia untuk mata Pelajaran Agama. Mereka mengeluh, banyaknya harapan dan tuntutan terhadap pengembangan pendidikan agama sementara disisi lain waktu yang tersedia cukup terbatas. Ada juga guru yang mengusulkan dan mengeluh agar ada kegiatan ekstra kurikuler untuk pendidikan agama. Beberapa keluhan tersebut menunjukkan bahwa mereka para guru masih belum mempunyai pandangan yang terintegratif ihwal pendidikan agama. Mereka menganggap bahwa pendidikan agama yang bertanggung awab hanya guru agama (Abdul Aziz Wahab Dkk: 2007).
Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah terwujudnya anak didik yang bertakwa, cerdas, terampil, dan berbudi pekerti luhur. Kalau diperhatikan secara serius dari UU tersebut, ternyata tidak ada ungkapan secara eksplisit atau pun implisit yang menegaskan bahwa untuk mewujudkan anak didik yang bertakwa dan berbudi pekerti luhur dilakukan hanya oleh guru agama. Prosese mewujudkan anak didik yang bertakwa dan berakhlah yang baik bukan hanya tanggung jawab guru agama, tapi juga tanggung jawab semua guru. inilah perlunya kerja sama terpadu antar guru diiringi dengan penyusunan kurikulum yang integratif.
Kedua, kurikulum berubah karena pendidikan nasional kita tertinggal jauh dari Negara lain. Itulah alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika harus merubah kurikulum. Alasan itu justru terlalu terburu-buru. Apakah benar kurikulum menjadi penyebab utama tertinggalnya pendidikan kita atau justru ada pada kualitas guru. Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FKGI) Retno Listyarti mengatakan, kualitas pendidikan Indonesia kian menurun disebabkan oleh kualitas guru yang rendah. Ketika guru tidak berkualitas, maka anak didiknya juga tidak berkualitas. Ini sesua dengan data Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2012, secara umum kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai harapan. Hingga saat ini baru sekitar 51 persen berpendidikan S1 sedangkan sisanya belum berpendidikan S1. Jadi baru ada 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Selaras dengan survei yang dilakukan oleh Putera Sampoerna Foundation, dimana sebanyak 54 persen guru di Indonesia masih berkualitas rendah.
Ketiga, penambahan jam pelajaran. Kurikulum 2013 memang memangkas beberapa materi pelajaran—tingkat SD, dari 10 mata pelajaran (mapel) menjadi 6 mapel, yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Agama, Matematika, Sosial Budaya, dan Olahraga. Pelajaran IPA dan IPS ditiadakan, diintegrasikan ke mapel lain—tapi jumlah jam belajar justru bertambah. Penambahan jumlah jam belajar ini bisa menimbulkan kejenuhan dan kebosanan pada diri siswa. Ini sungguh bertentangan dengan prinsip pembelajaran kreatif menyenangkan. Siswa itu akan belajar dengan baik dalam suasana menyenangkan, bukan membosankan. Penambahan jam belajar berpotensi besar menimbulkan kejenuhan pada siswa.
Itulah beberapa sebagian keganjilan dari kurikulum 2013. Keganjilan itu memicu banyak kontroversi dari public, baik itu sekolah, guru, sebagai pelaku di lapangan dan beberapa pengamat pendidikan serta praktisi lainnya. Beberapa keganjilan tersebut bukan masalah sederhana, tapi itu bersifat subsansial dari perubahan kurikulum 2013. Kalau kurikulum 2013 tetap diimplementasikan di tengah banyaknya problelem substansial, maka pergantian itu tidak akan membawa perubahan bagi perbaikan pendidikan nasional.
No comments:
Post a Comment