Nama besar Bung Karno sebagai salah satu
Proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia
mempunyai daya tarik yang luar biasa tidak hanya di tanah air, tapi juga
dikalangan internasional. Sejarah kehidupannya yang mencerminkan
perjuangan rakyat Indonesia menentang kolonialisme dan imperialisme
dibawah pimpinannya begitu memukau.
Hampir semua studi yang menyangkut
tentang sejarah Indonesia pasti mengaitkannya dengan sosok Soekarno. Tak
terkecuali dengan literatur yang berasal dari Soviet ini. Buku yang
diterjemahkan dari karya penulis-penulis soviet, Prof. Dr. Kapitsa dan
Dr. Maletin ini merupakan salah satu bukti tentang begitu besarnya nama
Soekarno di wilayah yang sekarang bernama Rusia.
Jika ditelusuri, karya ini sebenarnya
ditulis sejak tiga puluh tahun yang lalu (1980), dimana Indonesia sedang
dikuasai oleh rezim orde baru yang melarang apapun yang berbau orde
lama, soekarno dan ajaran-ajarannya. Sedangkan di wilayah Soviet sedang
berlangsung kejayaan sosialisme dimana Soekarno pernah begitu tinggi
menyanjungnya.
Dari situ, dapat ditarik benang merah
bagaimana soviet begitu memperhatikan dan menempatkan Indonesia dan
Soekarno dalam posisi yang cukup terhormat, dikarenakan pada saat
Soekarno masih memimpin hubungan kedua negara ini sangatlah strategis
dan dekat.
Bahkan salah seorang penulis, Kapitsa M.S
pada waktu itu pernah menduduki jabatan tinggi di Departemen Luar
Negeri USSR (Union of Soviet Socialist Republics) sebagai salah seorang
deputi yang mengurusi masalah-masalah yang terkait dengan Cina dan Asia
Tenggara.
Namun dengan dekatnya kepentingan politis
saat itu, bukan berarti buku ini meninggalkan jalur ilmiah dalam
menganalisa kehidupan politik Bung Karno. Dengan bersandar pada
sumber-sumber yang luas dimasanya, para penulis mencoba memberikan
analisa dan gambaran tentang sosok Bung Karno khususnya dari segi
perjuangan politiknya membebaskan rakyatnya dari penindasan imperialisme
yang berkepanjangan.
Buku setebal 384 halaman ini dibagi dalam
tiga bab, dimana bab pertama menceritakan tentang kehidupan masa
mudanya dan sepak terjang Bung Karno dalam memimpin rakyatnya untuk
merebut kemerdekaan. Sedangkan dua bab terakhir menelusuri perjuangan
Bung Karno dalam melawan ‘pengeroyokan’ dirinya oleh lawan-lawan
politiknya dan rezim orde baru yang justru dipimpin oleh para anak
didiknya.
Indonesia Menggugat
Soekarno dilahirkan di Jawa, Surabaya
pada tanggal 6 Juni 1901 dari keluarga pegawai priyayi Jawa. Ayahnya, R
Soekemi Sosrodiharjo seorang guru muslim di sekolah yang berada di
Singaraja, Pulau Bali. Sedangkan ibunya, Idayu Nyoman Rai merupakan
perempuan Hindu, putri seorang Brahmana yang bertugas disebuah kuil.
Tidak adanya kefanatikan dalam beragama
dikeluarganya memuat soekarno lebih banyak dipengaruhi oleh epos-epos
rakyat dan pahlawan dari cerita wayang. Epos-epos itulah yang menamkan
keyakinan pada Soekarno kecil tentang kebaikan yang pastinya menang
melawan kejahatan.
Di usia remaja, Soekarno dititipkan di
rumah Tjokroaminoto, teman ayahnya untuk bersekolah di sekolah Belanda.
Di tempat inilah kesadaran berpolitiknya mulai tumbuh. Dimana dalam
rumah Tjokro dirinya bertemu dengan calon-calon bapak bangsa seperti Tan
Malaka, Agus Salim, Suwardi Suryoningrat dan calon pemimpin Partai
Komunis Indonesia (PKI) yakni, Semaun, Musso dan Alimin.
Setelah menyelesaikan sekolah, Soekarno
melanjutkan studinya di Institut Teknik Bandung untuk mengambil gelar
insinyur. Di Bandung pulalah Soekarno mengeluarkan tulisannya ”
Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” yang akhirnya akan menjadi landasan
utama kegiatan politiknya. Baginya, ketiga aliran ini jika disatukan
akan menjadi ujung tombak untuk melawan kolonial dan imperialisme.
Walaupun Soekarno tak akan pernah tahu jika dari salah satu aliran ini
akan menjadi titik kelemahan yang menjungkalkannya dari tampuk kekuasaan
dikemudian hari.
Puncak dari kegiatan politiknya di
Bandung ialah mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang tujuannya
mencapai kemerdekaan Indonesia dengan kekuatan dan kemandirian rakyat
Indonesia. Baginya, PNI mewakili jiwa perjuangan rakyat kecil yang
disebutnya kaum marhaen.
Marhaenisme, sebuah ajaran atau ideologi
yang diciptakannya tentang rasa antikolonial dengan mengutamakan
persatuan demi terciptanya kemerdekaan dan kemakmuran nasional,
merupakan nama yang ditemukannya di Bandung setelah perkenalannya dengan
petani di sana.
Perlawanannya yang begitu radikal
terhadap kolonialisme Belanda lewat PNI membuat Soekarno dijebloskan ke
penjara. Dalam penjara itu, Soekarno membuat pembelaannya yang terkenal
yakni Indonesia Menggugat yang kemudian menjadi lembaran cemerlang dalam
sejarah politik negeri ini.
Perjuangan Soekarno yang begitu keras pun
membuahkan hasil, kemerdekaan Indonesia berhasil diwujudkan walaupun
dalam perjalanannya, beberapa literatur sejarah yang mencatat jika
kemerdekaan tersebut diberikan oleh Jepang, karena pada masa itu
Indonesia telah jatuh ditangan kekuasaan Jepang.
Kesimpulan tentang kemerdekaan Indonesia
yang berasal dari Jepang tak lepas dari kerjasama Soekarno dan Hatta
yang mau tak mau harus mendukung Jepang dalam perang Asia Raya melawan
sekutu. Hal ini merupakan taktik dari Soekarno Hatta yang mencoba
mengulur waktu untuk membangun kesiapan rakyatnya dalam merebut
kemerdekaan. Dalam konteks ini, penulis begitu memihak Bung Karno yang
menegaskan bahwa Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini bukanlah
kolaborator.
Meskipun buku ini merupakan biografi
politik Soekarno, penulis tak menafikan peran Hatta sebagai sosok
pendamping ideal Soekarno yang terus mengkritisi kebijakan yang ditempuh
oleh Soekarno. Ini bisa dilihat dari kritik Hatta yang merupakan
intelektual lulusan Belanda, dimana dimasa menjelang kemerdekaan Hatta
mengkritik Soekarno yang begitu menitikberatkan praksis perjuangan yang
diambil Soekarno dimana massa menjadi tumpuan Bung Karno.
Bagi Hatta, massa rakyat yang belum
tersadarkan bisa menjadi bumerang bagi perjuangan politik kemerdekaan.
Hatta lebih menitikberatkan pada pembangunan kesadaran kritis massa
rakyat lewat pendidikan sehingga akan lahir Soekarno-soekarno muda. Tak
heran jika ada dualisme PNI, dimana PNI Soekarno berupa partai dan
Pendidikan Nasional Indonesia-nya Hatta.
Soekarno Terjungkal
Setelah Indonesia merdeka, perbedaan
pendapat antara Soekarno dengan Hatta semakin menajam. Terlebih saat
Soekarno menerapkan politik Demokrasi Terpimpin, yang menjadikan Bung
Karno sebagai presiden seumur hidup. Menurut Hatta, keputusan Bung Karno
tersebut merupakan pembunuhan terhadap sistem demokrasi Indonesia.
Dampak dari itu, Hatta pun mengambil langkah mundur sebagai wakil
presiden.
Namun, jika dilihat dari langkah Bung
Karno mengambil langkah Demokrasi Terpimpin ialah untuk menyelamatkan
Indonesia dari pengaruh demokrasi liberal parlementarian yang tak sesuai
dengan karakter Indonesia. Pasalnya, bagi Bung Karno sistem
parlementarian merupakan sistem barat liberal yang mengutamakan
kepentingan golongan untuk mengejar kepentingan kelompok lewat
kekuasaan. Baginya itu tidak sesuai dengan jalannya revolusi menuju
sosialisme indonesia.
Memang, saat kita melihat melihat
konsepsi Bung Karno yang menggunakan persatuan klas atau aliran politik
dalam Nasakomnya (Nasionalis Agama dan Komunis) demi merebut kemerdekaan
telah tercapai. Namun, saat kemerdekaan telah dicapai dan revolusi
Indonesia tengah berjalan, Bung Karno tak lagi memikirkan kelas politik
mana yang harus digandeng dan mana yang harus ditinggalkan.
Sosialisme Indonesia yang dicita-citakan
oleh Bung Karno merupakan hasil kompromi dari tiga aliran klas politik
yang sebenarnya bagaikan air dan minyak, saat tujuan kemerdekaan telah
tercapai pastinya akan ada pertentangan kelas. Hal ini merupakan
konsekuensi logis jika menggunakan teori marxis yang menggunakan jalan
pertentangan kelas.
Sosialisme Indonesia sendiri bagi penulis
bukanlah Sosialisme ilmiah yang berdasarkan marxisme-leninisme, karena
bagi penulis komunis hanya ada satu sosialisme, yakni marxisme
leninisme. Sedangkan sosialisme indonesia ciptaan Bung Karno merupakan
paksaan dari persatuan klas yang mengingkari sosialisme itu sendiri.
Terpelesetnya Bung Karno yang terlalu
memaksakan persatuan klasnya menjadi senjata yang dimainkan oleh militer
dalam menjungkalkan Bung Karno dari kursi kepresidenannya. Bagaimana
tidak, saat Bung Karno mendengungkan persatuan klas atau aliran demi
revolusi indonesia, banyak pihak melihat Bung Karno terlalu merapat pada
PKI yang mewakili klas komunis.
Digambarkan pula dalam buku ini selain
untuk memutuskan politik liberal, Demokrasi Terpimpin dijadikan alat
untuk membungkan kaum kanan (Masyumi, PSI dan militer kanan ) yang
menjadi oponen Soekarno. Namun, Bung Karno pun salah dalam prediksinya
dimana justru kauma kanan lebih cepat mengakumulasi kekuatannya dimana
kekuatan finansial dikuasai oleh militer lewat nasionalisasi perusahaan
asing yang berada dibawah kontrol militer.
Selain faktor penguasaan ekonomi oleh
dinasti ekonomi milter yang menghasilkan komprador dan kapitalis
birokrat (kabir), runtuhnya rezim Orde Lama juga didorong oleh sikap
politik luar negeri Bung Karno yang kelewat radikal, dimana konfrontasi
kepada Malaysia terus digalakan.
Sikap politik luar negeri radikal ini
menyalahi politik bebas aktif yang pernah dilancarkan oleh Bung Karno
sendiri lewat Gerakan Non Blok. Kedekatan Bung Karno dengan RRT
(Republik Rakyat Tiongkok) yang difasilitasi oleh Aidit selaku Ketua CC
PKI membuat poros Peking-Jakarta terlihat mendominasi keputusan luar
negeri Bung Karno.
Ini juga berkaitan dengan mengendurnya
kedekatan Indonesia dengan Soviet, akibat terlalu pekingsentris. Dalam
Gerakan Komunis Internasional (GKI) terdapat pertentangan antara PKUS
(Partai Komunis Uni Soviet) dengan PKT (Partai Komunis Tiongkok) dimana
Indonesia terseret dalam pusaran politiknya.
Mungkin saja Bung Karno terlupa oleh
peran besar Uni Soviet dan negara sosialis lain yang pada awal
kemerdekaan RI, menjadi pembela pertama dalam bidang diplomatik disidang
PBB mengenai agresi militer Belanda yang didukung oleh sekutu (Inggris
dan AS).
Klimaks dari perlawanan kaum kanan
terhadap kekuasaan Bung Karno ialah munculnya peristiwa Gerakan 30
September (G30S), yang mana para perwira militer dan sekutunya
mempergunakan cara-cara intimidasi dan tekanan secara psikologis kepada
Bung Karno.
Salah satunya menggunakan demonstrasi
melalui mahasiswa (KAMI) dan pemuda (KAPPI) yang merongrong kekuasaan
Bung Karno dengan mengangkat isu anti komunis. Isu antikomunis merupakan
wacana yang digunakan kaum kanan untuk menghantam kekuasaan Bung Karno
dan PKI.
Dengan mengunakan UU Keadaan Bahaya,
Surat Perintah Sebelas Maret dan kekuatan mahasiswa yang diboncengi
militer kanan yang dikomandoi Jenderal Soeharto dan Jenderal Nasution,
satu persatu perisai-perisai yang melindungi Bung Karno dipereteli.
Orang-orang yang loyal terhadap Bung
Karno seperti Jenderal Soebandrio dan Panglima Angkatan Udara, Omar Dani
diciduk dengan tuduhan ikut terlibat G30S. PKI pun didaulat menjadi
partai terlarang yang mendalangi gerakan makar tersebut.
Ujung dari Coup de Etat yang
dimotori oleh militer kanan tersebut adalah lengsernya Bung Karno dari
tahta kepresidenannya. Tak hanya itu, pasca lengser dari kursi presiden
hak-hak politik Bung Karno dicabut. Bung Karno, sosok yang haus akan
gemuruh dukungan massa rakyat melalui orasi-orasinya pun dijauhkan dari
rakyatnya.
Memisahkan Bung Karno dari massa rakyat
bagaikan mencabut nyawa dari raganya. Sebagai seorang orator ulung, ia
mempunyai kebutuhan hakiki untuk berorasi dihadapan massa, sedangkan
aktivitasnya itu sudah tak diizinkan lagi oleh penguasa orde baru.
Itulah siksaan yang paling berat baginya.
Sebagai seorang bapak bangsa yang
mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan dan kemakmuran bangsanya,
pengucilan dirinya dari dunia luar oleh penguasa orde baru merupakan
kepedihan yang tak terkira bagi Soekarno. Dirinya pun tak habis pikir
mengapa penguasa baru bisa begitu kejam padanya setelah dirinya hanya
menjadi warga negara biasa. Bahkan bisa dibilang warga kelas dua.
Inilah kemelut sejarah yang menelan
kehidupan Presiden pertama bangsa ini. Namun, seperti yang sudah ditulis
dalam buku ini, tak ada yang bisa menghapus jasa besarnya dalam
mengantarkan bangsa ini menjalani perjuangan suci melawan kolonialisme
dan imperialisme.
Dan sejarah pun mencatat, hanya bangsa
yang besar yang mampu melahirkan putra terbaik seperti Bung Karno yang
menduduki tempat terhormat dalam sejarah nasional dan dunia. Soekarno
menjadi milik negerinya, baik tempo doeloe, sekarang dan sampai kapan pun.
Karya penulis Soviet ini merupakan
biografi Bung Karno terbitan negeri sosialis yang pertama kali muncul di
Indonesia dalam terjemahan bahasa Indonesia. Minimnya penguasaan bahasa
dan situasi politis merupakan kendala utama yang melatarbelakangi
kurangnya pustaka tentang sejarah Indonesia yang berasal dari negeri
tirai besi tersebut. Pastinya buku ini bisa menjadi bahan perbandingan
dengan karya-karya sejenis yang berasal dari dunia barat.
No comments:
Post a Comment