Friday, 30 May 2014

History - Belajar dari yang Bangkrut

Sao Paolo, salah satu kota di Brasil pada tahun 1980-an, mengalami kebangkrutan dalam bidang pendidikan. Masyarakatnya hampir separuh yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Sekolah pun ada karena dipaksakan. Fasilitas nyaris tak ada. Lebih dari lima puluh sekolah tidak ada bangkunya. Yang ada tak lebih dari bangku rongsokan. Gedung kumuh dan atap yang tak semapan yang kita tempati sekarang.

Kurikulum pun berjalan apa adanya. Tak ada perencanaan yang sistematis evaluasi yang terpadu dan out pou pun kurang jelas dilapangan. Pendidikan pada saat itu benar-benar mengali kebangkrutan yang luar biasa. Tidak hanya dalam aspek infrastruktur pendidikannya yang mengali kekacauan, tapi konsep pendidikan juga benar-benar mengalami kemacetan.
Paulo Freire, yang memimpin Departemen Pendidikan Sao Paolo, mengatasi kebangkrutan pendidikan dengan dua jalan.


Pertama, Paulo Freire mengumpulkan seluruh elemen masyarakat yang terlibat langsung atau pun tidak langsung. Beliau memberi keterangan terhadap masyarakat ihwal pendidikan yang selama dijalanakan adalah bersama rakyat bukan untuk rakyat. Beliau ingin meniadakan hirarki antara subyek pengelola dan yang dikelola. Semuannya sama-sama bertanggung jawab terhadap bangkrut tidaknya sekolah.


Banyak elemen masyarakat, terutama mereka yang kalangan orang kaya menyumbangkan dana untuk perbaikan sekolah. Mereka mulai sadar ihwal pentingnya pendidikan bagi kepentingan kemajuan bersama dan mereka juga tahu bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama demi kamajuan bangsa. Sekolah pun secara infrastruktur akan bisa teratasi dengan sumbangan dari masyarakat.


Kedua, Paulo Freire mengumpulkan semua ilmuan dari pelbagai lapisan, mulai dari ilmuan fisikia, kimia, biologi, sosiologi, kedokteran. Paulo Freire juga mendatangan tokoh, mulai dari tokoh agama, politik, budaya, dan filosof. Yang tak ketinggalan tukang kebun pun juga diundang. Semua itu diundang hanya untuk merumuskan tentang konsep kurukulum pendidikan di sekolah.


Paulo Freire menyadari bahwa pendidikan ada untuk semua. Dalam proses perumusan kurikulum pun harus dilibatkan semua kalangan yang menjadi bagian dari pendidikan. Sekitar dua bulanan perumusan kebijakan kurikulum itu berjalan. Dengan pelbagai perspektif digulirkan sesua dengan kapabilitasnya, membuat kurikulum yang dihasilkan betul-betul konferehensip dan fleksibel.


Lain Brasil lain pula dengan Inggris. Salah satu sekolah yang didirikan oleh Neil pada tahun 1921 menggemparkan masyarakat Inggris dan dunia pada umumnya. Sekolah ini ingin menjadikan sekolah cocok dengan anak-anak bukan anak cocok dengan sistem sekolah. Neil dan istrinya mempunyai keyakinan bahwa anak yang lahir dan tampa dipengaruhi oleh orang tua maka mereka kelak akan menjadi dirinya sendiri yang berbakat.


Keyakinan semacam itu yang membuat sekolah Summerhil ini menjadi menyenagkan bagi semua anak-anak. Tidak ada peraturan disiplin, jadwal belajar, dan semua serba-serbi peraturan yang mengikat anak semuanya dipangkas dan dibiarkan anak-anak melakukan apa maunya sesua dengan apa yang mereka inginkan dan sesua minatnya.


Anak-anak dibiarkan mengembara dengan dirinya sendiri untuk menemukan siapa dirinya kemana dirinya dan apa yang sejatinya dilakukan untuk kebaikan dirinya. Ada anak-anak yang suka bermain tiap hari, ada sebagian yang langsung mengatur jadwal sendiri untuk belajar bahasa Inggris, ilmu hitung. Semua proses anak-anak dalam sekolah ini berbasis menyenangkan tanpa tekanan dan peraturan yang mengikat.


Dalam perjalannya, out pout sekolah ini banyak yang menjadi manusia yang mampu bahagia dan membahagiakan orang lain. Bagi Neil ini sudah berhasil. Tolak ukur kesuksesan bagi Neil terletak pada kemampuan untuk bekerja dengan gembira dan mampu hidup secara positif. Lebih baik menjadi tukang sapu yang bijaksana dan bahagia ketimbang menjadi intelektual yang tidak waras dan stres. Tapi nyata-nyatanya di sekolah ini tidak ada yang menjadi tukang sapu. Banyak di antara mereka yang menjadi dokter, perbengkelan, direktur dan pekerjaan yang sebelumnya memang menjadi minatnya.


Lain Brasil, Inggris lain pula Indonesia. Negara yang sudah merdeka sekitar 37 tahun ini tapi nyata-nyata belum menemukan format pendidikan yang ideal untuk melahirkan SDM yang mampuni.problem pendidikan kita saat ini sungguh mengalami problem yang akut. Tidak hanya infrastruktur saja, tapi landasan filosofis yang menjadi pondasi dasar juga masih rapuh. Kita kurang paham selama ini kemana sebenarnya laju pendidikan nasional ?. Terlalu banyak orang dan golongan yang egois yang memasukkan kepentingannya dalam sistem kebijakan pendidikan nasional.


Kalau Brasil mengatasi problem kerusakan parah yang menimpa sekolah dengan mendatangkan masyarakat untuk berbagi peran dalam membangun pendidikan, maka Indonesia mengundang beberapa investor asing dan pengusaha untuk membantunya. Investor asing dan pengusaha tidak bodoh, mereka juga punya kepentingan yang ironisnya ideologi yang dicelupkan berbasis kapitalisme. Tidak heran apabila Yasraf Amir Piliang (2007) menegaskan bahwa saat ini logika kapitalis dan logka pendidikan sudah bercampur aduk.


Contoh paling kongkrit ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Dalam peraturan itu tertera bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan non formal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 %. Akan disusul juga dengan RUU (Rancangan Undang-Undang) BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang targetnya akan disahkan tahun 2008 ini.


Kalau Brasil meracik kurikulum dengan mengundang pelbagai pakar tanpa mengenal kelas sosial, maka di Indonesia untuk menetukan kurikulum hanya berada di pundak Mentri Pendidikan. Jangankan melibatkan tukang sapu atau tukang kebun layaknya di Brasil, kepala sekolah yang ada dipelosok suaranya terkebiri begitu saja. Kurikulum yang sejatinya menyenangkan dan mengakomodasi semua potensi anak ternyata justru mencipta petaka. Tidak sedikit anak putus sekolah gara-gara tidak bisa beli buku ajar, dan tidak sedikt juga anak bunuh diri karena tidak lulus UN. Kurikulum kita hanya mencipta ketegangan.


Kurikulum kita seakan hanya menjadi ajang bisnis. Bongkar pasang kurikulum menjadi ritual yang membosankan. Tanpa melibatkan suara kepala sekolah yang berada di kalangan bawah kurikulum kita tahu-tahunya berubah. Iklim pergantian kurikulum di ranah pendidikan nasional mengalir dengan deras. Mulai tahun 1968 (konvensional), 1976 (prosedur pengembanagan system intraksional), 1984 (cara belajar siswa aktrif), 1994 (keterampilan proses), 2004 (Kurikulum berbasis kompetensi), 2006 (Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan). Ironisnya dari semua perubahan itu bagi Darmanyingtias (2005) tidak lepas dari dominasi kepentingan penguasa dan pengusaha.


Kalau di Inggris sekolah ingin menyesuakan dengan minat dan bakat anak, maka kita merancang sistem dengan amat sangat ketat dan anak diwajibkan untuk mengikutinya. Kemerdekaan berfikir, bereksprimen dan berkreasi sangat dibatasi dalam pendidikan kita. Pembelengguan itu masuk, menelisik dan menjalar lewat sistem yang sangat kaku dan birokratis. Sebut saja UN yang menjadi ritual tahunan evaluasi nasional kita. Semua sekolah berlomba-lomba untuk mendidik siswanya agar lulus UN. Ruang gerak siswa yang luas hanya disempitkan pada UN. Anak-anak meringkuk di bawah penjara UN yang wilayahnya cakupannya masih sempit.


Negeri ini hanya butuh orang-orang bijak untuk belajar dari sejarah pendidikan yang bangkrut dalam rangka memproyeksikan masa depan yang lebih baik dan dilakukan mulai saat ini. Bukan berarti sistem pendidikan di negeri ini meniru terhadap negara-negara lain, tapi paling tidak semua perjalanan sejarah dapat memberi kita hikman untuk lebih bijak dalam mengambil kebijakan.

No comments:

Post a Comment