Friday, 30 May 2014

Opinion - Kartini dan Gerakan Emansipasi Perempuan

Mengenang Kartini berarti kita harus siap melanjutkan cita-citanya sebagai sosok Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini adalah cermin pejuang gigih melawan kultur masyarakat yang timpang dan pembela hak serta martabat perempuan sebagai makhluk yang setara, sederajat dan punya bakat. Kartini adalah sosok inspiratif bagi perempuan manapun yang mengingikan dirinya merdeka, mandiri, dan lepas dari jeratan kultur yang hegemonik dan diskriminatif.

Kartini lahir dan dibesarkan dari keluarga bangsawan. Raden Adjeng Kartini atau Raden Ayu Kartini namanya panjangnya, (Jepara, 21 April 1879-Rembang, 17 September1904). Namanya aslinya panjang, tapi lebih panjang cita-cita hidupnya dalam memperjuangkan kemerdekaan perempuan. Kalau saja Kartini mempunyai prinsip hidup sebagaimana layaknya anak bangsawan yang acuh tak acuh terhadap kehidupan kaum pribumi dan hanya mengurus kesejahteraan pribadi dan keluarganya, maka sejarah akan berbicara lain padanya.


Tapi meski Kartini mempunyai bapak Raden Mas Sosroningrat, Bupati Jepara dan Ibu M.A. Ngasirah, seorang guru agama di Teluwakur Jepara, prinsip hidupnnya hingga dia besar tidak seperti bangsawan yang gampang disetir oleh kolonial Belanda yang menjadikan kaum pribumi sebagai budak. Dia mempunyai cita-cita besar untuk membebaskan kaum perempuan Pribumi dari keterkungkungan. Perempuan pada saat itu terkungkung dalam kultur patriarki. Sosok laki-laki seakan perkasa dan perempuan superior dan inferior.


Cita-cita Kartini akan kebebasan perempuan dari ketimpangan budaya sangat nampak dalam surat-suratnya terhadap Rosa Abendanon, salah seorang temannya di Belanda. Surat-surat Kartini menjadi antologi yang disusun oleh J.H Abendanon yang kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi (Habis Gelap Terbitlah Terang, 1951). Dalam suratnya Jepara, 23 Agustus 1900 ia menulis “…Yang pertama dan utama, aku akan menghapus adat kebiasaan buruk yang lebih memihak anak laki-laki dari pada anak perempuan. Kita tidak seharusnya terkejut akan sifat laki-laki yang memikirkan diri sendiri saat kita menyadari bagaimana, sejak kecil dia sudah dimenangkan dan perempuan, adiknya…”.


Itulah salah satu refleksi kegelisahan Kartini melihat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Cita-cita utama Kartini adalah menghapus diskriminasi tersebut menuju kesetaraan, kebebasan dan penghormatan atas hak-hak perempuan. Karena memang pada saat itu perempuan hanya menjadi kaum nomor dua yang manut sepenuhnya pada laki-laki. Tidak heran di tengah spiritnya Kartini menanamkan idealisme untuk pembebasan, ternyata dia harus dinikahkan dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat (12 November 1903).

Spirit Kartini untuk terus melanjutkan idealismenya tidak pupus. Meski Kartini sudah bersuami cita-citanya tetap kuat dan kokoh. Karena bagi Kartini pembebasan dari bentuk belenggu-belenggu kultur sosial adalah panggilan hati nurani yang harus digalakkan dimanapun dan bagaimana pun kondisinya. Dengan komitmen yang demikian kokoh dari Kartini, maka suaminya mencoba untuk mengerti dengan memberi keleluasaan dan kebebasan. Terbukti ia bisa mendirikan sekolah wanita bagi kaum perempuan pribumi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang.
Adanya sekolah perempuan merupakan salah satu langkah dari cita-cita Kartini untuk pembebasan. Dengan sekolah itu, Kartini mulai mengopeni dan mengasah kreatifitas perempuan pribumi agar nantinya dapat hidup mandiri, bebas. Dan bisa menghidupi diri sendiri. Hal ini merupakan salah satu pengejawantahan dari kegelisahan Kartini sebagaimana tercantum dalam suratnya Jepara, 25 Mei 1899, ia menulis “Aku sungguh ingin mengenal seseorang yang kukagumi, perempuan yang modern dan independen yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, cerai dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat, bekerja untuk kebaikan sesamanya….”

Kegandrungan akan pendidikan adalah salah satu bentuk perlawanan pada saat itu. Karena kultur yang lazim memutuskan bahwa perempuan tidak usah melanjutkan pendidiklan sebagaimana layaknya laki-laki. Perempuan pada akhirnya akan tetap kembali pada dapur, dan melayani laki-laki di rumah. Kalau ada perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan dianggap telah melawan kultur dan dianggap lancang. Tapi tidak dengan Kartini. Dia dalam beberapa suratnya sangat getol untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Karena Kartini sangat tertarik dengan beberapa pemikir feminis Eropa. Dengan pelbagai majalah yang dia baca membuatnya kagum dan tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa.

Cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa tidak tersampaikan. Tapi itu tidak membuat kartini kandas dalam memperjuangkan kemerdekaan perempuan. Kartini tetap menganggap bahwa media paling strategis dalam proses pembebasan kaum perempuan adalah lewat jalur pendidikan. Baginya pendidikan adalah medium untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Dengan pendidikan proses penumbuhan kreatifitas, penggalian potensi serta dapat digalakkan. Dengan terkuaknya potensi perempuan dan termanifestasikan dalam bentuk keterampilan, maka perempuan akan bisa mandiri dan terlepas dari pengekoran terhadap laki-laki.

Mengenang Kartini berarti kita siap untuk melanjutkan risalah perjuangannya dalam memerdekakan kaum perempuan lewat pendidikan. Mengenang Kartini kita harus mengingat satu keinginan kuat niatnya untuk melanjutkan pendidikannya di Eropa tapi tidak tersampaikan. Satu kenginan yang berangkat dari landasan kesadaran kritis akan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Hal ini menjadi sangat logis mengingat jalan memerdekakan perempuan dan ingin kaum perempuan memuncratkan bakat tersebut hanya lewat pendidikan.

Dengan demikian, salah satu tugas kita bersama untuk menuntaskan pelbagai ketidakadilah adalah menggalakkan pendidikan bagi kaum perempuan. Kaum perempuan yang selama ini masih juga belum lepas sepenuhnya dari stigma negatif akan keterbelakangan, dan ketergantungannya pada laki-laki, selayaknya menjadi tanggung jawab bersama untuk memerangi. Kalau masih ada suatu anggapan bahwa perempuan tidak pantas mengenyam pendidikan sampai tinggi dan kalau laki-laki sebaliknya harus dirubah pasa satu pemahaman yang setara. Kartini menginginkan suatu kesetaraan dan kebebasan bagi kaum perempuan. Cita-cita itulah yang sejatinya dimantapkan gerak praksisnya kedepan.

No comments:

Post a Comment