Friday, 30 May 2014

Hikayat Bongkar Pasang Kurikulum


Kalau ditanya ihwal kebijakan apa yang paling menciptakan kegaduhan, kerisauaan dan kepanikan pada pelaksana pendidikan di tingkat bawah, mereka akan menjawab bongkar pasang kurikulum. Kalangan guru gaduh karena mereka harus berhadapan dengan sistem baru yang tiba-tiba datang dari pusat tanpa diajak rembuk sebelumnya. Orang tua siswa juga resah karena mereka harus membelikan buku pelajaran baru dari isi yang sebenarnya tak baru. Para siswa juga harap-harap cemas karena perubahan kurikulum hanya membuat jalan baru yang berliku dengan tetap melewai jembatan maut yang bernama UN. Apa yang diharapkan dari setiap perubahan kurikulum yang ada di bangsa ini selalu berbentut kecemasan. Pemangku kebijakan yang sebelumnya optimis ketika kurikulum itu akan diterapkan, tapi beberapa tahun kemudian selalu kecemasan yang datang. Tak heran, sebuah bangsa yang kebijakannya selalu mengalami bongkar pasang kurikulum adalah bangsa Indonesia. Tiap orde dan bahkan bisa dikatakan tiap pergantian Menteri selalu menyisakan bekas-bekas perubahan kurikulum.

Pada masa Orde lama, ada tiga kurikulum yang dikeluarkan oleh Negara. Dari rentang waktu tahun 1945-1948, keluarlah Kurikulum 1947. Pada rentang waktu tahun1950-1961, keluarlah Kurikulum 1952. Kurikulum terakhir masa Orde Lama adalah kurikulum 1964. Pada masa Orde baru telah lahir empat kurikulum. Ada kurikulum 1968, kurikulum 1975, kemudian ada kurikulum baru yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975 Yang Disempurnakan atau CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kurikulum terakhir masa Orde Baru adalah kurikulum 1994. Masa reformasi ada kurikulum tahun 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi, ada kurikulum 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan terbaru, kurikulum 2013 yang rencananya akan diterapkan tahun ini.


Secara akademik perubahan kurikulum itu menjadi keharusan. Tapi apakah perubahan kurikulum menuju 2013 sesua dengan basis filosofis dan konteks sosiologis yang ada itu belum pasti. Pak Wamen Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Musliah Kasir, mengatakan bahwa perubahan ini merupakan suatu keharusan, karena pendidikan Indonesia sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan Negara lain. Kalau penerapan kurikulum ditunda, akan lebih lama mengejar ketertinggalan (Kompas/04/12/2013). Begitu juga dengan dengan alasan Pak Nuh, Menteri Pendidikan kita. dengan kurikulum baru, bagi beliau, diharapkan menghasilkan lulusan dengan kompetensi tinggi serta berpikir analitis (Kompas/03/12/2013). Itulah alasan dari pemegang kebijakan kenapa kurikulum kita harus berubah saat ini.


Tapi apakah alasan itu benar-benar mewakili dari realitas yang terjadi dilapangan ? Apakah pendidikan kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, layaknya Jepang Thaland dan Singapure karena kurikulum? Dan apakah benar siswa tidak mampu berfikir kritis dan analitis karena kurikulum yang konvensioanal?


Saat ini pendidikan kita tertinggal jauh dari negeri tetangga itu harus diakui. Mengacu laporan McKinsey Global Institute ”Indonesia Today” dan sejumlah data rangkuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kompetensi pelajar Indonesia masih di bawah pelajar lain di Asia, seperti Jepang, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Hanya 5 persen pelajar Indonesia memiliki kompetensi berpikir analitis. Tapi kalau keterbelakangan ini langsung dilimpahkan pada problem kurikulum itu cukup gegabah. Ini bisa dikatakan gegabah karena pihak pemegang kebijakan pendidikan belum melakukan diagnosa menyeluruh ihwal kurikulum yang sebelumnya. Apakah karena kurikulum yang bermasalah atau ada factor lain yang bisa menghambat proses implementasi kurikulum, seperti kualitas guru dengan metode yang dipakai dan proses evaluasi siswa.


Kualitas Guru
Kunci utama pendidikan adalah guru. Mari kita ingat sejarah pengeboman sekutu terhadap Jepang, 1945. Rakyat bergelimpangan tanpa nyawa, ada yang cedera parah dan ada yang sudah sekarat. Pembantu Kaisar melaporkan ihwal parahnya korban yang dialami. Tapi Kaisar Jepang Hirohito berkata, “Berapa guru yang hidup“. Pembantu kaisar dan menteri pun terkejut, seraya bertanya, “mengapa paduka menanyakan jumlah guru yang hidup?”. Hirohito berkata “selama masih banyak guru yang hidup, aku yakin masih ada kesempatan bangsa kita untuk bangkit dari kekalahan dan mengejar ketertinggalan”.


Pasca perang itu Jepang mengapresasi seluruh guru dengan memberi pendidikan, fasilitas dan memperbaiki nasib kesejahteraan guru. Jepang ingin bangkit dari keterpurukan bangsanya dengan pertama kali yang diperbaiki adalah kualitas dan profesionalitas guru. Tak heran berselang 25 tahun kemudian, Jepang bisa bangkit dari krisis multidimensi dengan lahirnya generasi-genari pintar, cerdas dan berkarakter. Itu semua berkat didikan para guru-guru.


Kita harus mengakui bahwa kualitas guru menjadi penentu utama proses sebuah pendidikan. Kurikulum yang paling bagus sekalipun tapi tidak di topang dengan kualitas guru yang mampuni, maka perubahan itu akan berjalan sia-sia dan hanya memboroskan anggaran. Guru adalah pelaksana yang bersinggungan langsung dengan siswa. Kalau kurikulumnya bagus, tapi proses belajar mengajarnya masih konvensional; menekkankan pada hafalan bukan penalaran, maka siswa pun tidak akan mampu berfikir kritis dan analitis. Kondisi guru yang saat ini terjadi masih jauh dari standart berkualitas.


Kualitas guru yang ada di Indonesia masih perlu banyak perbaikan. Dari data Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2012, secara umum kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai harapan. Hingga saat ini baru sekitar 51 persen berpendidikan S1 sedangkan sisanya belum berpendidikan S1. Jadi baru ada 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Selaras dengan survei yang dilakukan oleh Putera Sampoerna Foundation, dimana sebanyak 54 persen guru di Indonesia masih berkualitas rendah.


Ironisnya kualitas guru bagi pemegang kebijakan hanya dipandang sebelah mata. Berkembang dan tidaknya pendidikan seakan jauh dari pengaruh guru. Guru dianggap sebagai factor yang nomor sekian dari penentu kualitas pendidikan. Proses peningkatan kualitas guru pun terkesan setengah hati. Tak heran, ketika pendidikan kita tertinggal, prioritas utama bukan guru yang diperbaiki kualitasnya, tapi justru kurikulum yang akan dirubah. Kurikulum baru seakan menjadi penyelamat dari keterpurukan pendidikan kita. padahal, perubahan kurikulum tanpa perbaikan kualitas guru tak lebih seperti menggarami lautan.

No comments:

Post a Comment