Pada
masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami
perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu
pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga
mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka
pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan
terutama dalam hal anggaran negara.
Pada
masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan
politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke
dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan,
yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan
pemerataan pembangunan.
Hal
ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami
stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya
selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan
menjadi APBN.
APBN
pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi
perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi,
harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran
fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi
nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi,
lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah
dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia
swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu
dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN
tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format
APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran.
Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan
serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada
31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini
diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan
bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN
pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang,
yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran
sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran.
Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada
masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar
negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang
defisit. Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan
pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut
adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di
masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa
itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan
kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit
negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar
adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak
dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat
berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim
sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun
prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu
untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena
pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya
karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus
dapat berjalan.
Prinsip
lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional.
Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana
pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja
pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana
investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber
dana dalam negeri.
Pada
dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan
akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya
cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini
bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun
1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber
dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar
terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat.
Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal
lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud.
Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman
luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan
penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan
menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan
dalam negeri.
Prinsip
ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah,
dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai
pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan
kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar
dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat
memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan
pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan
dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan
waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi
bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar
negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase
pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat.
Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru
sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya
berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk
meningkatkan tabungannya.
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada
2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa
dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun meningkat lebih dari 100 kali
lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia
adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat diantara 20 negara
anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun oleh IMF dalam juta rupiah.
Tahun PDB
1980 60,143.191
1985 112,969.792
1990 233,013.290
1995 502,249.558
2000 1,389,769.700
2005 2,678,664.096
2005 2,678,664.096
2010 6,422,918.230
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah
stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran
berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an
pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.
Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan
dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang
ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa
kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah,
dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan
hutang, atau menuntut atas kebangkrutan.
Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman
berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran
peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh
perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan
domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997
dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon
pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku
bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund
(IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang
diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa
kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan
Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden
Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama,
hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada
Mei 1998.
Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada
masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan
Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang
mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang
telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan
guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi.
Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum
ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan
orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate
yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya,
kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati. Masa kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk
dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan
ekonomi antara lain :
a) Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp
116.3 triliun.
b) Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari
intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara.
Hasil
penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial
yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.
Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia.
Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua,
yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan
BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan
pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor
asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah
diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006
lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan
kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan
untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang
salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin
banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi seluruh sisa utang
pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan
Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar
negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan
ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk
miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05
juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih
sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga
kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain
itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih
kurang kondusif.
Pada ERA SBY Pemerintah memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2012 sebesar 6,7%, naik tipis 0,2% dari asumsi tahun 2011
yang 6,5%. Proyeksi tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pidatonya di hadapan Sidang Paripurna DPR Menurut Kepala
Negara, asumsi pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi acuan bagi
pemerintah SBY dalam menyusun rencana kerja tahun depan.
Dalam RAPBN 2012, kata Presiden, tertuang juga perkiraan pemerintah
untuk indikator makro ekonomi lainnya, a.l. inflasi 5,3%, suku bunga SPN
3 bulan 6,5%, nilai tukar Rp8.800 per dolar AS, harga minyak mentah
Indonesia (ICP) US$90 per barel, dan produksi minyak 950.000 barel per
hari.
Kepala Negara juga mengatakan di tengah perkembangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian, ekonomi Indonesia pada tahun ini diyakini tumbuh 6,5%. Pertumbuhan ekonomi tahun ini
merupakan yang tertinggi setelah krisis 1998. Investasi, ekspor, dan
konsumsi masyarakat diyakini menjadi motor penggerak utama. “Dari sisi
produksi, pertumbuhan ekonomi [2011] akan digerakkan oleh sektor
industri pengolahan, sektor pertanian, dan sektor pertambangan,” ujar
dia.
Sementara
itu, lanjut Presiden, kenaikan harga komoditas dunia serta cuaca
ekstrim yang terjadi di beberapa wilayah, telah memberi tekanan terhadap
laju inflasi di dalam negeri. Pada tahun lalu, laju inflasi mencapai 6,96%, sementara hingga Juli 2011 secara tahunan
mencapai 4,61%. “Oleh karena itu, pemerintah telah dan akan senantiasa
menempatkan pengendalian harga-harga sebagai prioritas utama, dalam
menjaga stabilitas ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat,”
tuturnya. Di sisi lain, kata dia, nilai tukar rupiah terus mengalami
penguatan. ingga akhir Juli 2011, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai
Rp8.716 per dolar AS atau menguat 4,93% bila dibandingkan dengan
posisinya pada periode sama tahun lalu.
Terkait
dengan tingkat suku bunga BI rate, pada Februari 2011 dinaikkan sebesar
25 basis poin menjadi 6,75%, dan masih dipertahankan hingga akhir tahun
2011.
MASALAH PEMANFAATAN KEKAYAAN ALAM
Pada
masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang
bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting
bisa selalu makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup
berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras
impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa
dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras,
terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada
orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber
duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang
tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru
tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang
bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah
ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada
masa Orde Baru.
Masa
Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus
dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski
pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya..
Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya terlalu “bebas”). Media
masa menjadi terbuka.
Yang
memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang
yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di
zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah;
industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH ,
menjadi muara dari illegal logging.
SISTEM PEMERINTAHAN
Orde
baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah
diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi,
sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Soeharto
dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde
Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan
Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah
berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari
ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih
menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru
dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa
semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah
membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal
reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi
kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin
melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem
politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba
terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak
pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik,
kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
Orde
reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di
DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan,
demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan
mau dibawa kemana bangsa ini.
Bila
dibanding - bandingkan, memang masa Soeharto dan masa Susilo Bambang
Yudhoyono ( SBY ) memiliki beberapa perbedaan. Publik bertanya apa
perbedaan Soeharto dengan Presiden SBY ? Berbagai kalangan berpendapat,
perbedaan gaya kepemimpinan Soeharto dengan SBY adalah dalam hal
kesungguhan mendengar keluhan rakyat, dan keberpihakan kepada rakyat.
Meski pemerintahan Soeharto dijalankan secara otoriter, semua tahu dia
sangat dekat dengan rakyatnya, selalu menghayati dengan sungguh-sungguh
perasaan dan derita rakyat. Salah satu contoh, misalnya, di pemerintahan
Soeharto, harga kebutuhan pokok rakyat murah dan mudah didapat. Tarif
listrik, harga BBM selalu dijaga agar tetap murah dan terjangkau. Sampai
soal harga pupuk agar petani tidak kesulitan, Soeharto sangat peduli.
Selain itu, dia juga punya andil besar dalam pembangunan irigasi
pertanian yang tersebar diseluruh wilayah nusantara, yang sampai saat
ini belum ada presiden yang mampu membangun sejumlah irigasi pertanian
itu. Maka tak heran, jika di masa pemerintahannya Indonesia dapat
berswasembada pangan. Komitmennya menjaga NKRI dan stabilitas keamanan
untuk rakyatnya juga sangat tinggi.
Bagaimana
dengan presiden setelah reformasi ? Kita boleh katakan, semua presiden
yang muncul setelah Soeharto lengser, termasuk SBY, berasal dari
kalangan elite yang tahu dan mengerti persoalan rakyat, tapi tidak
pernah mengalami dan merasakan langsung derita sebagai rakyat sehari -
hari. Bahkan, SBY di nilai lawan - lawan politiknya lebih
mengutamakan politik pencitraan, namun tak pernah membuat hal - hal yang
konkret untuk rakyat. Bahkan, semua kebijakannya sangat merugikan
rakyat. Buktinya, harga BBM dan kebutuhan pokok rakyat terus naik.
Begitu juga tarif listrik. Sampai – sampai harga pupuk selangit. Dalam
bidang politik, sejak pemerintahannya sungguh kacau. Antar partai
politik saling cakar - cakaran untuk merebut kekuasaan. Pemberantasan korupsi masih memble dan hanya sebatas omdo
( omong doing ). Bahkan, sejumlah petinggi Partai Demokrat, yang
mengusungnya menjadi presiden, terlibat dalam kasus - kasus suap dan
korupsi. Publik juga tidak melihat keberhasilan pemerintahan SBY dalam
membangun perekonomian nasional.
Pola
kepemimpinan SBY haruslah seperti mantan Presiden Soeharto. Terutama
soal ketegasan dalam melaksanakan sebuah kebijakan negara yang
prorakyat. Ada perbedaan, masa Soeharto memang lebih menonjolkan masalah
keamanan dan pembangunan ekonomi. Dengan demikian demokrasi sedikit
dikesampingkan. Memang masa SBY ini dihadapkan dengan euforia demokrasi
dan sesungguhnya ini adalah momen yang kritis untuk SBY. Dia harus
mengambil sikap tegas. Karena dia dipilih oleh rakyat dengan 60 persen
lebih, seharusnya dia tidak boleh ragu-ragu. Presiden SBY seharusnya
tidak usah merasa terpenjara oleh partai - partai koalisi yang ada di
sekitarnya. Soalnya mantan Presiden Soeharto ketika memimpin
pemerintahan tidak merasa kalau dia dipenjarakan oleh partai. Dia tidak
merasa ada yang mengikat kakinya. Pak SBY merasa terikat kakinya oleh
kepentingan partai - partai, mestinya itu harus dilepaskan. Kondisi
krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada saat ini juga pernah
dirasakan di masa kepemimpinan Soeharto. Tetapi mantan Presiden Soeharto
bisa berhasil mengatasi masalah krisis tersebut. Di masa - masa euforia
demokrasi, juga harus mengambil sikap tegas. Tidak semua harus
didiskusikan karena SBY kan dipilih oleh rakyat, jadi jangan
sedikit-sedikit dia membentuk tim. Harus segera memutuskan karena tugas
pokok pemimpin itu adalah memutuskan dengan cepat. Dan tidak harus
menimbang apa kata orang.
Kini, Soeharto diagung - agungkan, padahal dia presiden yang digulingkan
oleh rakyatnya. Presiden yang dihujat rakyatnya setelah ia lengser.
Semua itu seakan - akan sudah dilupakan rakyat, kenapa ? Jawabnya, tentu
karena kegagalan presiden - presiden setelah reformasi, termasuk SBY,
dalam mensejahterakan rakyat. Kebijakan SBY sudah membuat rakyat terus
menjerit dan menangis. Pemerintahan sekarang pun sudah tak bisa lagi
menjamin keamanan bagi rakyat, keadilan ekonomi dan hukum. Bahkan,
jurang pemisah si kaya si miskin terus melebar.
Bila
dibandingkan maka keduanya, Soeharto dan SBY. tentu saja punya cita -
cita untuk mensejahterakan rakyatnya, namun dengan cara masing - masing.
Soeharto mengunakan pendekatan keamanan hasilnya gemilang, Indonesia
sempat mencapai kegemilangan ekonomi. Sedangkan SBY, kini masih tertatih
- tatih, terlebih sudah bukan lagi menjadi pengekspor minyak, melainkan
pengimpor.
Pendekatan
cara Soeharto mungkin tidak akan bisa dijalankan SBY. Andai SBY memimpin
di masanya Soeharto, terutama setelah 1965, jelas tidak akan mampu,
sebab SBY tidak punya ketegasan. Sebaliknya, Soeharto kalau memimpin di
masa reformasi seperti sekarang ini, rasanya juga tidak akan kuat, sebab
Soeharto anti kritik, tipis telinga. Mendengar kritikan sepedas
sekarang, kiranya Soeharto tidak akan tahan.
No comments:
Post a Comment